NovelToon NovelToon
Happy Story

Happy Story

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Murni
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Riska Darmelia

Karya ini berisi kumpulan cerpenku yang bertema dewasa, tapi bukan tentang konten sensitif. Hanya temanya yang dewasa. Kata 'Happy' pada judul bisa berarti beragam dalam pengartian. Bisa satir, ironis mau pun benar-benar happy ending. Yah, aku hanya berharap kalian akan menikmatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riska Darmelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sensasi atau Cinta? part 2 end.

“Kemarin malam kamu kemana?”tanya Lina.

“Nginep di rumah teman. Ada party,”jawabku santai. Aku sudah biasa berbohong pada Lina. Jadi berbohong padanya bagiku adalah hal yang mudah.

“Asyik party-nya?”

“Lumayan. Ada cowok keren yang ngajak aku kenalan. Udah keren tajir lagi. Tipe aku banget,”karangku setengah jujur.

Lina tidak memberiku pertanyaan lagi.

“Pacarmu gimana?”tanyaku.

Beberapa hari yang lalu Lina curhat kalau pacarnya jadi orang yang sulit di hubungi. Pacarnya itu kebetulan bekerja di perusahaan yang sama denganku dan aku tahu kalau pacarnya sudah di pecat seminggu yang lalu. Tapi tetap saja aku merasa harus bertanya.

“Dia pulang kampung. Katanya mau buka usaha. Dia ngajakin aku nikah dan menetap di kampungnya, tapi aku manolak karena aku lebih suka Jakarta.”

Aku mendesah. “Aku juga baru nolak ajakan nikah dari pacar,”curhatku.

“Kenapa?”

“Nggak percaya komitmen. Aku juga nggak mau di sia-siain. Itu aja alasannya.”

“Kalo gitu kenapa mau pacaran?”

“Nggak mau kesepian. Aku suka konsep hidup berpasangan,”jawabku santai.

Lina menggeleng-geleng. “Aku udah 3 tahun satu kos sama kamu dan aku udah belajar untuk nerima apa aja yang kamu lakuin. Juga cara pikir kamu yang aneh.”

Aku menggigit apel yang baru saja kubeli. “Bagus. Berarti kamu teman sekamar yang tepat buat aku. Jangan pindah, ya.”

Lina tersenyum. “Kamu juga. Jangan pindah, ya.”

Aku balas tersenyum lalu mengangguk. Baru kali ini ada orang yang suka dengan kehadiranku dan mengakuinya secara terang-terangan. Rasanya aku patut merayakan momen ini.

Latif dan aku sedang minum kopi di Café-nya dan sibuk dengan urusan kami masing-masing. Aku dengan pekerjaanku dan latif juga dengan pekerjaannya. Sesekali kami bicara, tapi sesekali yang kumaksud memang hanya sesekali. Aku melihat jam tangan. Sudah setengah jam berlalu dan Latif belum mengangkat kepalanya dari kertas-kertas yang tersusun rapi di dalam map-map di depannya.

“Latif,”panggilku.

“Hm?”sahutnya.

“Kamu mau pergi liburan sama aku? Aku belum ambil jatah jatah cuti tahun ini. Aku mau liburan ke suatu tempat minggu besok. Kamu mau nemenin?”

Latif melepas kacamatanya. “Boleh, sih,”katanya sambil mengeliat. “Tapi kemana?”

“Tempat yang tidak terlalu jauh dan nggak terlalu mahal. Dan kalo bisa jangan pantai. Tau tempat kayak gitu?”

“Ke vilaku aja yang di bukit tinggi. Mau?”

“Aku bilang jangan yang jauh. Jakarta ke Bukittinggi sih jauh banget tau.”

“Kalo bogor?”

Aku berpikir sebentar. “Ada apa di Bogor?”

“Rumah orang tuaku.”

Aku tertawa. Rasanya seperti bunuh diri saja kalau jalan-jalan ke rumah orang tuanya mengingat status hubungan kami. “Boleh. Asal kita nggak ngelakuin hal-hal terlarang di sana.”

