Haii…
Jadi gini ya, gue tuh gay. Dari lahir. Udah bawaan orok, gitu lho. Tapi tenang, ini bukan drama sinetron yang harus disembuhin segala macem.
Soalnya menurut Mama gue—yang jujur aja lebih shining daripada lampu LED 12 watt—gue ini normal. Yup, normal kaya orang lainnya. Katanya, jadi gay itu bukan penyakit, bukan kutukan, bukan pula karma gara-gara lupa buang sampah pada tempatnya.
Mama bilang, gue itu istimewa. Bukan aneh. Bukan error sistem. Tapi emang beda aja. Beda yang bukan buat dihakimi, tapi buat dirayain.
So… yaudah. Inilah gue. Yang suka cowok. Yang suka ketawa ngakak pas nonton stand-up. Yang kadang galau, tapi juga bisa sayang sepenuh hati. Gue emang beda, tapi bukan salah.
Karena beda itu bukan dosa. Beda itu warna. Dan gue? Gue pelangi di langit hidup gue sendiri.
Kalau lo ngerasa kayak gue juga, peluk jauh dari gue. Lo gak sendirian. Dan yang pasti, lo gak salah.
Lo cuma... istimewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoe.vyhxx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
antara keikhlasan dan keindahan
Apa yang dirasakan jeevan mengenai perasaannya tidak sehambar yang ia perkirakan
Ada rasa aneh yang menjalar disetiap detakan jantungnya.
Kata darel itu semacam benih yang merambat seperti sel kanker didalam tubuh manusia.
Perasaan yang disebut cinta itu mampu jeevan rasakan disaat umurnya menginjak 27 tahun.
Untuk masalah gender sebenarnya ia tidak pernah mempermasalahkan. Bahkan tidak sedikit dari anak koleganya selalu menawarkan kerjasama dengan imbalan anak mereka.
Dimalam yang sunyi ini. Ia tatapi anak yang tengah tertidur pulas beralaskan paha sebagai bantalnya. Tubuh besar jeevan mampu membuat kian terasa lebih nyaman.
“Mmhh.. “ kian sedikit menggeliat karena dinginnya malam.
Berbeda dengan rohit dan adip yang sudah teler sedari tadi karena terus berceloteh dan beratraksi. Jeevan tak sanggup melihat keaktifan mereka diusianya yang masih muda.
“ nak jeevan nggak mau nginep sekalian?” Tanya anvita yang sudah membawakan beberapa selimut untuk rohit dan adip.
“ sepertinya begitu” katanya sambil melihat kian yang masih memegang jari telunjuk jeevan tanpa berniat melepaskan.
“ tunggu sebentar ya. Saya beresin kamar kian dulu. Takutnya ada sempak menggantung “
Katanya sambil pergi menahan tawa
“ om jeevan “ panggil abel yang masih terjaga.
Jeevan hanya melirik arah suara lirih yang hampir tak terdengar itu.
“ om pasti gak tau ya kalau aku suka sama kian.” Kata abel sambil menatap sisa abu api unggun yang mereka buat.
“ saya tahu.” Jeevan tersenyum.
“ bukankah itu seru? Kita bersaing untuk memperebutkan sesuatu hal yang membuat hati kita senang.”
“ tapi kian bukan untuk direbutin om. “ elaknya
“ abel.. saya tahu. Tapi itu bukan hal yang ingin saya sampaikan. “ katanya perlahan.
“ intan permata dengan batu biasa itu beda harganya. Dan orang yang mencoba berebut untuk mendapatkan masing masing dari hal yang indah itu bagus lho. “
“ coba kamu bayangin kalo batu kecil yang ada didepan kamu itu kian. Atau intan permata itu juga kian. Kamu bakal pilih yang mana ?”
“ saya milih kian yang apa adanya om.” Jawabnya tenang.
“ lalu. Kalau ternyata kian yang asli itu ada di intan permata. Bukannya kamu akan mengambilnya juga ?” Tanya jeevan lebih menelisik.
Abel mengangguk.
