Permainan anak kecil yang berujung menjadi malapetaka bagi semua murid kelas 12 Ips 4 SMA Negeri Bhina Bhakti.
Seiring laporan dari beberapa orang tua murid mengenai anaknya yang sudah berhari-hari tidak pulang ke rumah. Polisi dan tim forensik langsung bergegas untuk mencari tahu, tidak ada jejak sama sekali mengenai menghilangnya para murid kelas 12 yang berjumlah 32 siswa itu.
Hingga dua minggu setelah laporan menghilangnya mereka tersebar, tim investigasi mendapat clue mengenai menghilangnya para siswa itu.
"Sstt... jangan katakan tidak jika kamu ingin hidup, dan ikuti saja perintah Simon."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cakefavo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Cairan Pemutih
Di luar sana Livy melangkahi anak tangga dengan tatapan kosong, begitu sudah berada di lantai dua, dia menaiki pagar pembatas lalu loncat dari sana.
Sedangkan, Sabil yang saat itu tidak berhasil memasuki kelasnya secara tepat waktu segera memasuki toilet siswa, ia melepaskan dasinya dan mengikatnya di atap, dia pun segera melilit lehernya menggunakan dasi tersebut lalu membiarkan dirinya tergantung hingga kehabisan nafas.
Eric yang seolah-olah tubuhnya di kendalikan dan terhipnotis lantas menggigit urat nadi di pergelangan tangannya, giginya menarik kulitnya sendiri dengan cukup kuat hingga darah keluar, dia pun meninggal dengan kondisi seperti itu.
Wajah mereka di penuhi ketegangan, ruangan kelas kembali di penuhi keheningan yang mendalam. Tidak seorang pun tahu harus berkata atau berbuat apa, hati mereka di penuhi oleh kengerian dan juga keputusasaan.
"Eric, Joshua sama yang lainnya di eksekusi, kalian liat sendirikan gimana mereka bunuh diri kayak gitu, tujuan dari permainan ini sebenernya buat apa." gumam Mason sambil mendengus kesal.
"Sebelum itu, urusan gue sama si bajingan itu belum selesai!" geram San sambil menunjuk Vino yang sedang terduduk.
"Udah gak usah ribut," sahut Kanin.
Yaksa yang mendengarnya lantas mengubah posisinya menjadi duduk, tangannya terulur untuk mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Kita harus cari tahu siapa yang ada di ruang siaran, bukan itu... maksud gue siapa yang bertanggung jawab atas permainan ini." ucap Axel yang langsung di angguki oleh yang lainnya.
"Simon says... kita harus cari tahu siapa Simonnya bukan?" tanya Yahezkael.
Natasha yang sedang duduk di samping Jejen pun memijat pangkal hidungnya, ia menghela nafas lelah.
"Samuel nuangin air panas ke dirinya sendiri terus nusuk perutnya sendiri beberapa kali setelah dia gak nurutin perintah Simon." kata Denzzel membuka suara, kini tatapan mereka yang ada di kelas tertuju kepadanya.
"Tapi gue gak denger suara di mikrofon kalau Simon ngasih perintah ke Samuel." kata San sambil melipat tangannya.
"Dia dapet perintah lewat pesan," sahut Chaiden sambil menghela nafas.
"Gue tau ini mustahil banget, tapi tadi kalian ngeliat sendiri kan gimana Joshua meninggal kayak gitu," lanjut Denzzel.
"Berhenti ngomong kalau dia udah meninggal, dia belum meninggal!" bentak Shaerin sambil memukul meja.
San yang mendengarkan Shaerin langsung memejamkan matanya sejenak, dia sudah cukup kesal karena Shaerin terus merengek dari tadi. "Heh, lu sendiri ngeliat gimana Joshua ngebenturin kepalanya beberapa kali sampe dia gak bergerak, gak usah kayak bocah!"
Shaerin kembali terisak, Naira segera memelototi laki-laki itu untuk berhenti berbicara dan langsung memeluk Shaerin untuk menenangkannya.
"Gue bakal cek siapa yang ada di ruang siaran," kata Axel lalu bangkit dari tempat duduknya, Kanin pun mengangguk dan segera bangkit untuk mengikuti rekannya.
"Gue ikut," kata Mason.
Mereka bertiga pun segera pergi keluar kelas. Ruangan kembali hening dan hanya terdengar oleh suara isakan Shaerin.
Michael yang dari tadi diam kini bangkit, membuat perhatian teman-temannya tertuju kepadanya. "Kita seenggaknya harus liat kondisi mereka yang di eksekusi, jangan biarin tubuh mereka tergeletak disana, kita harus pindahin mereka ke ruangan yang jauh dari sinar matahari."
Hannah menatap Michael dengan kesal, ia mendesah frustasi. "Psikopat mana yang masih bisa mikir kayak gitu? seharusnya lu mikir supaya bisa keluar dari sini."
"Lu gak ada hati nurani ya? mereka juga manusia!" sahut Jejen.
"Terserah lu, gue gak ikut." gumam Hannah yang langsung memejamkan matanya, menutup telinga dari cibiran teman sekelasnya.
Michael menghela nafas, ia pun keluar kelas dan di susul oleh yang lainnya. Disisi lain, Axel, Kanin dan juga Mason sudah sampai di ruang siaran yang berada di lantai tiga, saat Axel hendak membuka pintu ruang siaran, sialnya pintu terkunci.
"Monyet!" umpat Mason sambil menendang pintunya.
