"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Between Love And Ambition
Rumah keluarga Lancaster adalah salah satu properti paling megah di pinggiran London. Dikelilingi taman luas yang tertata rapi dengan air mancur menderu di tengahnya, rumah bergaya Georgian itu berdiri megah dengan pilar-pilar putih menjulang di depan pintu masuknya. Interiornya memancarkan kemewahan klasik: dinding-dinding berlapis kayu mahoni, perabot antik, dan karpet Persia yang tebal menghiasi setiap ruangan.
Di salah satu sudut rumah, terdapat ruang kerja besar milik Lord Edmund Lancaster, ayah Darren. Ruangan itu didominasi rak buku tinggi yang penuh dengan buku keuangan, hukum, dan ekonomi, sementara meja kayu yang besar menjadi pusat dari ruang tersebut. Sebuah lukisan keluarga menggantung di dinding belakang, memperlihatkan Darren muda berdiri di samping ayahnya yang tampak berwibawa.
Darren duduk di kursi kulit hitam di depan meja ayahnya, sosoknya berubah total dari lelaki santai dan menggoda yang biasanya terlihat di kantor. Dengan kemeja putih yang dilipat hingga siku dan dasi longgar, ia memancarkan aura tangguh dan dominan. Matanya yang tajam memancarkan keseriusan saat ia menatap ayahnya yang duduk di balik meja.
“Jadi, apa pendapatmu tentang laporan itu, Darren?” tanya Edmund, suaranya dalam dan penuh otoritas.
Darren menghela napas panjang, meletakkan dokumen yang baru saja ia periksa ke atas meja. “Ada sesuatu yang tidak beres, Ayah. Aku sudah memeriksa laporan keuangan dari divisi pemasaran dan pengadaan. Angkanya tidak sinkron, dan ada dana yang hilang—jumlahnya tidak kecil.”
Edmund menyandarkan tubuhnya ke kursi, jari-jarinya saling mengait di depan dada. Ekspresinya berubah serius. “Berapa besar yang kita bicarakan di sini?”
“Lebih dari dua juta pound dalam enam bulan terakhir,” jawab Darren tegas.
Ruangan itu seketika hening. Bahkan suara jam antik di sudut ruangan terdengar begitu nyaring. Darren menatap ayahnya dengan mata penuh tekad, sementara Edmund tampak berpikir dalam-dalam.
“Darren, jika ini benar, maka ini masalah besar,” Edmund akhirnya berkata. “Tapi, kau yakin? Tidak ada kemungkinan kesalahan administrasi?”
Darren menggeleng. “Tidak mungkin. Aku sudah memeriksa tiga kali. Dan pola penggelapannya terlalu rapi, seperti dirancang agar tidak mudah terdeteksi.”
Edmund menatap putranya dengan penuh kebanggaan yang tersembunyi. Darren mungkin masih muda, tetapi ia telah membuktikan dirinya sebagai seseorang yang cerdas dan berkompeten. Sikap santai dan sedikit nakal yang sering ia tunjukkan di luar hanyalah topeng dari kedewasaan dan ketangguhannya yang sebenarnya.
“Apakah kau sudah punya nama?” tanya Edmund akhirnya.
“Aku punya beberapa kandidat,” Darren menjawab sambil menggeser beberapa dokumen ke arah ayahnya. “Tapi aku butuh waktu untuk menyelidiki lebih jauh. Aku juga ingin memastikan bahwa tidak ada orang lain yang tahu aku sedang memantau ini. Itu sebabnya aku tetap menyamar sebagai karyawan biasa.”
Edmund mengangguk, pandangannya berubah lebih tajam. “Baik. Aku percayakan ini padamu. Tapi berhati-hatilah. Jika benar ada penggelapan, orang ini pasti cukup berpengaruh dan licik.”
Darren merasakan beban besar di pundaknya, tetapi ia tidak menunjukkan kelemahan sedikit pun. Di depan ayahnya, ia harus tampak percaya diri dan penuh kendali. Dalam hatinya, ia tahu bahwa menyamar sebagai karyawan biasa di perusahaan adalah cara terbaik untuk memahami dinamika kantor dan menemukan celah yang mungkin dimanfaatkan orang lain.
