Demi menyekolahkan dang adik ke jenjang yang lebih tinggi, Cahaya rela merantau ke kota menjadi pembantu sekaligus pengasuh untuk seorang anak kecil yang memiliki luka batin. Untuk menaklukkan anak kecil yang keras kepala sekaligus nakal, Cahaya harus ekstra sabar dan memutar otak untuk mendapatkan hatinya.
Namun, siapa sangka. Sang majikan menaruh hati padanya, akan tetapi tidak mudah bagi mereka berdua bila ingin bersatu, ada tembok penghalang yang tinggi dan juga jalanan terjal serta berliku yang harus mereka lewati.
akankah majikannya berhasil mewujudkan cintanya dan membangunnya? ataukah pupus karena begitu besar rintangannya? simak yuk, guys ceritanya... !
Happy reading 🥰🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di usir
Sebelum semua orang bangun, Cahaya dan Lela bangun terlebih dahulu karena masih banyak yang harus Cahaya pelajari saat ini. Rumah luas milik Sagara hanya ada 3 pembantu untuk saat ini, Sagara tidak suka bila terlalu ramai di dalam rumahnya, pasalnya Bima yang selalu meramaikan rumahnya tanpa perlu menambah anggota baru, entah itu pembantu ataupun penjaga lainnya.
*
*
Tepat pukul setengah tujuh. Bima sudah turun dari lantai atas, bersamaan dengan itu pula Sagara turun menyusul putranya yang sudah berjalan kearah meja makan.
Lela menyediakan sepotong roti untuk Bima, ia juga menambahkan selai strawberry kesukaan Bima. Sementara Sagara lebih memilih minum kopi hitam, dia tidak terlalu suka sarapan pagi karena baginya kopi hitam saja sudah cukup. Tidak ada percakapan di meja makan, Bima tampak melamun sambil mengunyah makanannya pelan.
Cahaya memperhatikan dengan seksama interaksi keduanya, ia menebak kalau hubungan keduanya tidak seperti ayah dan anak pada umumnya.
'Bener-bener kudu putar otak sampe oleng ini mah,' Batin Cahaya.
"Panggilkan pembantu baru." Titah Sagara pada Lela.
Lela pun menganggukkan kepalanya, dia berlari kecil menuju dapur menghampiri Cahaya yang sedang memperhatikan kearah meja makan.
"Ya, kamu di panggil sama tuan, Gara." Ucap Lela.
Cahaya sedikit gugup, dia pun mengangguk kearah Lela dan berjalan menghampiri Sagara yang tengah mengetuk-ngetuk jemarinya diatas meja.
"Tuan, panggil saya?" Ucap Cahaya dengan pelan, ia berdiri di samping Sagara dan posisinya agak berjarak.
"Jam 8 nanti kamu saya tugaskan mengantar Bima ke acara ulang tahun temannya diantar sopir, besok antar Bima sekolah dan itu akan menjadi tugas kamu, saya masih banyak pekerjaan di kantor. Nanti Lela akan memeberitahu jadwal lebih rincinya, jangan melakukan kesalahan, mengerti!" Jelas Sagara memberikan perintah atau tugas yang harus di lakukan oleh Cahaya, bila Cahaya bisa menaklukkan anaknya itu berarti Cahaya hanya akan di fokuskan mengurus Bima. Tetapi kalau sebaliknya, maka Cahaya hanya akan menggantikan posisi Lela sebagai pembantu di rumahnya.
"Baik, Tuan. Saya mengerti." Ucap Cahaya.
"Hmm." Sagara berdehem, kemudian dia menyeruput kopinya sampai habis.
Sagara berdiri dari duduknya, dia merapikan pakaiannya dan melihat jam tangan yang melingkar di tangan sebelah kirinya. Terlihat bahwa pria itu disiplin waktu, sekilas ia mengusap kepala anaknya sebelum pergi dan tak mengucapkan sepatah kata pun.
Cahaya menatap kepergian Sagara, namun tatapannya beralih kepada Bima yang meremas rotinya sampai selainya mengotori tangannya.
"Papa, jahat..!"
Dugghhh...
Wingggg....
Bima memukul meja makannya dengan tatapan marah, ia melempar potongan rotinya kearah Cahaya sampai baju Cahaya sendiri kotor. Cahaya menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya. Bima bangkit dari duduknya, dia berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya masih dengan rasa marahnya.
