Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi Buruk Setiap Hari
📍Rai’s House
Pagi itu seperti pagi-pagi sebelumnya, dengan sinar matahari lembut menyinari ruangan makan di rumah Rai. Reymond duduk di sisi kanan meja makan panjang, menikmati sarapan yang disiapkan oleh istrinya, Rein. Suasana tenang dan hangat, namun di balik itu, ada ketegangan yang tak terlihat.
Rein dengan penuh perhatian menyodorkan sepotong roti panggang hangat kepada suaminya. "Sayang, ini aku buatkan roti panggang untuk kamu. Akhir-akhir ini, aku lihat kamu gak napsu makan," ucap Rein, dengan nada penuh kasih.
"Terima kasih," jawab Reymond singkat, matanya tak lepas dari piringnya.
Mattheo, sang mertua, yang duduk di ujung meja, meletakkan sendoknya dengan perlahan dan menatap Reymond. "Apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada penuh perhatian, membuat Reymond akhirnya menoleh untuk menatap mertuanya.
"Akhir-akhir ini saya sibuk, papa mertua. Jadinya... napsu makan saya terganggu," jawab Reymond, mencoba menjelaskan dengan nada yang tenang.
"Begitu?" Mattheo mengangguk pelan, seolah memahami.
"Iya," Reymond mengangguk, merasa sedikit tertekan dengan perhatian yang diberikan padanya.
***
📍Dallas Law Company
Di kantor Dallas Law, suasana sedikit lebih tegang. Ketukan pintu terdengar, memecah kesunyian ruangan Reymond yang dipenuhi tumpukan berkas. Seorang wanita masuk dengan membawa tumpukan laporan. "Pak, ini laporan yang bapak minta kemarin," katanya, meletakkan berkas di atas meja kerja Reymond.
Reymond menatapnya sejenak, kemudian mengangguk. "Iya, terima kasih," jawabnya dengan tegas, menunjukkan sikap profesionalnya.
Wanita itu hendak meninggalkan ruangan, namun sebelum dia keluar, seseorang masuk dan menyela pembicaraan. "Reymond?" Michael, seorang senior yang cukup dekat dengan Reymond, menyapa dengan suara berat.
Wanita itu segera mundur, memberi hormat pada Reymond, dan keluar dari ruangan. "Saya permisi, pak," ucapnya cepat, lalu menutup pintu dengan lembut.
"Hm, ada apa, hyung?" Reymond menatap Michael dengan ekspresi serius.
"Hanya, saya ingin menyapa kamu. Sudah lama gak bertemu dengan kamu, Rey," jawab Michael, sedikit tersenyum, mencoba mencairkan suasana yang sedikit tegang.
"Akhir-akhir ini saya sangat sibuk," Reymond menjawab dengan nada rendah.
Michael mengangguk. "Hm, kamu begitu sibuk, kata sekretarismu. Ah, kamu juga banyak berpergian akhir-akhir ini."
"Iya, hyung," Reymond menjawab, masih dengan nada datar.
Michael kemudian melanjutkan, "Serein menghubungiku. Katanya, temannya membutuhkan pengacara."
Reymond mengernyit, sedikit berpikir. "Iya, hyung."
"Kamu beneran nggak mau menghandlenya?" tanya Michael, menatap Reymond dengan tajam.
"Saya sangat sibuk sampai hari ini. Takut kalau saya tidak bisa menghandle dan malah menghancurkan semuanya," jawab Reymond, seakan menghindar.
Michael diam sejenak, menilai situasi. "Begitu ya?" tanyanya, lebih pada dirinya sendiri.
"He'em," Reymond mengangguk pelan, merasa tak ada pilihan lain.
"Baiklah kalau begitu," ujar Michael akhirnya. "Tapi mungkin, Serein akan sering menemui saya. Kamu tahu, kan, kalau ini teman dekat Rein?"
"Iya," jawab Reymond singkat, mengerti maksud Michael.
"Ya sudah," kata Michael, lalu beranjak menuju pintu. Reymond hanya mengangguk, menerima persetujuan itu.
Setelah Michael keluar, Reymond kembali duduk di kursinya. Namun, pikirannya tak kunjung tenang. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi, memandang layar komputer dengan kosong.
"Hhhh..." Reymond menghela napas panjang, menyadari betapa beratnya keputusan-keputusan yang harus ia hadapi untuk pekerjaannya.
***
📍Lokasi Syuting
"Ini pekerjaanmu yang terakhir untuk hari ini. Setelahnya, kamu bisa kembali lebih awal dan istirahat, Emily," ucap Yubin dengan nada lembut, sambil mengatur jadwal di tangan.
