Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Rumit
Langit mulai meredup, dan suara kendaraan mendominasi sepanjang jalan raya yang padat. Lampu merah menghentikan semua kendaraan, menciptakan barisan rapi yang sesekali diselingi suara klakson. Alastar memperlambat motornya, memastikan posisinya sejajar dengan motor Alarick yang sedang membonceng Frasha.
Kayana yang duduk di belakang Alastar memeluk erat pinggangnya. Jaket Alastar yang ia kenakan terikat rapi di pinggang, menutupi pahanya. Angin malam menerpa mereka, namun kehangatan jaket itu membuat Kayana merasa nyaman.
Pandangan Frasha jatuh pada Kayana. Tatapan dinginnya beralih dari wajah Kayana ke tangan gadis itu yang melingkar erat di tubuh Alastar. Ada sesuatu yang menusuk dalam hatinya, meskipun ia tak mampu menjelaskan apa. Tanpa sadar, ia menarik napas panjang, matanya tak lepas dari mereka.
Dari balik helmnya, Alastar menangkap perubahan ekspresi Frasha melalui kaca helm Alarick yang sedikit memantulkan bayangan. Ia tersenyum kecut, membuka kaca helmnya, dan menatap Alarick. “Bau-bau balikan nih,” ujarnya dengan nada menggoda.
Frasha tersentak, tangannya secara refleks melingkar pelan di pinggang Alarick. Gerakan itu membuat Alarick sedikit terkejut, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Sebaliknya, ia hanya menoleh pada Frasha, mencoba mencari jawaban di balik tindakan tiba-tiba itu.
Di belakang Alastar, Kayana memperhatikan semua itu dengan bingung. Ia menepuk bahu Alastar pelan. “Star, udah lampu hijau tuh,” katanya mengingatkan.
Alastar mengangguk, menoleh sebentar ke Alarick dan Frasha. “Rick, gue tunggu kabar baiknya besok,” ujarnya dengan senyum setengah mengejek sebelum melajukan motornya.
Kayana mendesah kecil. “Kok lo suka banget bikin situasi jadi canggung sih, Star?” tanyanya dengan nada setengah bercanda.
Alastar tertawa kecil. “Kadang, suasana kayak gitu seru juga. Lo nggak lihat ekspresi Frasha tadi?”
Kayana menggeleng pelan, meski dalam hati ia merasakan sesuatu yang tidak nyaman. “Mungkin gue nggak perlu lihat,” gumamnya pelan.
****
Alarick masih diam setelah Alastar melaju menjauh. Ia mempercepat laju motornya tanpa berkata sepatah kata pun. Frasha yang duduk di belakangnya juga tidak membuka suara.
“Kita nggak perlu bikin ini jadi lebih rumit, Sha,” ujar Alarick akhirnya, suaranya terdengar tenang, namun sedikit getir.
Frasha menarik napas panjang, memandangi jalanan yang terus berlari di depannya. “Lo pikir gue yang bikin ini rumit?” tanyanya dingin.
Alarick tidak menjawab. Ia hanya menggenggam stang motornya lebih erat. Frasha memalingkan wajah, menatap pantulan dirinya di kaca spion. Ia tahu ada sesuatu yang salah, tapi ia tidak tahu bagaimana memperbaikinya.
***
Setelah keluar dari kemacetan, Alastar melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Mereka mengambil jalur yang lebih sepi, menuju taman kota yang biasanya menjadi tempat mereka mengobrol santai.
Setelah memarkirkan motornya, Alastar duduk di bangku panjang di bawah pohon besar. Kayana mengikutinya, melepaskan jaket Alastar dan menyerahkannya kembali.
“Kenapa kita ke sini?” tanya Kayana sambil duduk di sebelahnya.
“Gue butuh tempat buat mikir,” jawab Alastar singkat, menatap jauh ke arah lampu-lampu kota yang berkelap-kelip.
Kayana mengerutkan kening. “Mikirin apa? Frasha?”
Alastar tersenyum kecil, namun tidak menjawab. Kayana menatapnya dengan serius, mencoba membaca pikirannya.
“Star, gue tahu lo sama Frasha itu... rumit. Tapi, lo nggak bisa terus-terusan kayak gini. Lo suka dia, tapi lo juga tetap dukung dia balikan sama Alarick, kalau belum ikhlas, jangan dipaksain, Star.” ujar Kayana dengan nada pelan namun tegas.
Alastar menghela napas panjang. “Gue nggak tahu, Kay. Gue nggak tahu gimana caranya.”
Kayana menatapnya dengan iba. “Yang ada di pikiran Lo sama Frasha, kenapa Lo selalu melihat dia? Sedangkan gue ada di sini, kenapa keberadaan gue di samping Lo nggak pernah terlihat."
***
Di tempat lain, Frasha duduk di kamar tidurnya, menatap ponsel di tangannya. Ia ingin menghubungi Ilva, sahabatnya, tetapi hubungan mereka terasa begitu renggang akhir-akhir ini. Setelah beberapa detik ragu, ia akhirnya mengetik pesan pendek.
“Ilva, gue kangen ngobrol sama lo. Bisa ketemu besok?”
Pesan itu terkirim, dan Frasha menunggu dengan perasaan campur aduk. Tak lama kemudian, ponselnya bergetar, menampilkan balasan dari Ilva.
“Gue nggak tahu, Sha. Kayaknya lo lebih sibuk sama urusan lo sendiri.”
Jawaban itu membuat dada Frasha sesak. Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong, mencoba mencerna maksud dari kata-kata Ilva.
Setelah beberapa saat, ia mengetik balasan.
“Gue cuma pengen kita kayak dulu lagi, Va. Gue nggak tahu kenapa kita jadi kayak gini.”
Namun, pesan itu tidak kunjung ia kirim. Ia hanya menatapnya, lalu akhirnya menekan tombol hapus.
****
Di tempat berbeda, Alarick menatap langit malam dari balkon rumahnya. Pikirannya masih melayang pada momen di lampu merah tadi. Ia tahu Frasha sedang mencoba menyampaikan sesuatu, tetapi ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan perasaan itu.
Sementara itu, Alastar duduk di tempat tidurnya, memandangi ponsel di tangannya. Ia ingin mengirim pesan pada Frasha, tetapi seperti biasanya, ia terlalu ragu untuk memulainya.
Di sisi lain, Frasha duduk di sudut kamarnya, memeluk lututnya dengan tatapan kosong. Malam yang sunyi itu terasa semakin dingin, menyelimuti hatinya yang kacau.