Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22
Pagi itu, rumah Viola terasa berbeda. Biasanya sunyi, dingin, dan hanya diisi suara detik jam yang bergulir lambat. Tapi pagi ini ada suara sendok beradu dengan cangkir, aroma kopi yang menyusup ke setiap sudut ruangan, dan... kehadiran Arga yang terasa begitu nyata, begitu dekat.
Viola duduk di meja makan dengan rambut masih sedikit berantakan, dibiarkan tergerai tanpa sempat disisir. Wajahnya segar, meski ada jejak malu yang sulit disembunyikan. Ia mengenakan sweater rajut longgar, warna krem pucat, yang membuat kulitnya tampak semakin pucat dan bersih. Matanya sekilas menatap Arga, lalu buru-buru berpaling. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
Sementara itu, Arga duduk di seberangnya. Pria itu tampak ragu, seperti sedang menimbang-nimbang waktu yang tepat untuk berbicara. Ia memainkan gagang cangkir kopinya, mengembuskan napas sebelum akhirnya membuka suara.
“Viola…” katanya, lirih namun jelas. “Soal tadi malam…”
Viola menegang, tapi tak menoleh.
“Aku minta maaf,” lanjut Arga. “Aku sadar itu... lancang. Tidur di ranjang kamu tanpa izin. Aku cuma... nggak enak ninggalin kamu sendirian di tengah malam. Tapi tetap saja, aku harus minta maaf.”
Viola diam beberapa detik. Matanya masih menatap ke arah meja, memperhatikan pola-pola kecil di atas taplak kain. Tapi ada senyum samar yang perlahan muncul di sudut bibirnya.
“Arga,” katanya pelan, akhirnya menatap pria itu, “kamu nggak perlu terlalu merasa bersalah. Aku tahu kamu nggak ada niat aneh-aneh.”
Arga tampak lega, tapi belum sepenuhnya yakin. Viola melanjutkan, suaranya semakin lirih, seperti sedang berusaha jujur pada dirinya sendiri juga.
“Dan... kalau harus jujur, aku malah tidur paling nyenyak tadi malam.”
Arga menatapnya, sedikit terkejut. Mata mereka saling bertemu—hanya sebentar, tapi cukup untuk menyampaikan sesuatu yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Viola buru-buru menunduk lagi, pipinya merona. Ia menyesap tehnya, mencoba menenangkan gemuruh kecil di dadanya.
“Pelukan kamu... hangat,” tambahnya, hampir seperti bisikan. “Aku nggak ingat kapan terakhir kali bisa tidur tanpa mimpi buruk.”
Suasana di meja makan menjadi hening sesaat. Tapi bukan hening yang canggung. Ada kenyamanan yang merayap perlahan. Seperti selimut hangat di pagi musim dingin.
Arga menatap gadis di hadapannya, kini dengan senyum yang lebih tenang. “Kalau begitu... aku senang bisa bikin kamu merasa aman. Tapi tetap, mulai sekarang aku bakal lebih jaga jarak. Biar kamu nggak salah paham, atau malah... makin malu.”
Viola terkekeh pelan, suara tawanya terdengar ringan untuk pertama kali. “Sudah telanjur malu, kok,” katanya setengah menggoda.
Arga ikut tertawa, dan pagi itu mereka makan dalam diam yang nyaman, dalam tawa yang ringan, dan dalam perasaan yang belum sepenuhnya mereka pahami, tapi keduanya tahu—ada sesuatu yang tumbuh perlahan, seperti tunas kecil yang muncul setelah hujan.
Dan meski belum ada kata yang terucap untuk menjelaskan perasaan itu, mereka sama-sama merasakannya... dari caranya mereka saling menatap, dari hangatnya percakapan sederhana, dan dari diam-diam yang tidak lagi terasa asing.
Tak ada obrolan lagi setelah itu. Sarapan mereka berakhir dalam keheningan yang anehnya tak membuat canggung. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri, namun tetap merasa ditemani. Viola sesekali mencuri pandang ke arah Arga, mencoba menebak apa yang sedang dipikirkan pria itu. Tapi Arga tetap fokus pada cangkir kopinya yang kini hampir kosong, matanya menerawang entah ke mana.
Setelah piring-piring kosong tersingkir dari meja, Arga bangkit dari kursinya dan bersandar ringan di ambang pintu dapur. Ia menyilangkan tangan di dada, menatap Viola dengan tatapan tenang namun tegas.
“Mulai hari ini, aku yang antar jemput kamu,” katanya, tanpa basa-basi.
Viola mendongak dari ponselnya, mengerutkan kening. “Arga, nggak usah. Aku bisa naik ojek online atau bawa motor sendiri.”
Arga menggeleng pelan. “Bukan soal kamu bisa atau nggak, Vi. Aku suami kamu. Tanggung jawabku untuk jaga kamu. Dan... aku juga pengen tahu kamu sampai tempat kerja dengan selamat.”
Viola terdiam. Hatinya berdesir mendengar kata "suami" keluar dari mulut Arga dengan begitu lugas. Tapi ia masih mencoba bertahan dengan penolakannya.
“Tapi kamu juga kerja, kan? Nggak enak, kalau kamu mesti repot nganter aku dulu, terus balik lagi atau ke tempat lain. Aku kasihan.”
Arga melangkah mendekat, berdiri di hadapannya. “Dengerin, Vi. Aku nggak keberatan. Waktu aku bisa diatur. Lagipula, ini juga bisa jadi waktu kita bareng. Kita masih banyak hal yang perlu kita bicarain, ngerti satu sama lain. Anggap aja ini cara kita pelan-pelan belajar hidup bareng.”
Nada suaranya tenang tapi pasti, tak memberi celah untuk penolakan lebih jauh. Viola tak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, meremas ujung sweater-nya pelan. Dalam hati ia merasa terharu. Arga tidak hanya menunjukkan tanggung jawab, tapi juga perhatian yang perlahan-lahan melembutkan hatinya.
“Ya udah... terserah kamu deh,” katanya akhirnya, pasrah.
Arga tersenyum singkat, puas dengan jawaban itu. “Sip. Sekarang buruan siap-siap, nanti telat.”
Beberapa menit kemudian, Viola mengunci pintu rumah dengan satu tangan sementara tangan satunya menggenggam tas kerja. Arga sudah menunggu di depan mobil, membukakan pintu untuknya seperti seorang pria sejati. Viola melangkah masuk dengan diam-diam tersipu.
Mereka melaju di jalanan pagi yang ramai, mobil itu membawa dua insan yang perlahan sedang belajar menyulam perasaan, satu detik, satu kilometer, satu percakapan sederhana pada satu waktu.
Viola diantar lebih dulu ke butik kecil miliknya yang mulai berkembang. Arga menemaninya sampai di depan pintu toko, lalu melanjutkan perjalanan mengantar diri sendiri ke sekolah tempatnya mengajar.
Dan meski pagi itu tak diisi banyak kata, keduanya tahu—hari ini adalah langkah kecil ke arah yang baru. Mungkin bukan cinta pada pandangan pertama. Tapi cinta yang perlahan tumbuh dari kebaikan, perhatian, dan keberanian untuk membuka hati... sekali lagi.
Bersambung
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran