Demi masa depan, Tania Terpaksa menjadi wanita simpanan dari seorang pria yang sudah beristri. Pernikahan Reyhan yang di dasari atas perjodohan, membuat Reyhan mencari kesenangan diluar. Namun, dia malah menjatuhkan hatinya pada gadis yang menjadi simpanannya. Lantas, bagaimana hubungannya dengan Kinan, dan rumah tangganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nova Diana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ibu Menelpon.
Pagi hari, Reyhan sudah rapi dengan setelan jasnya. Sedangkan Tania, gadis itu masih tertidur di bawah selimut.
Reyhan tidak membangunkan Tania, karena katanya, dia tidak ada jam kuliah pagi. Reyhan hanya meletakan sarapan di meja samping tempat tidur. Lalu pergi ke perusahaan.
Dering nyaring dari ponsel membangungkan Tania dari tidurnya, ia mencari- cari dimana ponselnya masih dengan mata tertutup.
Dapat, lalu Tania membuka sedikit matanya untuk melihat siapa. Bergegas ia bangun saat nama Ibunya yang ternyata menelpon.
“Halo, bu.”
“Tania, kau sedang tidur ya, nak?”
“Iya, bu. Hehe,”
“Maaf, maaf. Ibu menganggu ya, Nia?”
“Enggak, bu, enggak. Kenapa bu? Tumben pagi- pagi nelfon?”
Terdengar hembusan nafas berat dari ibu “begini, Nia. Ayah, Ayah masuk penjara.”
“Apa!” Tania terkejut bukan main, memang dia tahu kebiasaan buruk Ayahnya yang berjudi juga mabuk. Tapi jika sampai di penjara bukankah akan menyusahkan ibunya.
Sudah berulang kali Tania meminta sang ibu untuk bercerai, tapi ibu Tania menolak dengan alasan kasian Ayah, jika di tinggal, bagaimana Ayah nanti.
Tania sendiri tidak tahu, terbuat dari pada hati ibunya, yang masih berdiri setegar karang mempunyai suami seperti Ayahnya.
Aah, Tania muak mendengar tentang Ayahnya yang hanya bisa menyusahkan.
“Kenapa, dia, bu? Berjudi?” Tania sudah bertanya dengan nada tinggi.
“Tidak, Nia. Ayahmu,” menjeda omongannya, terdengar suara Ibu sudah bergetar, menahan tangis.
“Apa, Ibu? Pesta alkohol?” Masih terus bertanya karena Ibu tidak kunjung menjawab.
“Ayah ketahuan berselingkuh dengan, bu Risma.” Terdengar tangis Ibu sudah pecah, tidak bisa lagi menahan sesak di dadanya.
“Apa!” Lagi- lagi Tania di buat terkejut, Ayahnya sudah naik level ternyata, tidak hanya berjudi dan mabuk kini dia menambah siksaan pada Ibu dengan berselingkuh.
Tania sudah habis kata, habis pikir dengan tingkah Ayahnya.
Menyesali kenapa harus dia yang menjadi Ayahnya, kenapa!
Aaaaaaggghhh!
Tania berteriak, suaranya mengema di seluruh ruangan Apartemennya.
Ibu terkejut mendengar teriakan Tania, “Tania, kamu kenapa, sayang?” Suara ibu berubah menjadi khawatir karena teriakan tiba- tiba Tania.
Bersusah payah Tania menggendalikan diri, menarik nafas dalam membuang sesak di dadanya.
“Ibu, ceritakan, kenapa sampai dia di penjara karena ketahuan selingkuh.”
Tania juga binggung, bukankah biasanya jika seseorang tertangkap berselingkuh hanya akan di adili di balai desa setempat. Kenapa bisa sampai di penjara.
Ibu mulai bercerita dengan sesekali masih menahan sesak.
Hari itu, ibu seperti biasa, setelah membersihkan rumah dan membuat makanan dirumah, ibu akan ke warung ibu untuk berjualan kelontong kecil-kecilan juga sayuran.
Ibu tidak punya firasat buruk saat itu, dia tetap melangkah pasti menjemput rejeki. Karena sejak Tania merantau, dan bisa mengirim uang ke ibunya, Ibu Tania menabung uang yang di berikan dan ketika modalnya sudah cukup, Ibu Tania membuka warung yang tidak terlalu besar di ujung gang rumahnya.
Ternyata selama ini, setelah Ibunya pergi ke warung, Ayahnya akan memanggil perempuan lain ke rumah mereka. Tidak tahu sejak kapan Ayahnya mulai berselingkuh dengan para wanita di sekitaran tempat tinggalnya di desa.
Tidak tahu apakah hari itu Ayah Tania sedang apes, atau memang sudah di jebak. Suami dari istri yang berselingkuh dengan Ayahnya datang saat mereka sedang memadu kasih di kamar Tania.
Meskipun Tania tinggal di rantau, dan tidak pernah pulang, tapi Ibu selalu membersihkan kamar Tania, berharap jika nanti anaknya pulang akan tetap bersih tanpa debu.
Ternyata di kamar itulah, Ayah Tania memadu kasih dengan wanita lain.
Sudah tertangkap basah, tidak bisa lari ataupun memberi alasan yang masuk akal. Ibu Tania yang sedang melayani pembeli lari tergopoh-gopoh meninggalkan warung setelah di beri kabar.
Saat sampai, rumah sudah di penuhi orang. Ibu melihat Ayah yang hanya memakai sarung duduk tertunduk di kursi ruang tamu dan seorang perempuan sedang duduk juga menunduk menutupi wajahnya dengan rambut dan hanya memaki sarung tanpa mengunakan dalaman.