“Iya juga, sih. Kita nggak bakalan bisa ngapa-ngapain di sana. Percuma kan kalo jalan-jalan dan nggak bisa sesuka kita ngapain aja,”katanya lalu menertawai kebodohannya sendiri.

“Iya, lah.”Aku ikut tertawa.

“Kalo gitu gimana kalo kita ngabisin waktu di kosku, terus kita jalan-jalan seharian keliling kota Jakarta. Setuju?”

“Kenapa bukan rumahmu?”

“Ada pembantu yang bisa lapor ke orang tuaku. Karena nggak bisa bebas di rumah, aku sewa kos. Kalo nggak buat apa aku ngabisin uang buat sewa kos yang agak jauh dari rumah.”

“Oke. Kita nginap di kosmu selama seminggu. Aku ambil cuti mulai senin besok. Setuju?”

“Iya.”

Aku kembali fokus pada pekerjaanku. Aku tidak sabar menunggu senin datang.

Kehangatan yang kusuka bermain di bibirku. Aku membuka mata, menemukan kelopak mata terpejam berada sangat dekat dengan wajahku. Aku tahu aku sedang di cium seseorang, tapi butuh waktu lama bagiku untuk menyadari kalau orang yang menciumku adalah Latif.

Aku tersenyum, membuat bibirnya melepas bibirku.

“Morning,” sapaku, lalu mengeliat.

“Aku udah siapin sarapan. Mau makan,”katanya.

Aku memeluk lehernya. “Aku masih ngantuk. Mau tidur lgi, nggak?”

Latif melepas pelukanku. “Hana, jadwal hari ini jalan-jalan keliling kota. Bukan tidur seharian,”katanya. Latif lalu mencubit hidungku.

Aku tertawa. Latif memperlakukanku dengan sikap manisnya yang kusuka. Sikap yang membuatku jatuh cinta sejak pertama kali kami berkenalan secara dekat. Rasanya aku akan selalu betah berlama-lama dengannya. “Oke, aku bangun,”kataku. “Sarapannya apa?”

“Mie goreng dan telur ceplok.”

“Kayaknya enak,”pujiku. Aku bisa mencium aroma sarapanku untuk pagi ini di udara. Aromanya membuat air liurku terbit.

“Mandi dulu atau makan dulu?”tanya Latif.

Aku tertawa kecil. “Ya mandi, lah. Nggak mungkin rasanya makan sebelum gosok gigi.”

Latif melihat jam tangannya lalu menatapku. “Oke. Aku pergi sebentar. Ada yang perlu di urus di Café. Nggak apa-apa, kan?”

“Oke.”

Latif pergi lalu menutup pintu kamar kosnya, meninggalkanku sendiri untuk menikmati sarapan yang dia buat. Aku rasa Café-nya pasti laku sekali. Mie goreng yang dia buat saja rasa enak sekali.

Selesai sarapan aku menghabiskan waktu dengan bermain game HP.

Kira-kira sejam setelah pergi, latif kembali dengan setangkai bunga mawar. Aku tersenyum senang menyambutnya yang tersenyum dengan bunga di tangan.

“Hari ini tepat seminggu sejak pertama kali kita menjalin hubungan. Aku rasa semuanya terasa berharga untuk di rayakan,”kata Latif.

Aku menghirup aroma mawar yang dia berikan. “Thanks bunganya. Biasanya aku akan bilang nggak butuh kalo terima bunga. Tapi pagi ini mood-ku lagi bagus, jadi bungamu kuterima.”

“Apa yang bikin mood-mu bagus?”

“Tidurku pulas dan sarapannya enak.”

“Baguslah,”katanya. Latif melempar-lempar kunci mobil di tangannya. “Kita pergi sekarang, ya. Pertama-tama mau kemana?”

“Belum kepikiran. Kita keliling kota aja dulu. Setuju?”

“Oke. Apa pun yang kamu minta.”

Aku tersenyum. “Jangan nyesel karena ngikutin permintaanku, ya.”

Latif balas tersenyum. “Nggak akan.”

Perjalanan kami keliling kota Jakarta berakhir pada sore hari di kota tua. Aku dan Latif berjalan di sekitar sebuah bangunan sampai menemukan sebuah kursi taman yang terlihat nyaman di duduki. Kami duduk di sana sambil makan es krim.

