"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelukan Terakhir
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Liana merasakan sesuatu yang lain. Hati dan pikirannya seakan kosong, atau entah sedang memikirkan apa yang dia sendiri tidak mengerti. Berulang kali Liana menarik nafas dan menghembuskannya berlahan.
"Kamu kenapa, Na?" tanya Damar sambil melirik Liana yang duduk di sampingnya.
"Ah, enggak. Nggak ada." Liana tersenyum simpul pada Damar.
Sedangkan dua manusia di bangku belakang tampak sangat tenang, dan sibuk dengan ponselnya masing-masing.
Beberapa menit kemudian mereka tiba di rumah sakit. Alangkah terkejutnya bu Ratih melihat suami keduanya itu dirawat di kamar VVIP. Dia berpikir suaminya pasti menyimpan banyak uang yang tidak dia ketahui.
"Mas Gani..." bu Ratih menghampiri pak Gani, lalu mencium punggung tangannya.
"Sudah pulang?" tanya pak Gani dengan nada datar.
"Ah iya. Maaf ya, mas. Acaranya begitu mendadak jadi aku tidak sempat pamit. Dan lagi ternyata di sana banyak sekali kegiatan keluargaku. Mas dapat salam dari seluruh keluargaku." bu Ratih sangat bersemangat dalam bercerita, entah itu jujur atau hanya karangan belaka.
"Kalian keluarlah, ayah ingin bicara dengan ibu." ujar pak Gani.
Liana dan Rosa pun keluar dari ruangan itu dan bergabung dengan Damar di luar.
"Buat apa kamu hutang uang sebanyak itu?" tanya pak Gani tanpa melihat wajah sang istri.
Dengan wajah tanpa dosa, bu Ratih duduk di sisi kasur pak Gani.
"Hutang apa, mas? Aku tidak pernah berhutang sama sekali." bantah bu Ratih.
"Jangan membodohiku, Ratih...!" kali ini pak Gani menatap mata bu Ratih dengan geram.
"Haaaah...!!" bu Ratih membuang nafasnya. "Oke, iya aku hutang. Ada masalah?!" begitu ujar bu Ratih.
"Aku pikir kamu sudah berubah. Tapi rupanya kamu selalu diperbudak oleh uang, Ratih." balas pak Gani.
"Salahkan dirimu, mas!" sahut bu Ratih. "Penghasilanmu itu harusnya kau berikan semua padaku. Sehingga aku bisa mengatur segalanya tanpa kekurangan. Nyatanya apa?! Kamu selalu membaginya dengan putrimu yang suka sekali foya-foya tidak jelas."
"Jangan bawa-bawa putriku!" hardik pak Gani dengan suaranya yang serak khas orang sakit, tapi penuh tekanan.
"Kenyataannya memang begitu. Kamu juga tidak adil pada Rosa. Hanya Liana yang selalu kamu nomor satukan." ujar bu Ratih.
"Aku selalu berusaha adil pada mereka, Ratih. Tapi kamu yang selalu merasa iri dengan Liana, putri kandungku." tandas pak Gani.
"Luapkan terus emosimu, mas. Aku rasa itu lebih baik." bu Ratih tersenyum miring.
"Jangan kurang ajar, kamu!" sahut pak Gani.
"Lagian sudah sekarat begini masih saja cerewet." celetuk bu Ratih.
Bu Ratih kemudian mendekatkan wajah ayunya pada pak Gani.
"Asal mas Gani tahu, saat ini aku lebih senang kalau mas Gani mati. Karena aku tidak mau direpotkan dengan merawat pria penyakitan seperti mas."
Bisikan itu benar-benar membuat amarah pak Gani semakin meluap. Dan sepertinya, suasana hati yang tidak stabil itu membuat kondisi pak Gani drop.
Pak Gani berusaha menekan tombol nurse call. Tapi dengan cepat bu Ratih menghalanginya sambil menyeringai.