Sementara itu, Edmund merasa bangga namun juga khawatir. Darren adalah putra tunggalnya, pewaris tunggal dinasti Lancaster. Meski ia tahu Darren mampu, risiko yang dihadapi putranya tetap membuat hatinya tidak tenang. Namun, ia tidak akan pernah mengungkapkan kekhawatiran itu secara langsung.
Edmund menyandarkan siku di meja, menatap Darren lekat-lekat. “Darren, kau tahu betapa pentingnya ini, bukan? Reputasi keluarga kita, perusahaan ini, semuanya dipertaruhkan.”
“Aku tahu, Ayah,” Darren menjawab, nada suaranya tenang tetapi tegas. “Itu sebabnya aku tidak akan membiarkan siapa pun merusak apa yang telah kau bangun selama ini. Aku akan mencari tahu siapa pelakunya, dan aku akan memastikan mereka tidak bisa lolos begitu saja.”
Edmund tersenyum tipis, meskipun ada ketegangan yang masih tersisa di matanya. “Kau mengingatkanku pada diriku sendiri saat muda. Tapi, Darren, jangan biarkan ambisi membutakanmu. Ingat, setiap langkah harus diperhitungkan dengan matang.”
Darren membalas senyuman itu dengan percaya diri. “Aku selalu berhati-hati, Ayah. Tapi, terkadang, sedikit keberanian juga diperlukan untuk melangkah maju.”
Edmund tertawa kecil, meskipun ekspresinya tetap serius. “Kau benar. Tapi ingat, Darren, dalam permainan ini, musuhmu bisa berada lebih dekat daripada yang kau bayangkan.”
Kata-kata itu menggema di pikiran Darren saat ia meninggalkan ruang kerja ayahnya. Matanya yang tajam menyiratkan tekad yang tidak tergoyahkan. Ia tahu bahwa apa yang sedang ia hadapi lebih dari sekadar masalah perusahaan—ini tentang tanggung jawabnya sebagai pewaris keluarga Lancaster.
***
Malam itu, apartemen Elea dan Adrian terasa sunyi, hanya diiringi suara angin malam yang berhembus melalui jendela. Ruang tamu kecil mereka tampak sederhana namun rapi, dengan sofa tua berwarna krem yang mulai usang dan meja kopi yang penuh dengan dokumen kerja Adrian. Sebuah lampu berdiri menyala redup di sudut ruangan, memberikan suasana hangat tetapi juga sedikit suram.
Elea duduk di ujung sofa, tangannya memegang cangkir teh yang sudah dingin. Wajahnya tampak tegang, matanya menatap Adrian yang sedang sibuk dengan ponselnya. Pria itu duduk di seberang meja, wajahnya diterangi cahaya layar ponsel, tak sekali pun menoleh ke arah Elea.
"Adrian, aku ingin bicara," kata Elea akhirnya, suaranya lembut namun terdengar tegas.
Adrian menghela napas tanpa mengangkat pandangannya dari layar ponselnya. "Aku sedang sibuk, Elea. Apa yang mau kau bicarakan?"
Elea merasakan rasa frustrasi yang mulai tumbuh di dadanya, tetapi ia mencoba menahannya. "Ini penting. Tolong, letakkan dulu ponselmu sebentar."
Dengan enggan, Adrian menurunkan ponselnya dan menatap Elea dengan ekspresi yang setengah bosan. "Baiklah. Katakan."
Elea menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. "Aku ingin berhenti dari pekerjaanku."
Mata Adrian menyipit, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa? Berhenti? Kau serius?"
Elea mengangguk. "Aku sudah memikirkannya dengan matang. Aku ingin fokus menjadi penulis. Aku merasa... itu adalah hal yang benar-benar ingin kulakukan. Aku ingin mengejar mimpiku, Adrian."
Adrian mendengus, mencondongkan tubuhnya ke depan. "Mengejar mimpi? Elea, kau sudah bukan anak kecil lagi. Menulis? Apa kau pikir itu akan membayar tagihan kita? Membeli makanan? Membayar sewa apartemen ini?"
"Aku tahu itu tidak mudah," jawab Elea, berusaha tetap tenang meskipun hatinya mulai sakit mendengar nada sinis suaminya. "Tapi aku yakin, jika aku fokus, aku bisa berhasil. Aku bisa mencari peluang lain sambil menulis."