Ibu Tania syok. Menangis meraung, melihat penampakan di hadapannya.
“Tega kamu, Yah, tega.”
“Bagaimana kamu bisa mengunakan kamar anak kita untuk berzina, tega kamu.”
Suara- suara terdengar dari orang- orang yang sedang menyaksikan mereka, sumpah serapah, makian juga hinaan tidak luput mereka lontarkan untuk Ayah Tania.
“Saya tidak terima, saya ingin menuntut ganti rugi, lima puluh juta.”
Setelah diskusi panjang, suami dari perempuan itu menuntut ganti rugi dengan jumlah uang yang sangat besar bagi Ibu Tania.
“Jika tidak bisa memberi uang ganti rugi, saya akan membawa ini ke pengadilan.”
Laki-laki itu mengancam, tapi mau bagaimana pun Orang tua Tania tidak punya sejumblah uang yang di minta. Dan terpaksa ibunya merelakan Ayah Tania mendekam di sel setempat.
Awalnya Ibu Tania tidak mau sampai Tania tahu tentang Ayahnya, tidak mau menambah luka anaknya. Tapi saat kemarin Ibunya berkunjung ke sel tahanan, menjenguk Ayahnya.
Ayah Tania meminta rumah yang mereka tinggali agar di jual, dan uangnya untuk membebaskan Ayahnya.
Ibunya sudah tidak tahu lagi harus bagaimana, jika tidak di turuti Ayahnya meminta cerai. Namun hati ibunya sudah membeku sekarang. Tidak ada lagi kasihan untuk Ayahnya.
Hanya saja, tanah yang mereka tinggali adalah tanah warisan dari orang tua Ayah Tania. Meskipun rumah yang berdiri sebagian besar hasil kerja keras ibunya, tapi Ibunya tidak punya kuasa untuk itu.
Jadi mau tidak mau, Ibu Tania akan menjual rumah mereka.
“Jual saja, bu. Berikan uangnya pada Ayah sedikit. Lalu ceraikan Ayah.” Tania sudah muak, tidak mau lagi menambah sakit pada ibunya.
“Iya, Nia. Ibu memang akan menjual rumah ini. Ibu akan pindah ke kampung Ibu, membeli tanah disana, dan membangun rumah kecil.” Ibu diam sejenak
“ibu juga akan menceraikan Ayah, mungkin inilah waktunya.”
Tania menarik nafas lega, akhirnya setelah puluhan tahun, ibu sadar dan mau melepaskan Ayah Tania.
“Ibu juga sudah bertemu calon pembeli rumah kita.” Tania tahu, ibunya mengatakan itu dengan hati yang berat.
Bagaimanapun rumah itu adalah tempat mereka merajut kehidupan, kenangan masa kecil Tania, masa sekolah juga saat- saat Tanua memutuskan untuk pergi merantau keluar provinsi.
Banyak suka dan duka yang ada pada rumah itu, rumah yang sudah melindungi mereka dari panasnya matahari dan dinginya angin malam.
Selama ini Ibu sudah sangat baik merawat Rumah itu, hingga sampai untuk saat ini ia harus merelakannya.
“Bu, terus kabari aku, maafkan aku yang tidak ada di saat masa sulit ibu, aku.” Tania tidak kuasa menahan rasa sesak di dadanya, air matanya luruh juga, membajiri wajah cantiknya.
Sakit rasanya, membayangkan sakitnya jalan hidup yang di lalui ibunya, Sendirian, menahan segala prilaku buruk Ayahnya, mencari nafkah untuk keluarga.
Dan hingga saat paling terpuruknya pun Ibu menahan sendiri tanpa mau membagikan sedihnya, ibunya hanya akan membagikan kebahagian dan kelembutan untuk Tania.
Tidak pernah mengeluh taupun meminta bantuan.
“Maafkan, Tania, bu”
“Tidak apa- apa, Tania. Kamu hidup dengan baik seperti sekarang ini, ibu juga sangat bahagia. Ibu bangga sudah melahirkan anak secantik dan pintar seperti kamu.”
Tania kembali menangis, suaranya tertahan agar tidak terdengar Ibunya, andai ibunya tahu, bagaimana ia mendapat uang selama ini. Bagimana anaknya menjalin hubungan gelap dengan pria beristri.
Apakah kata bangga itu masih akan keluar dari mulut ibunya.
“Bu, maafkan Tania.”
“Tidak, sayang. Tania tidak pernah buat kesalahan, haruanya Ibu yang minta maaf, karena sudah menyusahkanmu. Ibu tahu, kuliah sambil bekerja itu sangat sulit di jalani. Maafkan Ibu, Tania.”
Bu, aku tidak sebaik yang kau pikirkan, bu. Tania memukuli dadanya yang sesak.
“Yasudah, ibu tutup telfonya, ya. Ibu akan membuka warung, sudah terlalu siang, ibu- ibu lain pasti sudah menunggu di warung ibu.”
Setelah meyakinkan Tania, ibunya menutup sambungan telpon, lalu mencuci wajahnya yang habis menangis dan pergi ke warung. Hidup terus berjalan, yang terjadi saat ini, tidak akan menyurutkan semangat hidup Ibu Tania.
Sedangkan Tania, dia masih saja menangis, membayangkan wajah teduh ibunya yang berjuang sendirian menahan segala macam rasa sakit yang di berikan Ayahnya.
“Ayah, jahat. Aku benci mengakui kau Ayahku, aku benci kau jadi Ayahku.”
Tania terus menangis, sampai tidak terasa ia mulai kelelahan, lalu tertidur.
Bersambung….