Hanzel Faihan Awal tak menyangka jika pesona janda cantik penjual kue keliling membuat dia jatuh hati, dia bahkan rela berpura-pura menjadi pria miskin agar bisa menikahi wanita itu.
"Menikahlah denganku, Mbak. Aku jamin akan berusaha untuk membahagiakan kamu," ujar Han.
"Memangnya kamu mampu membiayai aku dan juga anakku? Kamu hanya seorang pengantar kue loh!" ujar Sahira.
"Insya Allah mampu, kan' ada Allah yang ngasih rezeky."
Akankah Han diterima oleh Sahira?
Yuk pantengin kisahnya, jangan lupa kasih bintang lima sama koment yang membangun kalau suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BTMJ2 Bab 4
Hari ini Sahira kembali dibuat khawatir, karena putrinya belum juga pulang. Padahal sudah lebih setengah jam dari waktu Cia pulang sekolah, alhasil wanita itu langsung bersiap untuk pergi ke sekolah.
"Ada apalagi dengan Cia? Kenapa tak juga pulang? Kalau pergi dengan Han, rasanya itu tak mungkin. Masa iya dia ajak Cia main terus? Masa iya dia beliin Cia sesuatu lagi?"
Namun, saat wanita itu hendak mencegat angkot, dia melihat putrinya datang dengan wali kelasnya. Safira sampai heran, takut-takutnya putrinya sudah melakukan kesalahan. Makanya anak itu dihukum dan kini diantarkan oleh gurunya.
"Bu guru, ada apa ini? Apa Cia nakal? Apa dia membuat kesalahan? Kenapa Ibu datang dengan Cia?"
"Nggak, Bu. Cia gak nakal, tadi kebetulan saya sedang menanyakan penjual nasi uduk. Soalnya lusa anak saya ulang tahun, saya mau pesen nasi uduk. Kata Cia ibu suka jualan di rumah kalau pagi, makanya saya minta diantarkan ke sini."
"Maksudnya bagaimana ya, Bu?"
"Saya mau ngadain acara pengajian ibu-ibu gitu, soalnya anaknya baru satu tahun. Pulangnya dibawain nasi uduk sama kue gitu, ibu bisa bikinin buat acara ulang tahun anak saya?"
Sahira langsung tersenyum dengan begitu lebar, jika ada yang mau memesan nasi uduk buatannya di acara ulang tahun, itu artinya dia akan memiliki untung yang lumayan.
"Bisa, Bu. Masuk dulu deh, kita ngobrol di dalem." Sahira menunjuk pintu kamar kontrakannya yang sudah mulai kropos.
"Gak usah, kalau memang bisa, saya mau mesen 200 box nasi uduk pake ayam goreng serundeng sama kuenya juga 200 box. Dianterin lusa, jam tiga sore. Gimana? Bisa?"
Senyum di bibir Sahira semakin mengembang, ini adalah pesanan pertamanya dalam jumlah yang banyak. Dia begitu senang dan juga terharu, wanita itu sampai menitikkan air mata.
"Bisa, Bu. Tapi saya terkendala di modal," ujar Sahira.
Bu guru itu nampak memandang Sahira dengan iba, dia kini paham kenapa Cia selalu telat bayaran. Bahkan, temannya ada yang selalu mengancam akan mengeluarkan Cia dari sekolah kalau anak itu telat bayaran lagi.
Padahal, bu guru itu yakin kalau Sahira pasti sudah banting tulang dalam mencari biaya kehidupan mereka berdua.
"Gampang, uangnya saya kasih di muka. Berapa perporsinya?"
Keduanya membicarakan biaya perporsi nasi uduk dan juga kue buatan Sahira, setelah terjadi kesepakatan antara keduanya, bu guru langsung memberikan uangnya secara utuh kepada Sahira.
"Dihitung dulu," ujar Bu guru.
Sahira menghitung uang bu guru, tak lama kemudian dia mengembalikan 3 lembar uang kepada bu guru itu. Namun, wanita itu menolaknya
"Lebih tiga ratus ribu, Bu."
"Ambil aja, Bu. Sengaja saya lebihin, berbagi di hari bahagia adalah hal yang wajar bukan. Jangan tersinggung," ujar Bu guru yang membuat Sahira terharu karena akhir-akhir ini dia didatangkan orang-orang yang baik.
"Ibu ikhlas?"
