Mutia Muthii seorang ibu rumah tangga yang sudah menikah dengan seorang pria bernama Zulfikar Nizar selama 12 tahun dan mereka sudah dikaruniai 2 orang anak yang cantik. Zulfikar adalah doa Mutia untuk kelak menjadi pasangan hidupnya namun badai menerpa rumah tangga mereka di mana Zulfikar ketahuan selingkuh dengan seorang janda bernama Lestari Myra. Mutia menggugat cerai Zulfikar dan ia menyesal karena sudah menyebut nama Zulfikar dalam doanya. Saat itulah ia bertemu dengan seorang pemuda berusia 26 tahun bernama Dito Mahesa Suradji yang mengatakan ingin melamarnya. Bagaimanakah akhir kisah Mutia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Mau Ada Bayangannya
Lestari datang ke rumah Zulfikar tanpa rasa malu atau canggung lagi. Selepas ia tahu bahwa Mutia sudah tak lagi tinggal di rumah ini maka ia semakin bebas saja berlalu lalang ke sana dan ke mari. Lestari bahkan mulai melakukan renovasi rumah dan mengganti banyak barang di rumah ini dengan alasan ia mau membuang banyak kenangan Mutia yang tersimpan di sini.
"Kenapa sih kamu harus sampai melakukan semua ini?"
"Kamu masih tanya kenapa aku melakukan semua ini? Tentu saja aku gak mau ada bayang-bayang mantan istri kamu!"
Zulfikar hanya menghela napasnya panjang dengan jawaban Lestari barusan, wanita ini memang sangat benci jika ada apa saja yang berhubungan dengan Mutia maka ia langsung membuang dan menggantinya dengan hal baru. Lestari merasa puas saat semua dekorasi rumah yang akan ia tempati ini kelak setelah resmi menikah dengan Zulfikar sudah seperti apa yang ia inginkan.
"Nah kalau begini kan rasanya lega. Gak ada lagi bayang-bayang wanita itu di rumah ini."
Zulfikar sendiri tak mau menanggapi apa yang dikatakan oleh Lestari karena kalau sampai ia melakukannya maka sudah pasti akan ada drama yang lebih panjang dan ia malas melakukan hal itu.
"Jadi kapan kamu akan menikahi aku?"
"Satu bulan lagi, sesuai dengan kesepakatan kita sebelumnya."
Lestari nampak tak terima dengan jawaban Zulfikar barusan, ia tentu saja tak mau menunggu lama harus menikah dengan pria ini. Lestari menggunakan semua akal bulusnya untuk membuat Zulfikar mau mempercepat acara pernikahan mereka.
"Kenapa sih harus menunggu lama untuk itu? Bukankah kita bisa melangsungkan pernikahannya secepatnya? Bukankah akan lebih cepat maka akan lebih baik?"
"Tentu saja, tapi kan pernikahan itu bukan sesuatu yang sederhana. Banyak hal yang perlu dipersiapkan."
****
Jawaban Zulfikar barusan kenyataannya tak membuat Lestari puas, wanita itu nampak menuding bahwa Zulfikar sengaja menunda pernikahan mereka karena masih teringat Mutia. Terjadilah percekcokan di antara mereka berdua.
"Kamu ini kenapa sih selalu saja menuding semua karena Mutia?"
"Kenapa? Karena jelas memang semua ini gara-gara dia!"
"Mutia sama sekali gak ada sangkut pautnya dalam hal ini jadi kamu jangan sebut dia."
"Oh jadi sekarang kamu membela dia?! Kamu gak mikirin gimana perasaan aku, Mas?!"
"Siapa yang membela? Aku ini hanya ingin supaya kamu itu bisa sadar. Jangan hanya menyalahkan orang yang belum tentu itu benar."
"Nggak, semua itu hanya alasan saja. Kamu pikir aku gak tahu alasan kamu yang sebenarnya? Jelas kalau alasan yang sebenarnya kamu melakukan semua ini adalah karena masih berharap sama Mutia!"
Zulfikar lagi-lagi harus sabar dalam menghadapi sikap Lestari yang bisa-bisanya menyebalkan seperti ini. Semakin ia berusaha untuk mendebat Lestari maka semakin gila saja wanita ini dalam mempertahankan argumennya maka Zulfikar mulai bodo amat saja dengan apa yang Lestari katakan.
"Kenapa kamu sekarang malah diam saja? Jadi apa yang aku katakan semua barusan itu memang benar, kan?!"