“ kamu tahukan sekarang?” Kata jeevan melanjutkannya
“ saya gak masalah kalau saya punya pesaing. Lagipula bukankah itu lebih seru?” Jawab jeevan lembut.
Setelahnya ia menggendong kian kedalam dekapannya dan masuk kedalam rumah.
“ tapi gue udah kalah jauh dari om jeevan” lirihnya tanpa ada yang mendengar.
“ sebaik dia mana bisa buat gue kalahin”
“ atau sejak awal.. hati kian emang udah disiapin buat om jeevan aja”
Abel menegakkan badannya karena merasa hawa dingin sudah mulai menguasai tubuhnya. Mendongaknya kepala untuk melihat bintang indah yang menghiasi langit malam.
“ pesaing gue gamain main. Jadi secara gak langsung gue udah kalah sebelum perang” guman abel
Untuk terakhir kalinya ia akan menitikkan air mata atas rasa ikhlas untuk sebuah perasaan yang telah terpendam begitu lama.
Tidak ada rasa kecewa atau sakit hati. Sekalipun kian tak pernah menorehkan sedikit perhatian terhadapnya.
Suatu saat. Ia yang akan menjadi saksi kalau jeevan adalah bom kebahagiaan untuk sahabat kecilnya yang manis, kian.
......................
..
.
...Untukmu,.....
... yang tak pernah menurunkan lengkungan senyum manis untuk orang sekitar. ...
...Yang selalu memberikan kehangatan disetiap pertemuan....
...Bahkan jati dirimu yang tak pernah kuketahui dibanding orang ...
...yang benar benar mencintaimu mengklaim intan pertama didalam hatinya. ...
...mengusir gelap pada ruang-ruang yang tak pernah aku sadari sebelumnya....
...Aku benar benar iri dengan ciptaan tuhan yang dibuat begitu indah. ...
...Ingin rasanya ku bertanya bagaimana cara membuat kloningan dari bayanganmu...
... yang masih tersisa didalam sanubari. ...
...Hal bodoh yang pernah kulakukan untuk membuatmu bahagia...
... malah melukai kulit tipismu yang lembut. ...
...Terlalu banyak luka yang kuukir dengan niat yang salah....
...Terlalu banyak kata yang meleset dari maksudnya....
...Kau diam, tapi lukamu berbicara....
...Terima kasih......
...Untuk tidak membalas....
...Untuk tetap menjadi cahaya, bahkan ketika aku menjadi bayangan yang gelap...
...Terimakasih.....
...Terimakasih.....
...Terimakasih ku persembahkan kepada anak polos yang terlelap hangat ...
...dalam dekapan sang kekasih .....
...Untuk segalanya.. ...
.....semoga alam mendewasakan kita......
.
.
.
Abel mengusap air mata yang tak kunjung berhenti. Bangkit dengan wajah lesu dan sedikit letih.
“ jangan terlalu dipaksain. Elo juga punya hak untuk bahagia” kata rohit yang barusaja terbangun dari tidurnya.
“ mau gue temenin nyari jangkrik?” Tanya rohit sedikit meledek.
“ pfftt.. . Sorry. Lo kebangun gara gara tangisan gue ya.. “
“ iya.. gue kira kuntilanak lagi nyari anaknya. “
“ lo banget itu mahh”
Untuk sejenak. Abel merasa sedikit lega. Ia akan kembali dengan rasa puas karena penolakan lembut yang tak pernah kentara ini. Besok.. iya.. esok hari ia akan menyambut hangatnya mentari dan senyuman ramah dari sahabat kecilnya,, kian.
“ gue anter pulang ya”
“ lo kira rumah gue 10 kilo. Awasin aja noh si adip. Takut tidur sambil jalan.”
“ itik itik apa yang ituk.. mmhh.. “ adip mengguman.
Rohit menggaruk lehernya. Benar apa yang dikatakan abel. Ia harus lebih mewaspadai adip daripada mengantarkan abel yang bahkan rumahnya bisa lewat samping pagar rumah kian.
......................
.
.
Jeevan tak hentinya menatap wajah indah itu tepat dihadapannya. Tangan kecil yang melingkar dan menyentuh badannya seakan mengatakan sebuah kepemilikan mutlak.