“Sebelumnya aku nggak kepikiran untuk istirahat dari kerjaan di Café,”kata Latif.

“Rasanya aku terlalu berlebihan dalam bekerja dan itu baru aku sadari sekarang. Thanks, ya karena udah bawa aku keluar dari rutinitas.”

“Iya. Sama-sama. Thanks juga karena udah mau nemenin aku cuti. Aku nggak akan pergi sampai sejauh ini kalo cuma sendiri.”

“Dulu sama pacarmu nggak pernah ngabisin waktu cuti bareng?”

Aku menggeleng. “Nggak usah bahas dia deh. Ceritanya bakal panjang dan ngebosenin banget. Dia orang yang pasif banget walau tampangnya oke,”kataku malas. Aku memeluk Latif. “Mending kita ngomongin kamu aja. Contohnya alasan kamu buka Café.”

“Karena aku sekolah di SMKK jurusan tata boga. Aku tertarik dengan makanan enak sejak kecil karena masakan enak Ibu temanku. Saat SD, setiap kali berkunjung ke rumah mereka aku bakalan di suguhi kue yang enak-enak lalu kami akn makan siang denga lauk yang bumbunya selalu pas di lidah. Kalo aku di sana sampai malam, aku juga akan makan malam dengan lauk baru yang di masak untuk makan malam. Pokoknya kalo aku ke rumah salah satu temanku itu aku nggak bakalan bosan makan, deh.”

“Kalo waktu SMKK kamu ngambil jurusan tata boga, kamu kuliahnya ambil jurusan apa?”

“Aku nggak kuliah. Aku langsung kerja di restoran sehabis lulus dari SMKK. Lima tahun kerja di restoran, aku berhasil ngumpulin uang buat sewa ruko untuk bikin kedai makan biasa. Tujuh tahun ngumpulin uang aku berhasil nyewa tempat yang sekarang aku pakai buat Café. Ruko itu masih aku jadiin kedai. Penghasilan dua tempat ini berhasil bikin aku hidup tenang dan nyaman.”

“Aku kira kamu berasal dari keluarga kaya, loh,”kataku jujur.

“Iya, tapi anak orang tuaku ada 5. Aku yang terakhir, jadi harus ngalah sama yang lebih tua. Karena didikan orang tua, aku dan saudara-saudaraku berhasil punya kerjaan bagus.”

Aku tersenyum sambil melihat wajahnya. Latif baru saja membocorkan sedikit hal tentang keluarganya yang biasanya tidak mau dia bahas. Entah dia sadar atau tidak. “Tumben ngomongin keluarga,”godaku.

Latif tersenyum sambil memandangku. Keluargaku bukan topik yang menyenangkan untuk di bagikan, tapi aku merasa mereka topic yang cukup berharga untuk di bicarakan sama kamu.” Latif menggigit es krimnya. “Aku tau kita punya pendapat berbeda soal keluarga, tapi aku yakin kita sama-sama setuju kalau masih punya keluarga adalah hal yang sangat berharga. Iya, kan?”

Aku mengangguk setuju. Aku bahkan berpikir tidak ada yang lebih berharga di dalam hidupku selain keluarga. Tapi aku tidak memiliki kebersamaan yang kuinginkan dengan keluargaku. Bagiku memiliki keluarga yang utuh adalah hal yang sedikit mustahil karena meski aku masih punya Ibu, Ibuku bahagia bersama laki-laki lain selain Ayahku. Jadi aku tidak bisa berbahagia sebagai keluarga bersamanya lagi.

“Sensasi atau cinta, mana yang lebih kamu nikmati?”tanya Latif.

“Sensasi,”jawabku tanpa ragu. “Kalo kamu?”

“Aku penasaran bagaimana rasanya hidup dengan cinta di hati. Aku juga penasaran dengan perasaan bisa memiliki orang yang kucintai. Jadi aku pilih cinta.”

Jawaban yang tidak pernah kusangka-sangka. “Aku nggak butuh cinta. Alasannya udah aku bilang ke kamu dulu. Aku nggak mau jadi orang yang mati karena cinta kayak Ayahku.”