"Sebenarnya kamu itu mau gak sih menikah sama aku?"
"Harusnya aku yang bertanya demikian. Apakah kamu mau menikah sama aku karena kalau aku perhatikan kamu itu sama sekali gak ada usahanya."
*****
Sementara itu Mutia memulai hidup barunya di rumah kontrakan sederhana, mulai saat ini ia harus berjuang sendiri menghidup diri dan kedua anaknya. Walau tak mudah namun Mutia selalu yakin bahwa Tuhan akan selalu menolongnya. Mutia memulai bisnis kecil-kecilan membuat nasi uduk, lontong sayur dan juga gorengan untuk dijual. Dengan uang pinjaman dari ayah dan ibunya maka Mutia kini perlahan mulai menjalani hidup dengan kedua anaknya. Warung yang Mutia dirikan di depan rumah kontrakan nampak ramai pengunjung karena memang rasa masakan Mutia yang enak.
"Rasa masakan kamu enak banget, saya jadi langganan deh di sini," ujar seorang wanita tua.
"Terima kasih banyak, Bu," ujar Mutia bahagia kala tahu ada orang yang suka dengan masakannya.
Perlahan tapi pasti warung Mutia makin ramai saja dikunjungi oleh warga maupun orang yang kebetulan melintas di jalan karena penasaran warung ini selalu ramai. Mutia selalu sabar dalam menghadapi para pembelinya yang selalu tumpah ruah. Mutia selalu bersyukur dengan apa yang diberikan oleh Tuhan. Tidak berselang lama akhirnya semua dagangan Mutia sudah ludes terjual.
"Terima kasih banyak Ya Allah, engkau sudah memberikan rezeki pada hamba hari ini."
Mutia selalu bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan hari ini itulah kunci kenapa orang banyak sekali datang ke warungnya walau banyak penjual makanan sejenis sepertinya.
****
Semakin hari makin banyak orang yang datang ke warung Mutia dan tidak sampai 1 jam sudah ludes semua, masih ada saja warga yang tidak kebagian padahal porsinya sudah Mutia tambah.
"Maaf Bu, semua sudah habis."
"Aduh saya kehabisan lagi ini."
"Besok kalau bisa datangnya lebih pagi."
Warga itu kemudian pergi dari warung Mutia yang sudah sepi dan saat ini wanita itu tengah merapihkan dagangannya dan memasukannya ke dalam rumah kontrakan. Tak lama kemudian pemilik kontrakan datang menemui Mutia dan ia meminta Mutia membayar uang bulan ini.
"Mana cukup segini," ujar wanita tua itu sinis saat menerima uang dari Mutia.
"Bukannya memang harga sewanya segitu?" jawab Mutia.
"Iya memang ini kan harga normal kalau orang yang gak jualan seperti kamu tapi kan kamu berjualan di depan rumah kontrakan saya ditambah lagi kalau saya perhatikan jualan kamu itu selalu saja laris. Pasti kamu punya banyak uang jadi kenapa kamu harus membayar di harga normal? Saya mau kamu bayar dobel."
Mutia nampak keberatan dengan apa yang diinginkan oleh pemilik rumah kontrakan ini namun ia sendiri tak punya kuasa untuk menolak, maka ia pun dengan sangat terpaksa harus membayar dengan harga yang lebih mahal seperti apa yang diinginkan oleh sang pemilik kontrakan.
"Nah begini dong, masa sih kamu harus saya kasih tahu dulu baru paham."
****
Mutia belanja di pasar pada malam hari selepas salat isya, ia berpesan pada kedua anaknya untuk akur selama ia pergi. Sephia dan Sania menganggukan kepalanya dan kini Mutia gegas menuju pasar yang jaraknya 2 kilometer dari rumah kontrakannya dengan berjalan kaki karena ia tak punya kendaraan apa pun. Mutia mulai belanja barang untuk bahan dagangannya besok, Mutia terus berkeliling dari satu tempat ke tempat lain hingga semua bumbu sudah ia dapat dan kini ia sudah dalam perjalanan pulang namun saat tiba di jalan yang agak sepi dan penerangan yang minim. Sebuah motor mendekatinya dan kemudian orang yang dibonceng merampas dompet milik Mutia.
"COPET!"
Mutia berteriak kencang dan berusaha mempertahankan dompetnya dari copet namun copet itu tetap menarik dompet Mutia.