"Den Bima..!" Panggil Cahaya saat melihat Bima lari begitu saja.
Saat Cahaya hendak menyusulnya, Lela menghentikan langkahnya dan memberikan isyarat agar Cahaya tidak langsung menemui Bima.
"Biarkan den Bima melampiaskan amarahnya, di posisinya pasti sangat sakit." Ucap Lela seraya membuang nafasnya panjang.
"Aku masih belum paham, Ceu?" Tanya Cahaya kebingungan.
"Ibu den Bima meninggal karena sunami saat mengunjungi makam kedua orangtuanya, Tuan Gara sangat kehilangan dan hampir putus asa begitu mendapat kabar Sunami yang memakan banyak korban jiwa. Saat itu den Bima masih berusia 2 tahun, dia di urus oleh ibu Tuan Gara karena Tuan Gara tidak memungkinkan mengurusnya, jangankan mengurus den Bima, mengurus dirinya saja tidak bisa." Ucap Lela menceritakan sebagian kisah majikannya yang dia ketahui.
Tak hanya sampai disitu, Lela juga menceritakan bagaimana nakalnya Bima yang ingin di perhatikan oleh ayahnya. Hubungan Sagara dan Bima tidak begitu dekat, melihat wajah Bima yang sangat mirip dengan ibunya membuat Sagara kembali teringat pada istrinya, kenakalan Bima pula yang membuat Sagara seringkali memarahi anaknya dan tak segan membentaknya tanpa ada kata maaf yang terucap. Katakanlah Sagara adalah pemegang peran ayah yang buruk, meskipun materi terpenuhi namun bukanlah hal itu yang Bima inginkan. Kasih sayang dari orangtua yang Bima butuhkan, Sagara melarangnya tinggal bersama kakek dan neneknya di karenakan Sagara tidak mau anaknya banyak di pengaruhi oleh ibunya sendiri yang mendesaknya menikah dengan adik mendiang istrinya alias turun ranjang.
"Jadi, almarhumah masih punya keluarga yang masih hidup?" Tanya Cahaya kepo.
"Iya, adiknya masih kuliah di luar negeri." Jawab Lela.
Praannggg....
Mendengar suara nyaring membuat Lela dan Cahaya saling berpandangan, berbeda halnya dengan Cahaya yang terkejut, Lela hanya membuang nafasnya kasar karena sudah terbiasa dengan semua hal yang terjadi di rumah majikannya.
Cahaya buru-buru naik ke lantai atas dengan Lela yang mengekor di belakangnya, begitu sampai di depan pintu kamar terdengar Bima melemparkan barang-barang yang ada di kamarnya.
"Biarkan den Bima tenang dulu, kalau udah gak ada suara barang di lempar baru kita bisa masuk." Ucap Lela.
Menunggu selama beberapa menit, barulah Cahaya memberanikan diri membuka pintu kamar yang tak terkunci. Sedikit demi sedikit pintu di dorong, Cahaya menyusuri setiap sudut kamar yang berantakan, dia mencari sosok Bima yang ternyata sedang berjongkok di balkon memegangi hewan peliharaannya.
"Momot, kapan ya Papa baik sama Bima? Bima pengen di sayang Papa, kenapa Papa lebih mementingkan pekerjaan di bandingkan nganter Bibim?" Bima mengajak hewan peliharaannya berbicara, lebih tepatnya curhat. Seekor hamster kecil berwarna cokelat.
Lela membereskan semua barang yang di buat berserakan oleh Bima, sedangkan Cahaya menguping pembicaraan Bima dengan peliharaannya.
"Den Bima?" Panggil Cahaya dengan lembut.
Bima menoleh ke belakang, dia hanya menatap Cahaya sekilas dan ia kembali fokus pada peliharaannya lagi.
"Den, kita siap-siap yuk..! Katanya temen den Bima ada yang ulang tahun, nanti kita telat loh." Bujuk Cahaya.
"Berisik, dasar pembantu..!" Ketus Bima.
Cahaya mengelus dadanya mengucap sabar dan istigfar, menghadapai Bima yang terluka batinnya perlu usaha pendekatan secara intens.
