Saat keadilan sudah tumpul, saat hukum tak lagi mampu bekerja, maka dia akan menciptakan keadilannya sendiri.
Dikhianati, diusir dari rumah sendiri, hidupnya yang berat bertambah berat ketika ujian menimpa anak semata wayangnya.
Viona mencari keadilan, tapi hukum tak mampu berbicara. Ia diam seribu bahasa, menutup mata dan telinga rapat-rapat.
Viona tak memerlukan mereka untuk menghukum orang-orang jahat. Dia menghukum dengan caranya sendiri.
Bagaimana kisah balas dendam Viona, seorang ibu tunggal yang memiliki identitas tersembunyi itu?
Yuk, ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 19
"Hmmm ... mungkin tidak hari ini, tapi akan ada hari esok atau lusa atau hari-hari berikutnya." Viona bergumam kecewa setelah kepala sekolah membatalkan rencana doa bersama untuk mendiang Desy.
Ia harus kembali masuk ke dalam aula untuk mengambil barang itu. Beruntung pintu aula belum dikunci. Setelahnya, Viona memilih atap kantor untuk duduk bersantai di bawah sinar mentari pagi yang masih terasa hangat.
Viona membuka laman pencarian mencari informasi tentang Aditya. Dewi Fortuna memihak padanya. Ia tersenyum sinis saat menemukannya. Aditya akan melakukan pemotretan untuk sebuah iklan dewasa dan belum menemukan pasangan perempuannya.
"Mungkin mereka tertarik kepadaku," gumamnya seraya mengajukan diri secara online, mengisi biodata. Tentu saja semua itu palsu, ia menggunakan nama Merlia.
Viona tersenyum, membayangkan reaksi Aditya saat mendengar nama Merlia disebut sebagai model perempuan yang akan mendampinginya.
"Kau target selanjutnya!" katanya mengakhiri pencarian dan menatap ke bawah, di mana siswa dan siswi berlalu-lalang kian kemari.
Dahi Viona mengernyit saat melihat seorang siswa yang tampak gelisah. Dia terlihat panik, berjalan terburu-buru ke dalam kamar mandi. Mencurigakan, Viona melompat turun dan berlari ke bagian toilet laki-laki tersebut. Dengan berpura-pura hendak membersihkan supaya tak ada yang curiga.
"Tidak! Kenapa semuanya jadi seperti ini? Desy, Feny ... sebenarnya apa yang terjadi?" racau siswa tersebut dengan suara lirih dan bergetar.
Viona yakin dia sedang menangis meski tidak terisak. Suaranya terdengar gelisah bercampur rasa takut yang amat kentara.
"Aku tidak melakukannya. Sungguh, aku tidak melakukan itu pada Merlia. Mereka yang melakukannya, bukan aku!" Dia kembali meracau, mengernyit dahi Viona mendengar itu.
Ah, mungkinkah dia orang terakhir itu? Siswa yang merekam adegan demi adegan kejahatan yang dilakukan teman-temannya.
Viona berdiri di depan pintu kamar mandi itu. Memandang penuh dendam padanya yang terhalang pintu. Ia menekan tenggorokan, menyamarkan suaranya menjadi suara Merlia.
"Kenapa kau melakukan itu? Kenapa kau diam saja? Bukankah kau bisa menolong ku waktu itu? Tapi kau hanya diam dan terus merekam mereka. Meski aku memohon, mengiba kepadamu, kau tetap tak melakukan apapun. Kau sama saja seperti mereka. Karma mu akan datang cepat atau lambat!" ucap Viona menggunakan suara Merlia yang ditiru nya.
Ia hampir menangis saat mengatakan itu, matanya berkaca-kaca, sekuat mungkin ia tahan agar tidak jatuh. Namun, percuma, genangan air tetap mencair dan berlinang di pipinya.
"Me-merlia?" panggil siswa tersebut dengan suara yang semakin bergetar.