Sementara di luar kamar. Liana tampak sangat gelisah meninggalkan sang ayah di dalam bersama ibu sambungnya.
"Mau kemana?" tanya Damar saat melihat Liana beranjak dari kursi.
"Aku akan melihat ayah." jawabnya.
Sedikit lagi Liana mencapai gagang pintu, dia mendengar suara langkah kaki orang berlarian. Dari samping kiri tampak dokter yang merawat ayahnya datang mendekat bersama beberapa suster.
"Ayah...?!" Liana bergegas membuka pintu.
"Mas Gani..., betahanlah mas..."
Liana kemudian berlari saat mendengar tangis ibu sambungnya.
"Ayah...!!" seru Liana. "Ayah kenapa...?!" Liana pun tak bisa menahan tangisnya.
"Permisi, beri kami ruang!" ujar dokter yang sudah tiba di kamar itu.
"Tolong tinggalkan ruangan!" dengan nada suara yang sopan seorang suster menggiring bu Ratih dan Liana keluar dari kamar.
Di depan pintu mereka disambut oleh Damar dan Rosa yang tampak panik. Bu Ratih memeluk Rosa sambil menangis. Sementara Damar berusaha menenangkan Liana yang tengah menangis juga.
Tak lama kemudian dokter keluar.
"Dokter, bagaimana suami saya?" bu Ratih yang pertama mendekati dokter itu.
Sedangkan Liana, langsung lari memasuki ruangan ketika melihat raut wajah sang dokter yang begitu sedih.
"Ayah...!!!!" Liana menerobos suster yang akan menutupi wajah ayahnya dengan selimut.
Liana memeluk tubuh pak Gani yang sudah tak bergerak lagi. Dia luapkan rasa kehilangannya dengan tangisan yang benar-benar menyayat hati.
Damar yang tadi mengekor di belakang Liana turut merasakan sakit di hatinya, kala mendengar tangisan sahabatnya itu.
Beberapa menit sebelum hal itu terjadi. Bu Ratih sengaja mengulur waktu memencet tombol darurat, agar kondisi suaminya itu mencapai kritis terlebih dulu. Setelah dirasa pak Gani mulai tak berdaya, bu Ratih mengambil sedikit air di dalam gelas untuk membasahi matanya. Barulah kemudian dia memencet tombol yang tadi ingin digapai pak Gani.
"Allah akan membalas perbuatanmu Ratih..." bagitu batin pak Gani saat melihat kelakuan sang istri.
Suami mana yang tidak kecewa. Melihat istrinya sendiri berbuat sekeji itu pada dirinya. Apalagi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, kala dia merasa tak mampu lagi menahan rasa sakit.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, jenazah pak Gani segera dimakamkan setelah seluruh keluarga datang. Dan saat ini Liana sedang mengurung diri di dalam kamarnya.
"Kalau saja aku tahu semalam itu adalah pelukan terakhir dari ayah. Aku tidak akan bangun dan akan terus menemani ayah..."
"Ayah..., aku tidak punya siapa-siapa lagi..."
Tok... Tok... Tok...
"Kak Liana...!!" suara Rosa terdengar dari balik pintu. "Ada tamu yang ingin bertemu dengan kakak." katanya.
"Aku belum mau bertemu siapa-siapa." jawab Liana dari dalam.
"Baiklah..."
Rosa pun kembali keluar, dan menyampaikan pesan Liana. Kemudian tamu yang dimaksud itu segera undur diri.
"Begitu doang!" ujar bu Ratih. "Gaya doang elit, duit santunan juga tidak ada. Dasar!!" gerutunya.
"Mereka itu siapa, bu?" tanya Rosa.
"Entahlah. Ibu tidak kenal." balas bu Ratih.
"Sepertinya orang kaya." gumam Rosa kemudian.
"Kaya pelit, buat apa." bu Ratih kemudian kembali masuk ke rumah.
......................