Saat Cahaya hendak berjongkok di dekat Bima, anak itu bangkit dari duduknya dan mengambil peliharaannya masuk ke dalam kamarnya.
"Mba Lela, dimana baju ku?!" Tanya Bima dengan ketus.
"Den, kalau ngomong sama yang lebih tua itu yang sopan, jangan ketus begitu, gak baik loh." Tegur Lela.
"Aaahhhh..! Kenapa semua pembantu pada cerewet sih! Udah jelek, bau, banyak ngomong lagi..!"Amarah Bima seakan meledak, bahkan kata-kata yang keluar dari dalam mulutnya tidak sepantasnya ia katakan kepada yang lebih tua darinya.
"Astagfirullah, den..! Mba ambilkan bajunya, den Bima tunggu disini." Lela sudah sangat menyerah, dalam hatinya ia berharap Cahaya bida benar-benar merubah sikap Bima.
Bima menghentakkan kakinya, ia melipat kedua tangannya dengan bibir yang cemberut. Ada banyak hal yang memang ia pikirkan dan banyak pula pertanyaan dalam hidupnya, tetapi dia tak bisa memastikan semua yang masih menjadi teka-teki hidupnya. Cahaya masih memperhatikan sikap Bima, dia menunggu Lela mengambilkan pakaian Bima di lemarinya.
Lela datang mengambilkan baju kemeja berwarna merah maroon sesuai tema, Bima mengambilnya secara kasar dan masuk ke kamar mandi guna mengganti pakaiannya.
*
*
Pukul delapan kurang lima belas menit, Bima dan Cahaya memasuki mobil diantar supir menuju pesta ulang tahun salah satu teman Bima. Di sepanjang perjalanan, Bima hanya diam dan memejamkan matanya.
Sejatinya, Bima adalah anak yang cerdas, tetapi dia tidak menunjukkannnya secara terang-terangan, apalagi di hadapan sang ayah.
Tak lama kemudian, sampailah Cahaya dan Bima di acara pesta ulang tahun teman sekelas Bima yang diadakan di rumah yang megah. Begitu masuk ke dalam rumah tersebut, mereka di suguhkan pemandangan hiasan bertema princess yakni Elsa Frozen.
"Sssttt, liat deh. Si Bima ini anak yatim piatu apa gimana sih? Gak pernah tuh sekolah atau ada acara-acara dianterin orangtuanya, setiap kali ganti orang yang nganter, mana pada dekil lagi." Ucapa salah seorang ibu-ibu mulai membicarakan Bima.
Tentu saja Bima mendengar ucapan Ibu tersebut, sudah menjadi makanan sehari-harinya setiap gosip, ejekan bahkan banyak hal yang membuat hatinya sakit sampai akhirnya terbiasa.
"Gak heran kalo orangtuanya gak ada, liat aja kelakuannya yang nakal itu." Sahut ibu lainnya.
"Gak terdidik! Kalau Bima anak saya ya, Jeng. Udah tak kruwes mulut'e, di bawa ke pesantren kalau bisa."
Bima berjalan lurus di ikuti oleh Cahaya melewati sekumpulan ibu-ibu tersebut. Jujur saja, hati Bima sakit dan tidak baik-baik saja. Mengingat ini adalah hari ulang tahun teman baiknya, maka Bima memaksakan tetap hadir.
"Selamat ulang tahun Princess Elena," Ucap Bima pada gadis kecil yang tengah mengenakan kostum Elsa Frozen.
"Ahhh, terimakasih Bima." Balas Elena tersenyum.
Bima menyerahkan kado berukuran sedang, Elena menerimanya dengan senyum yang manis. Sekilas Bima menatap penampilan Cahaya yang mendampinginya, pakauan khas gadis desa dan sangat jauh berbeda dengan ibu-ibu maupun baby sitter yang mengantar anak yang lainnya.
Bima merasa haus, ia berjalan menuju tempat dimana air minum di letakkan. Tanpa di sengaja, bahunya menabrak salah satu temannya sampai temannya itu terjatuh karena ukuran tubuh Bima yang bongsor.
Brukkk...
"Haahhhh...! Aiden, anakku...!" Pekik seorang Ibu berlari kearah anak yang di tubruk Bima.