"Tidak, Merlia. Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku!" ucapnya meracau seorang diri.
Viona pergi melenggang sembari mengusap air matanya. Dia memang tidak melakukan itu terhadap Merlia, tapi turut andil dalam kejahatannya. Bagi Viona sama-sama harus mendapat hukuman setimpal.
"Tidak! Ampuni aku!"
Teriakan siswa itu terdengar hingga keluar toilet, mengundang banyak siswa untuk datang dan memastikan. Viona tetap berjalan, menuju tempat yang dia sukai. Atap bangunan.
Sementara di dalam kantor, kepala sekolah dan guru mencemaskan kejadian pagi tadi yang menimpa Feny.
"Bagaimana ini, Pak? Apakah seluruh murid harus kita pulangkan?" tanya guru tersebut kepada kepala sekolah.
"Ya, mau bagaimana lagi? Kita juga belum tahu siapa pelakunya? Mau menyalahkan siapa?" ujar kepala sekolah putus asa.
Seperti sebelum-sebelumnya, saat Feny mendapat masalah di sekolah. Ayahnya akan mengirim orang untuk memberi pelajaran kepada pihak sekolah dan itu selalu terjadi. Sasarannya adalah para pekerja di sekolah dan siswa, bahkan guru.
"Amankan semua siswa, jangan beritahu mereka alasan sebenarnya dipulangkan lebih awal," katanya diangguki guru tersebut.
****
Di rumah Feny, terdengar teriakan-teriakan yang menggema memenuhi seluruh bangunan mewah itu. Ruang tamu seperti kapal pecah, ruang keluarga berubah menjadi medan perang. Kamarnya sendiri bahkan tak layak digunakan untuk beristirahat.
Barang-barang berserakan, pecahan beling di mana-mana. Para asisten tak dapat melerai, yang mereka lakukan hanyalah membersihkan bekas amukan sang nona.
"Ada apa ini? Di mana Feny?" tanya pemilik rumah ketika melihat keadaan dalam.
"Nona Feny di kamarnya, Nyonya," jawab salah satu asisten rumah tangganya yang sedang merapikan ruang tamu.
Ibunya Feny melirik sang suami, kemudian berlari menapaki anak tangga menuju kamar putri mereka. Ia membelalak saat tiba di ambang pintu. Tak ada celah untuk melangkah. Makeup berserakan, ada banyak pecahan beling dari botol parfum dan yang lainnya.
Ia melangkah hati-hati mendekati putrinya yang sedang duduk meringkuk di atas ranjang sambil tersedu-sedu menangis.
"Sayang, ada apa denganmu? Katakan pada Ibu, siapa yang membuat putri cantik Ibu ini marah?" tanyanya dengan lembut, ia mengusap punggung Feny memberinya ketenangan.
Feny mendongak, menatap sang ibu dengan mata merah berair. Ia berlabuh ke pelukannya, menumpahkan tangisan di sana.
"Semua ini karena si petugas kebersihan di sekolah. Dia mempermalukan aku, Bu. Sekarang tidak ada yang mau berteman denganku lagi di sekolah. Mereka semua membenciku, Bu. Dia harus dipecat dan dilarang bekerja di manapun," adu Feny merengek kepada ibunya.
Wanita itu melirik suaminya yang berdiri di ambang pintu. Menatap datar pada mereka berdua, dengan perasaan yang tak menentu.
"Kau dengar itu? Seseorang telah mempermalukan anak kita! Dia pantas dihukum!" sengit wanita itu dengan geram.
Feny diam-diam tersenyum jahat, membayangkan saat Viona kehilangan pekerjaan dan tak ada lagi yang mau menerimanya bekerja. Dia akan mengemis di pinggir jalan, mengharapkan belas kasihan orang-orang.
Tanpa berkata-kata, ayah Feny berbalik dan turun ke bawah. Meminta asistennya untuk membawa orang mendatangi sekolah. Memberi pelajaran kepada si petugas kebersihan yang dimaksud anaknya.