"Sangat iklhas, anggap aja itu ongkos ongkirnya. Oiya, rumah saya gak jauh dari sekolahan Cia, nanti Cia yang nunjukin jalannya ke ibu."
"Siap, Bu. Makasih pemesanannya," ujar Sahira sambil mengecup punggung tangan bu guru yang mengajar Cia itu.
"Jangan seperti itu, Bu. Saya pamit ya, terima kasih sudah mau menerima pesanan saya."
"Iya, Bu. Saya justru yang berterima kasih," ujar Sahira senang.
Setelah terjadi obrolan di antara keduanya, bu guru nampak pergi. Sahira yang begitu senang langsung menggendong Cia, dia bahkan langsung mengecupi setiap inci wajah Cia disertai dengan tangisan.
"Kenapa ibu nangis? Marah ya, karena Cia sudah bawa bu guru ke sini?"
Cia tentu saja sangat tahu jika selama ini mereka hidup dalam kesusahan, Cia sungguh sangat takut jika ibunya itu marah karena pasti akan cape jika membuat pesanan dalam jumlah banyak seperti itu.
"Nggak, Sayang. Justru ibu senang, ibu sangat bersyukur. Kalau pesanannya banyak seperti ini, kita nanti bisa bayar utang sama om Han."
Cia langsung tersenyum mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya, padahal dia sudah khawatir kalau ibunya itu sedih karena sudah dibawakan orang yang mau memesan banyak kue dan nasi uduk.
"Oh gitu, Cia ikut senang. Oiya, Bu. Padahal bu guru itu anaknya kepala yayasan loh, rumahnya gede. Suaminya juga orang kaya, tapi dia baik. Katanya nanti kalau ngadain acara ulang tahun anaknya, saudara suaminya yang kaya-kaya bakalan pada dateng."
Anak itu benar-benar tumbuh dengan cepat, dia terlihat lebih dewasa. Tak seperti anak usia 7 tahun pada umumnya, Cia lebih cepat mengerti dengan apa yang dia dengar.
"Memangnya kalau saudaranya pada dateng kenapa?"
"Kalau Cia iri boleh gak?"
"Iri kenapa?"
Sahira mengerutkan dahinya dengan dalam, dia semakin tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh putrinya itu.
"Cia belum pernah dirayain ulang tahunnya, sedangkan anak bu guru, baru ulang tahun yang pertama saja sudah dirayakan ulang tahunnya. Udah gitu saudaranya kaya-kaya, pasti nanti kadonya dapat banyak."
Jangankan untuk merayakan ulang tahun Cia, untuk mencari biaya kehidupan sehari-hari saja Sahira kadang-kadang merasa begitu kesulitan.
Karena terkadang dagangannya ada yang mengutang, jika dia tak memberikan utangan, Sahira merasa kasihan juga terhadap tetangganya. Karena dia juga tentunya sangat merasakan hidup dalam kekurangan.
"Maafkan Ibu, Nak. Maaf, karena ibu belum bisa membahagiakan kamu. Hanya kesengsaraan yang bisa Ibu berikan kepada kamu, Ibu janji. Nanti kalau sudah punya uang, Ibu bakalan rayain ulang tahunnya Cia. Oke?"
Sahira semakin memeluk Cia dengan begitu erat, sakit sekali rasanya hatinya karena memang sampai saat ini dia belum bisa membahagiakan putrinya.
Bahkan, memberikan kasih sayang dari sosok ayah kandungnya saja dia tidak pernah bisa. Sahira sedih karena anaknya malah hidup dalam serba kekurangan, walaupun tidak pernah mengeluh, tapi tetap saja dia merasa sedih sekali.
"Jangan nangis, Bu. Maaf karena Cia buat Ibu nangis," ujar Cia.
"Tak apa, Sayang. Ini air mata kebahagiaan, karena ibu dapat orderan banyak. Bagaimana kalau nanti sore kita makan es krim di kedai es yang besar dekat alun-alun?"
"Jangan, Bu. Uangnya ditabung aja, kalau gak, buat bayaran Cia bulan depan aja."
Ah! Sahira tak bisa berkata-kata lagi, karena putrinya kini benar-benar dewasa sebelum waktunya. Anaknya itu sudah mengerti kesusahan orang tuanya, sedih sekali rasanya mendapatkan kenyataannya yang seperti itu.
"Ya, Sayang. Uangnya bakalan ibu tabung untuk biaya sekolah Cia," ujar Sahira.