Kanin mengintip melalui jendela kecil yang berada di tengah-tengah pintu, yang dia lihat hanyalah kegelapan, tidak ada tanda-tanda orang di ruangan itu. "Gak ada yang aneh," gumamnya sambil menatap Mason dan juga Axel yang berdiri frustasi.
Michael saat itu segera mendekati tubuh Livy yang bersimbah darah, ia berlutut di sampingnya lalu menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah Livy.
"Kayaknya dia lompat dari lantai dua," katanya sambil mendongak keatas, Denzzel hanya terdiam dan mengamati bagaimana cara sahabatnya itu memeriksa luka-luka yang berada di sekujur tubuh Livy dan juga yang lainnya.
Hanni berbalik dan berlari menuju wastafel untuk mengeluarkan isi perutnya, ia merasa mual saat melihat darah.
"Gue gak kuat banget ngeliat Joshua, mukanya rusak gitu." kata Reygan dengan wajah yang pucat, ia pun memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Kita harus bawa mereka ke ruangan, semisalnya kalau permainan ini selesai, ini bisa di jadiin barang bukti ke polisi." kata Michael kembali menutup wajah Livy menggunakan gorden.
"Lu yakin polisi gak akan ngira kalau kita yang ngebunuh mereka?" tanya Yahezkael.
Michael terdiam, memikirkan pertanyaan Yahezkael. Denzzel yang melihat keraguan di wajah sahabatnya itu lantas membuka suara. "Di sekolah kita ada CCTV, kita bisa gunain itu juga buat barang bukti."
"Ah bener CCTV, biasanya ada di mana?" tanya Yaksa sambil menjentikan jarinya.
"Kalau mau ngeliat rekaman CCTV biasanya di pos satpam," jawab Dayana.
Yaksa segera menarik tangan Yahezkael untuk menemaninya pergi ke pos satpam, karena penasaran Dayana dan juga Hanni mengikuti mereka berdua.
Michael memperhatikan Alin yang baru saja keluar kelas sambil mengangkat ponselnya tinggi-tinggi, ia pun bangkit dan segera menghampiri gadis itu.
"Ada apa?" tanya Michael.
"Disini gak ada sinyal, biasanya kuat banget." jawab Alin sambil mengguncangkan ponselnya.
Denzzel menatap Alin dan kemudian mengambil ponsel di saku celananya, ia pun mencoba memasuki aplikasi yang membutuhkan data tetapi apa yang di katakan oleh Alin benar, tidak ada sinyal.
"Mustahil kita buat nelepon polisi." ucapnya sambil menatap Michael.
Disisi lain, Yahezkael, Yaksa, Hanni dan juga Dayana memasuki pos satpam yang berada di dekat koperasi, Yaksa pun duduk di kursi dan mulai menyalakan komputer yang ada disana, sedangkan yang lainnya menunggu dengan tegang.
Beberapa menit mengotak-atik komputer, Yaksa mulai mencari beberapa fail rekaman CCTV yang mengarah di setiap sudut sekolah, tetapi anehnya kosong.
"Kok gak ada?" tanya Yaksa.
"Coba lu cari yang bener," titah Yahezkael.
Yaksa mencoba memeriksanya kembali, tetapi hasilnya tetap sama, fail kosong. Dayana yang berada di sampingnya pun menggigit bibirnya sendiri.
"Gak bisa."
"Sama sekali gak bisa?" tanya Hanni yang langsung di angguki oleh Yaksa.
"Gak bisa gini terus, gue mau pulang..." gumam Dayana ketakutan, ia pun keluar dari pos satpam dan berlari menuju pintu gerbang sekolah yang tertutup.
Hanni, Yahezkael dan juga Yaksa segera berlari keluar untuk mencegah Dayana, tetapi gadis itu tidak mendengarkannya.
"Dayana, berhenti!" teriak Hanni.
Saat tangan Dayana terulur untuk membuka pintu gerbang sekolah, tubuhnya tiba-tiba saja mematung, matanya berubah memutih dengan begitu cepat. Yaksa, Hanni dan juga Yahezkael berdiam diri sambil mendengarkan suara mikrofon yang kembali berbunyi.
"Dayana akan di eksekusi karena keluar dari permainan."
Denzzel dan Michael saling memandang saat mendengar suara perempuan itu, mereka berdua pun segera berlari untuk menyusul ke pos satpam. Sedangkan Axel, Kanin dan juga Mason yang masih berada di depan ruang siaran terkejut, Kanin kembali mengintip ke jendela pintu tetapi yang dia lihat hanyalah kegelapan.
Disisi lain, Hannah dan beberapa temannya yang berada di kelas pun mematung. Rean mengumpat dan segera pergi keluar kelas, di susul oleh San.
Yaksa, Hanni dan juga Yahezkael melihat Dayana yang perlahan mendekati pohon di sana, mereka melihat jika Dayana mengambil sebotol cairan pemutih yang ada di samping pohon.
"Cepet suruh dia berhenti!" teriak Yahezkael sambil mendorong Yaksa, laki-laki itu pun segera berlari mendekatinya. Mereka bertiga bisa melihat dengan jelas bagaimana Dayana meminum cairan pemutih itu seperti kehausan, Yaksa yang tidak bisa berbuat apa-apa segera memalingkan wajahnya saat rasa mual mulai menguasainya.
Dayana menghabiskan sebotol cairan pemutih itu, ia pun segera ambruk di atas tanah dengan mulut yang berbusa. Bertepatan dengan itu, teman-temannya yang lain datang dan melihatnya sudah tidak bernyawa lagi.
"Sialan!" umpat Jejen.