Adrian berdiri, berjalan mondar-mandir di depan sofa dengan tangan yang terkepal. "Elea, dengarkan aku. Semua hal yang kau lakukan selama ini, menulis, semua itu hanya buang-buang waktu! Kau pikir siapa yang akan membaca bukumu? Kau pikir penerbit akan mengantri untuk menerbitkan tulisanmu? Bangun, Elea! Dunia nyata tidak seperti itu."
Elea terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Setiap kata yang keluar dari mulut Adrian seperti duri yang menusuk hatinya. Namun, ia tidak ingin menangis. Ia menegakkan tubuhnya, berusaha mempertahankan sisa keberaniannya.
"Aku hanya ingin mencoba, Adrian," katanya pelan tetapi penuh tekad. "Ini penting bagiku. Menulis adalah bagian dari diriku, sesuatu yang membuatku merasa hidup."
Adrian tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. "Bagian dari dirimu? Elea, bagian dari dirimu seharusnya adalah bekerja keras, menghasilkan uang, dan membantu kita menjalani hidup ini. Bukan mengejar sesuatu yang tidak jelas seperti 'menulis'."
Elea akhirnya tidak bisa menahan lagi, air matanya jatuh perlahan. "Adrian, aku sudah bekerja keras selama ini. Aku selalu mendukungmu, selalu berusaha melakukan yang terbaik. Aku hanya meminta satu hal—dukungan darimu untuk mimpiku. Apakah itu terlalu sulit?"
Adrian menghentikan langkahnya dan menatap Elea dengan dingin. "Ya, Elea. Itu terlalu sulit. Karena aku hidup di dunia nyata, bukan dunia mimpi."
Elea merasa hatinya seperti dihancurkan oleh pria yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung. Adrian, yang pernah menjadi cinta dalam hidupnya, kini terasa seperti orang asing yang tidak memahami dirinya sedikit pun. Ia merasa terjebak, terkurung dalam kehidupan yang tidak memberinya kebahagiaan.
Adrian, di sisi lain, merasa frustrasi dan marah. Bukan karena ia tidak peduli pada Elea, tetapi karena ia tidak percaya bahwa mimpi Elea adalah sesuatu yang realistis. Baginya, kehidupan adalah tentang bekerja keras dan bertahan, bukan mengejar hal-hal yang ia anggap sebagai fantasi.
"Kenapa kau tidak pernah percaya padaku, Adrian?" Elea akhirnya bertanya, suaranya nyaris berbisik.
Adrian menatapnya, wajahnya penuh kekesalan. "Bukan soal percaya atau tidak, Elea. Aku hanya realistis. Hidup ini sulit, dan kau tahu itu. Kita tidak punya waktu untuk mengejar sesuatu yang tidak pasti."
Elea bangkit dari sofa, menatap Adrian dengan mata yang penuh air mata tetapi juga amarah. "Kau tahu apa yang lebih sulit dari hidup ini? Tinggal bersama seseorang yang tidak pernah mendukungmu. Kau mungkin realistis, Adrian, tapi kau tidak pernah melihat betapa aku berusaha untuk bertahan. Dan sekarang, aku hanya meminta sedikit dukungan darimu. Sedikit saja. Tapi kau bahkan tidak bisa memberikannya."
Adrian tidak menjawab, hanya mengangkat bahunya dan kembali ke ponselnya, seolah percakapan itu tidak berarti apa-apa.
Elea berjalan keluar dari ruang tamu, hatinya terasa hancur. Di dalam kamar, ia duduk di tepi tempat tidur, memandang ponselnya. Ia membuka aplikasi menulis yang biasa ia gunakan, tetapi tidak mampu mengetik satu kata pun. Pikirannya dipenuhi kata-kata Adrian yang menyakitkan.
Saat itu, sebuah notifikasi masuk di ponselnya. Sebuah pesan dari Darren:
"Apa kau baik-baik saja? Kau terlihat lelah tadi di kantor. Jika butuh teman bicara, aku selalu ada."
Elea membaca pesan itu berkali-kali, merasa ada sedikit kehangatan di tengah kesendiriannya. Namun, ia tahu pesan itu juga membawa risiko besar. Apa yang akan terjadi jika ia membalasnya?
***