Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjaga jarak
Pagi yang cerah. Bayu kembali duduk di bangku taman yang sama, dengan buku filsafat di pangkuannya, kali ini sebuah karya besar dari Plato, The Republic. Meskipun halaman-halaman itu penuh dengan pemikiran besar, pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada buku. Sesuatu—atau lebih tepatnya, seseorang—terus mengganggu pikirannya.
Rara.
Setelah percakapan kemarin, perasaan yang tidak ingin ia akui semakin membesar. Meskipun ia berusaha tetap fokus pada studi filsafatnya, ada bagian dari dirinya yang merasa terikat pada Rara. Tapi logika mengatakan bahwa ia harus menjaga jarak. Ia tidak ingin terperangkap dalam dunia yang ia sendiri tidak mengerti—terlebih lagi dalam hubungan seperti itu.
“Bayu!” teriak suara yang dikenalnya.
Ia mendongak, dan untuk yang kesekian kalinya, Rara berjalan menuju ke arah tempat duduknya dengan senyum yang tidak pernah gagal membuat Bayu sedikit gelisah.
“Pagi,” sapa Rara sambil duduk di sebelahnya, meletakkan buku catatan di meja.
“Pagi,” jawab Bayu dengan suara pelan. Ia mencoba fokus pada buku di tangannya.
“Lagi baca apa? Buku filsafat lagi?” tanya Rara, memerhatikan halaman-halaman yang tersebar.
“Iya,” jawab Bayu singkat, mencoba terlihat sibuk.
Rara menyandarkan tubuhnya di kursi, memandang Bayu dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kamu semakin aneh aja, Bayu. Dulu kalau gue ajak ngobrol, kamu selalu jawabnya dengan gampang. Sekarang... kayak nggak ada yang menarik buat kamu selain buku.”
Bayu mengerutkan dahi, mencoba mencerna kata-kata itu. Ia mengangkat alis, merespons dengan canda ringan, “Jadi, kamu merasa tersinggung karena aku lebih tertarik sama Plato daripada sama kamu?”
Rara tertawa, namun tertawa itu terdengar sedikit kaku. “Ya, sedikit. Tapi aku paham. Kamu kan emang suka mikir panjang.”
Senyum Bayu meredup. “Gue nggak pernah merasa mikir panjang itu buruk.”
“Dan kamu nggak mau mikirin hal lain selain logika dan filsafat, kan?” Rara bertanya, suaranya agak serius.
Bayu terdiam. Ada sesuatu yang berbeda dalam nada bicaranya. “Kenapa sih, Ra? Kenapa lu ngurusin hidup gue?”
Rara tampak terkejut dengan jawabannya. Ia mengalihkan pandangannya ke meja, lalu menjawab pelan, “Karena... karena dulu kita teman baik. Gue cuma pengen deket lagi sama kamu.”
Bayu merasa sedikit gelisah. Ia tahu bahwa Rara bukan hanya ingin berteman. Rara sudah menunjukkan sinyal itu dengan jelas, meskipun ia sendiri merasa bingung bagaimana menghadapinya.
“Gue nggak ngerti apa yang lu maksud, Ra,” jawab Bayu hati-hati. “Temenan aja, kan, nggak masalah.”
Rara menarik napas panjang. “Iya, sih. Tapi gue merasa kita bisa lebih dari itu.”
Bayu merasakan ketegangan yang menggelayuti percakapan ini. Ia merasa cemas—bukan karena tidak suka Rara, tapi karena ia tahu ia tidak bisa menawarkan apa-apa. Rara bisa memiliki siapa saja, sedangkan dia? Dia hanyalah Bayu, si kurus tinggi dengan IQ standar, tidak punya kendaraan, tidak ada apa-apa selain tumpukan buku dan pemikiran yang rumit.
“Ra...” Bayu memulai, “Kenapa kamu nggak cari orang lain aja yang bisa lebih ngerti soal hubungan?”
Rara tidak langsung menjawab. Ia menunduk sejenak, kemudian mengangkat kepala dan menatap Bayu dengan tatapan serius. “Karena gue cuma ingin kamu, Bayu. Gue nggak butuh orang lain.”