“Nggak ada 2 orang yang memiliki nasib yang persis sama di dunia ini, Hana. Bisa aja nasib kamu lebih baik dalam hal percintaan di banding Ayahmu. Kamu nggak akan tau sebelum mencoba, kan?”

Sok tahu sekali. Aku tidak perlu tahu dari pengalamanku sendiri kalau jatuh itu rasanya sakit kalau sudah ada orang sudah mengalaminya dan memberi tahuku. Bagiku mencoba untuk jatuh cinta itu rasanya seperti itu. “Sebenernya kamu mau ngomong apa, Latif?”tanyaku. “Aku nggak suka cara kamu mengomentari pendapat dan cara pikirku.”

“Aku mau kita mencoba.”

“Mencoba apa?”

“Untuk lebih serius dalam hubungan kita.”

“Hah?” Kualitas baik apa yang dia lihat dariku sampai ia berkata seperti itu.

Latif menatap kedalam mataku, seolah-olah ingin memperlihatkan keseriusannya. Aku langsung mengalihkan pandangan. Perasaanku tidak enak. Serius dalam topik ini sama sekali bukan keahlianku. Aku hanya ingin bersenang-senang dengan hubungan kami. Aku setia selama hubungan kami masih terasa nyaman. Bukan untuk menunjukkan kalau aku orang yang bisa dipercaya dan di miliki seutuhnya.

“Aku rasa kamu tidak seburuk yang awalnya kukira. Kamu selalu tulus. Kamu selalu bisa menyenangkan hatiku dengan sikap dan kata-katamu. Aku rasa kamu bisa membuatku merasakan hidup dengan cara yang berbeda.” Latif meraih tanganku tapi aku langsung menepisnya. “Tolong beri aku kesempatan berkomitmen dengan kamu. Cinta nggak seburuk yang kamu pikir.”

Aku hanya bisa diam. Syukurlah Latif tidak bicara lagi.

Bukan ini yang kuharapkan darinya. Aku rasa aku tidak perlu berpikir dua kali untuk permintaan Latif. Aku tidak mencari komitmen dalan sebuah hubungan. Aku hanya mencari kenyamanan. Dan tidak ada kenyamanan bagiku dalam hidup yang serba terikat. Aku yakin aku tidak bisa menjalin apa pun dengan Latif. Kenyamanan yang tadinya kurasa sudah berakhir.

“Aku harus pergi,”kataku, langsung berdiri dan merapikan rokku. Aku membuang es krim yang tadi dia belikan ke tong sampah di sampingku.

Latif hanya bisa diam sambil memandangi wajahku. Aku balas menatapnya. Rasanya sayang sekali kalau harus berpisah secepat ini.

“Apa yang sebenarnya kamu cari, Hana?”

Aku menggeleng. “Nggak ada. Aku hanya menikmati momen yang tercipta. Percaya?”

“Kamu kedengeran terlalu bebas untuk sebuah komitmen. Maaf karena udah nawarin hal yang nggak kamu butuhin.”

Aku memberinya seulas senyum untuk kata-katanya yang sopan dan manis. “Makasih atas pengertiannya.”

“Jadi, kencan kita berakhir?”

“Iya. Sayang sekali, ya.”

“Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?”

Aku hanya bisa tersenyum lagi sebelum meninggalkannya. Tidak mungkin rasanya aku mengatakan kalau aku akan mencari teman kencan baru setelah meninggalkannya.

Aku tidak sejahat itu.

~Selesai~

1
𝕻𝖔𝖈𝖎𝕻𝖆𝖓
Hai ka.....
gabung di cmb yu....
untuk belajar menulis bareng...
caranya mudah cukup kaka follow akun ak ini
maka br bs ak undang kaka di gc Cbm ku thank you ka
Riska Darmelia
〤twinkle゛
Terima kasih sudah menghibur! 😊
Riska Darmelia: sama-sama/Smile/
total 1 replies
Tiểu long nữ
Suka dengan gaya penulisnya
Riska Darmelia: makasih.
total 1 replies
🍧·🍨Kem tình yêu
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
Riska Darmelia: terima kasih karena sudah membaca.😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!