"Pergi, dan katakan padanya untuk memecat petugas kebersihan itu secara tidak hormat!" titahnya pada mereka.
Ia menjatuhkan diri di sofa, memijit pelipisnya yang terasa pening. Kehidupan berubah setelah meninggalkan pernikahannya yang dulu. Selalu menghadapi masalah yang sama, masalah sepele yang seharusnya tak perlu turun tangan langsung.
****
Di sekolah, guru dan kepala sekolah mengumpulkan semua siswa dan memberitahukan mereka untuk pulang lebih awal. Tak perlu menjelaskan tentang alasan, semua siswa tahu apa yang akan terjadi ketika Feny mendapat masalah.
Mereka berhamburan ke kelas mengambil tas sekolah dan berlarian ke luar. Begitu pula dengan para pekerja serta sebagian guru.
Namun, belum sempat keluar gerbang, sebuah mobil hitam muncul dan masuk ke dalam area sekolah. Mereka semua menegang, mundur perlahan. Para pekerja dan petugas keamanan berdiri di depan siswa bersama guru-guru dan kepala sekolah. Kecuali, Viona yang tak ada di dalam barisan.
Empat orang laki-laki bertubuh kekar keluar, disusul seorang laki-laki berpakaian rapi. Mereka berjalan angkuh, menakuti semua orang. Kepala sekolah mendekat, berhadapan dengannya.
"Ada hal penting apa yang membawa Bapak datang ke sekolah?" tanyanya dengan sopan.
Plak!
Bukan jawaban yang dia dapatkan, tapi sebuah tamparan keras di pipi membuatnya meringis.
"Seseorang harus mendapatkan hukuman karena telah mempermalukan nona Feny. Bukankah kalian tahu apa konsekuensi dari mengusik nona Feny?" ujarnya sengit.
Kepala sekolah mendongak, mencoba untuk tersenyum meski pipi berdenyut nyeri.
"Ah, masalah itu. Itu hanya masalah anak-anak saja, tak perlu dibesar-besarkan. Besok atau lusa mereka akan kembali berteman. Memang seperti itu anak-anak," jawab kepala sekolah.
Bugh!
Prang!
Suara-suara keras itu menyentak semua orang termasuk Viona yang sedang duduk di atas atap.
Pot-pot bunga di depan kelas berserakan, sampah-sampah dihamburkan. Sungguh membuat kesal.
"Ini bukan masalah anak-anak, tapi seorang petugas kebersihan yang melakukannya." Matanya menatap satu orang petugas kebersihan laki-laki yang tak tahu apa-apa.
"Ah, bukan dia. Orang yang kalian maksud sudah pulang, dia sudah tidak di sini," ucap kepala sekolah dengan cepat.
"Aku tidak mau tahu, siapapun orangnya, kalian semua harus menanggung akibatnya!" katanya sengit.
Salah satu dari laki-laki bertubuh besar itu menyeret petugas kebersihan dan hendak memukulinya. Namun, sebuah bayangan muncul dari atap kantor, mengalihkan perhatian semua orang. Mereka pikir Viona akan melakukan bunuh diri, tapi mereka salah.
"Bukan dia, tapi aku yang kalian cari!" ucapnya lantang.
"Bu Viona!" Para siswa merasa cemas, begitu pula dengan guru-guru. Apalagi kepala sekolah, mereka takut wanita itu melompat dari atap.
"Oh! Seorang perempuan rupanya!" cibir laki-laki itu meremehkan.
Viona benar-benar melompat dari atap gedung tanpa aba-aba. Jerit histeris para siswa menggema, sebagian menangis karena tindakan nekad Viona itu.
"Bu Viona!"
kyknya Peni yg terakhir.. buat jackpot bapaknya.. si mantan Viona..!! 👻👻👻