Jeevan tertawa lirih tanpa berkedip.
Sejak kapan ia mengabaikan orang yang terkesan polos dan lugu tanpa motif apapun untuk mendekatinya. Ia masih teringat awal pertemuan mereka yang tak sanggup Jeevan bayangkan. Rasa sesal atas pertemuan pertama yang menurutnya aneh.
"Ki.. kamu manusia yang diciptakan untuk berada disamping saya kan?"
"Saya gak tau kenapa jantungnya selalu berdetak cepat saat ketemu kamu."
"Saya takut cinta saya melukai hati kamu. Kian"
Kian seakan mendengarkan semua kalimat yang keluar dari mulut Jeevan. Ia peluk erat tubuh besar itu erat.
"Om ganteng gaboleh pergi. Kaki kecil kian capek ngejarnya" gumannya .
Sambil mendekat Jeevan menelisikkan jemarinya masuk kedalam helaian rambut kecoklatan yang entah kenapa bisa begitu halus ketika menerpa tangannya. "Kamu udah bangun?"
Kian mengangguk.
"Sejak kapan?"
"Sejak diluar tadi. "
"Jadi. Gue intan pertama om ganteng kan ?"
"Hmm?.. " Jeevan memundurkan tubuhnya untuk melihat wajah yang tenggelam didadanya.
"Intan permata .. bukan intan pertama" Jeevan mengoreksi.
"Jadii.. kamu sudah mendengarkan semuanya?" Ia masih mengelus rambut kian lembut.
Kian mengangguk pelan, matanya masih setengah terpejam, seolah kenyamanan dada Jeevan adalah tempat ternyaman yang pernah ia singgahi.
Jeevan mengusap pipi kian . Kulit hangat itu begitu halus di bawah jemarinya, membuat hatinya mencelos oleh rasa yang sulit ia beri nama. Perlahan ia tatapi lekat mata kecoklatan itu . Sedikit lebih dekat. Jeevan teralih untuk menatap bibir kian yang memerah. Perlahan tangannya meraba bibir itu lembut.
Hening menggantung di antara mereka. Hanya detak jam dinding dan napas yang berkejaran pelan-pelan. Jeevan masih menatap Kian, namun Cukup untuk membuat detak jantung kian menggema seperti genderang perang di dadanya.
Lalu... dengan gerakan yang begitu lambat, nyaris seperti gerimis yang jatuh tanpa suara, Jeevan meraih sisi wajah Kian untuk lebih dekat tanpa jarak. Ia mengusapnya lembut
Dan saat bibir mereka bersentuhan untuk pertama kalinya, itu bukan letupan gairah, tapi sentuhan dua jiwa yang akhirnya menemukan pulangnya. Perlahan. Dalam. Penuh keraguan yang larut menjadi kelegaan.
Ciuman itu tak lama, tapi cukup untuk menyampaikan ribuan kata yang tak pernah sempat terucap. Dan ketika mereka berpisah, dahi Jeevan menyentuh dahi Kian.
“Terima kasih...” Jeevan berbisik. “terimakasih udah mau nunggu saya kian.. terimakasih sayang.”
Kian tersenyum, matanya mulai berkaca.. ia bahagia. Benar benar bahagia atas apa yang telah ia usahakan.
Malam merambat lambat, seakan enggan beranjak, seolah ia pun iri pada dua jiwa yang saling melebur dalam diam. Di balik tirai yang menari perlahan tertiup angin, bulan menggantung redup, seakan malu menyinari kelembutan yang terjadi di bawah sinarnya.
Jeevan masih terjaga. Ia memandangi wajah Kian yang tertidur dalam pelukannya begitu damai, begitu utuh. Dalam tidurnya, Kian menggenggam jemari Jeevan erat-erat, seolah takut jika terbangun nanti, semuanya hanyalah mimpi.
Jeevan menyentuh kening Kian dengan bibirnya, perlahan. Sebuah ciuman yang tak meminta balasan. Sebuah doa, agar waktu bisa berhenti di detik itu saja.
.
.
.
...****************...