Sang ibu itu langsung membantu anaknya berdiri, ia membersihkan pakaian putranya dengan menepuk bagian kotornya. Detik selanjutnya, ibu Aiden menatap tajam Bima yang memasang wajah datarnya.
"Mami, sakit... Huhu.." Rengek Aiden.
"Heh, anak bandel..!" Ketus Ibu Aiden.
Bima menaikkan sebelah alisnya, Cahaya segera menyusul Bima dan berdiri dua langkah di belakang Bima.
"Apa yang kau lakukan, hah! Kenapa anakku sampai terjatuh, kalau sampai dia terluka dan terbentur ke meja bagaimana? Apa kau mau tanggung jawab!" Bentak Ibu Aiden mengomeli Bima.
"Aku tak sengaja menabraknya, kenapa juga badannya kecil? Ke senggol sedikit saja jatuh, lemah!" Jawaban Bima membuat darah ibu Aiden mendidih, ia menganggap Bima tidak punya sopan santun.
Ibu Aiden melayangkan tangannya ke udara, begitu tangan itu hendak mendarat di pipi Bima, seseorang mencekal lengan tersebut. Bima hanya mampu memejamkan matanya, tetapi dirasanya tidak ada apapun yang terjadi.
"Singkirkan tanganmu, Nyonya." Ucap Cahaya menatap tajam kearah Ibu Aiden.
Ibu Aiden melepaskan tangannya dari cekalan Cahaya, ia segera mengelapnya dengan tisu dan juga menyemprotkan cairan anti kuman ke tangannya. Cahaya mengepalkan tangannya, dia merasa terhina dengan perlakuan ibu Aiden.
"Berani sekali kau menyentuhku!" Protes Ibu Aiden.
"Berani saja, karena anda telah berani melayangkan tangan kearah anak kecil. Tidak bisakah anda bicara baik-baik nyonya? Den Bima sudah mengatakan kalau dia tidak sengaja, apa dengan melayangkan tangan akan menyelesaikan masalah, lagi pula anak anda tidak terluka parah sampai harus di bawa ke rumah sakit, bukan?" Jawab Cahaya dengan berani.
"Anak kurang ajar seperti Bima tidak perlu di kasihani, dia harus di beri pelajaran karena memang anaknya nakal..! Urus anak asuhmu itu dengan baik, jangan makan gaji buta saja. Cih, babu seperti mu saja belagu sekali, pantas saja anak asuhnya kurang ajar, ternyata didikan pengasuhnya." Cibir Ibu Aiden.
"Hei, Bima sakti..! Lebih baik kau pergi saja dari acara pesta ini, bisanya bikin rusuh aja. Kasihan yang punya pesta." Seru ibu yang lain.
Bukan hanya satu atau dua orang saja yang menyetujui ucapan seorang ibu-ibu yang mengusir Bima, bahkan ibu yang lain turut menyetujuinya. Ibu Aiden melipat kedua tangannya, ia tersenyum miring merasa menang sendiri.
Bima memejamkan matanya seraya mengepalkan tangannya, dia berbalik badan dan lari keluar dari rumah Elena. Cahaya menatap satu persatu semua ibu yang hadir, ia pun mengejar Bima yang berlari sambil di soraki temannya yang lain.
Bima lari keluar gerbang, Cahaya memanggil supir yang mengantarnya tadi untuk ikut mengejar Bima.
Suara petir sudah saling bersahutan, awan semakin mendung membuat suasana menjadi gelap. Setetes demi setetes air hujan turun mendarat ke bumi, sekuat tenaga Cahaya mengejar Bima yang terus berlari kearah taman di susul supir yang memang sudah tua.
"Den Bima, berhenti..!" Cahaya terus memanggil Bima.
Bima menangis di bawah guyuran hujan, ia merasa hidupnya hampa tanpa peran orangtua. Apa yang di katakan ibu teman-temannya benar, dia adalah anak yatim piatu yang meskipun memang masih memiliki ayah, tidak dengan perannya.
"Huhuuu... Semua orang jahat..! Gak ada yang sayang Bima." Ucap Bima di sela tangisnya.
kalau gara tau dia ditipu selama ini gimana rasanya ya. gara masih tulus mengingat relia , menyimpan namanya penuh kasih dihatinya, ngga tau aja dia 😄, dia sudah di tipu
relia sekeluarga relia bahagia dengan suami barunya.