Bayu tersentak. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di kepalanya. Sebuah perasaan aneh mengalir dalam dirinya, perasaan yang membuatnya ingin menjauh sekaligus tetap di tempat.
“Ra...” Bayu bergumam, merasa kacau. “Lu terlalu idealis.”
Rara tersenyum tipis. “Mungkin. Tapi kadang, kita butuh sedikit idealisme dalam hidup ini, kan?”
Bayu menghela napas, lalu berdiri. “Gue mau ke kelas dulu.”
Rara hanya mengangguk, dan Bayu segera pergi tanpa menoleh lagi.
Saat di kelas, Bayu merasa cemas. Dosen sedang membahas topik tentang The Allegory of the Cave oleh Plato, namun pikiran Bayu jauh melayang. Rara—dengan segala perasaan yang tidak bisa ia pahami—terus menghantuinya.
“Bayu, lu ngelamun mulu,” celetuk Dimas dari samping.
Bayu tersentak. “Hah?”
“Lu denger nggak tadi? Dosen ngomong apa?” tanya Dimas lagi.
Bayu menatap kosong ke depan, berusaha untuk mengingat pembicaraan tadi. “Ehm... tentang cave dan bayangan, kan?”
“Ya ampun,” Dimas menggelengkan kepala. “Udah deh, gue rasa lu butuh waktu buat mikir hal lain selain buku dan teori-teori filsafat.”
Bayu tidak menjawab. Ia masih terperangkap dalam pikirannya sendiri.
Sesudah kelas berakhir, Bayu merasa lelah dan ingin segera pulang. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Rara berdiri di depan pintu, menunggu dia seperti biasa.
Rara tersenyum. “Bayu, aku mau bicara sebentar.”
Bayu merasa berat hati, namun ia mengangguk. “Ayo.”
Mereka berjalan ke luar kampus, menuju sebuah kafe kecil yang biasa mereka kunjungi dulu.
Di dalam kafe, suasana terasa lebih tenang. Rara memesan dua cangkir kopi, sementara Bayu memilih untuk diam.
“Aku nggak ngerti, Bayu. Kenapa kamu selalu menjauh?” suara Rara mulai terdengar lebih serius, penuh dengan keputusasaan. “Aku cuma ingin dekat lagi sama kamu. Kita dulu sahabat, kenapa sekarang kayak ada tembok pemisah di antara kita?”
Bayu mengeluh pelan. “Ra, gue nggak tahu apa yang lu inginkan. Gue nggak bisa jadi orang lain. Gue nggak bisa... ngerti soal hubungan kayak gitu.”
“Kenapa?” tanya Rara, matanya hampir berkaca-kaca. “Kenapa kamu nggak mau coba?”
Bayu memejamkan matanya. Ia tidak bisa menjawab dengan kata-kata yang tepat. Semua yang ia rasakan begitu rumit dan tumpang tindih. Ia ingin menjelaskan, tapi ia tidak bisa.
“Gue nggak ngerti, Ra,” jawabnya akhirnya, dengan suara pelan. “Gue nggak tahu apa itu cinta. Gue hanya tahu ada logika dan alasan di balik setiap hal yang terjadi.”
Rara terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk berbicara dengan lebih tegas. “Bayu, mungkin kamu nggak mengerti sekarang, tapi suatu hari nanti kamu akan tahu. Aku nggak bisa menunggu selamanya.”
Bayu menatapnya, terkejut dengan ketegasan itu. “Ra, gue...”
Tapi Rara sudah berdiri dan melangkah pergi. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan meninggalkan Bayu yang masih terdiam di kursinya.
Bayu memandang punggung Rara yang semakin jauh, perasaan kacau dan bingung menyelimuti hatinya. Ia ingin mengejarnya, tapi ia juga tahu bahwa ia sedang berjuang melawan dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya ia rasakan? Apakah ia takut atau hanya tidak mengerti?
Ia menatap kopi di depannya, dan untuk pertama kalinya merasa bahwa segala hal dalam hidupnya—termasuk perasaannya—hanya sebuah teka-teki yang tidak pernah bisa ia pecahkan.