"Iya, eonnie," jawab Emily dengan senyum tipis, meski tubuhnya terasa kelelahan luar biasa. Namun, dia memaksakan diri untuk tetap tersenyum setiap kali ada orang yang menyapanya.
Fisiknya sudah menjerit, menuntut istirahat, tetapi Emily tetap melangkah, seolah tak ada masalah. "Tapi aku nggak yakin, kalau aku bisa kembali ke apartemen lebih awal," gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Dia menghela napas dengan berat. "Mimpi buruk akan dimulai lagi..."
Hari demi hari, tekanan itu semakin besar. Bagaimana tidak, dia harus terus mengikuti keinginan atasannya yang memiliki kuasa penuh atas karier dan masa depannya. Jika dia sedikit saja melawan, karirnya akan hancur. Bahkan lebih buruk lagi, ancaman yang datang bukan sekadar ancaman kosong—ancaman itu berisi sanksi sosial yang akan menghancurkan dirinya secara publik.
"Pak Mattheo masuk majalah lagi," ucap Yubin, sambil memeriksa artikel yang baru saja dibaca. Emily mematung, tidak tertarik dengan apa yang Yubin katakan.
"Mr. Rai, kepala keluarga yang hangat, yang menyayangi anak perempuan satu-satunya dan begitu baik dengan menantunya," lanjut Yubin dengan nada sinis pada dirinya sendiri, seolah tak percaya dengan gambaran idealis yang tertulis di artikel tersebut. Emily hanya terdiam mendengarnya, lalu memilih untuk pergi menjauh dari Yubin, menyisakan kesan bahwa kata-kata itu membuatnya merasa tidak nyaman.
***
📍Dallas Company
-Ruangan Reymond-
Di ruang kerja Reymond, suasana terhenti sejenak saat sekretarisnya masuk membawa artikel.
"Artikel ini baru dinaikkan, Pak Reymond," ucap sekretarisnya, meletakkan artikel terbaru di atas meja.
"Hm," jawab Reymond datar, matanya masih terfokus pada layar iPad yang menampilkan artikel itu. Artikel yang, meskipun membuatnya tak merasa bahagia, juga tak menimbulkan rasa marah atau cemas.
Sekretaris Reymond kemudian melanjutkan, "Hari ini, Bapak harus bertemu dengan Pak Presedir lagi di kantor."
"Iya, tadi beliau juga sudah mengatakannya kepada saya," jawab Reymond, suara tegasnya mengindikasikan bahwa pertemuan itu tak bisa dihindari.
"Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi," kata sekretaris itu sebelum keluar dari ruangan, meninggalkan Reymond dengan pikirannya sendiri.
Deringan telepon yang tiba-tiba memecah kesunyian ruangan membuat Reymond segera mengangkatnya. "Sayang?" suaranya lembut, Rein memanggil suaminya.
"Iya?" jawab Reymond, menanggapi panggilan dari Rein.
"Kamu balik jam berapa?" tanya Rein, suara rindu terdengar jelas.
"Belum tahu, ada apa, Rein?" Reymond menjawab dengan nada tenang, mencoba tak teralihkan perhatiannya.
"Aku kangen," ucap Rein, dengan nada manja.
"Saya akan pulang ke rumah malam ini," jawab Reymond, suara seriusnya tetap terkendali.
"Aku tunggu," Rein membalas, seolah menyiratkan harapan di balik kata-katanya.
"Iya, Rein," Reymond mengakhiri percakapan dengan suara lembut namun tegas.
***
📍Rai's House
"Kakak dengar sendiri, kan? Suami aku akan pulang malam ini," Rein berkata pada Michael, yang duduk di hadapannya.
Michael mengangguk pelan, menunjukkan pengertian. "Kalau begitu, saya harus pamit."
"Kok sekarang?" tanya Rein, sedikit kecewa.
"Ya... saya masih harus ketemu sama klien yang lain, Rein," jawab Michael, dengan nada santai, meskipun ada sedikit keraguan.
"Ya sudah deh, makasih udah bantuin teman aku," kata Rein, dengan senyum tipis, mencoba tidak menunjukkan ketegangan di wajahnya.
"Iya. Saya pamit ya?" Michael berdiri, menyiapkan diri untuk pergi.
***
📍Lokasi Syuting; Parkiran
Emily baru saja melangkah menuju van hitam yang menunggu. Namun, langkahnya terhenti mendadak saat raut wajahnya berubah. Matanya menatap kosong ke depan, dan seolah berat beban itu menimpa hatinya.
"Hhhh..." Emily menghela napas dalam-dalam, merasa kelelahan emosional. "Sudah aku duga, hal seperti ini pasti akan terjadi," gumamnya dengan suara pelan, hampir tak terdengar.