Aruna Nareswari, seorang wanita cantik yang hidup sebatang kara, karena seluruh keluarganya telah meninggal dunia. Ia menikah dengan seorang CEO muda bernama Narendra Mahardika, atau lebih sering dipanggil Naren.
Keduanya bertemu ketika tengah berada di tempat pemakaman umum yang sama. Lalu seiring berjalannya waktu, mereka berdua saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah.
Mereka berharap jika rumah tangganya akan harmonis tanpa gangguan dari orang lain. Namun semua itu hanyalah angan-angan semata. Pasalnya setiap pernikahan pasti akan ada rintangannya tersendiri, seperti pernikahan mereka yang tidak mendapatkan restu dari ibu tiri Naren yang bernama Maya.
Akankah Aruna mampu bertahan dengan semua sikap dari Maya? Atau ia akhirnya memilih menyerah dan meninggalkan Narendra?
Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca ya, terima kasih...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon relisya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4
"Iya non, saya bekerja di sini sejak almarhum ibu dan ayahnya tuan Naren masih hidup." Jawab Bi Ainur yang terlihat bersedih.
Aruna yang mengetahui hal itu pun langsung menaruh baju yang ia pegang, lalu setelah itu dirinya jongkok dan memegang pundak Bi Ainur.
"Udah bi taruh aja, kita ngobrol aja dulu biar tambah akrab." Ajak Aruna sembari mengambil alih tas yang dipegang oleh Bi Ainur, lalu menaruhnya di lantai.
Bi Ainur yang kembali merasakan kesedihan pun hanya menurut saja. Saat mengingat kedua majikannya itu dirinya pasti akan bersedih, dan seperti kehilangan tenaganya.
Aruna mengajak Bi Ainur untuk duduk di sofa yang ada di dekat jendela di dalam kamar tersebut. Mereka duduk berdampingan, dan saling menghadap satu sama lain.
Bi Ainur yang mengetahui jika Aruna ingin mendengarkan cerita tentang orang tua kandung Narendra pun langsung mulai menceritakannya.
"Dulu saya masuk ke rumah ini saat nyonya Talita baru mengandung dua bulan. Nyonya Talita dan tuan Evan sangat baik sekali sama saya. Walaupun saya hanya pembantu di sini, tapi beliau memperlakukan saya seperti anggota keluarganya sendiri,"
"Baik banget ya bi," lontar Aruna disela cerita Bi Ainur.
"Iya non, beliau berdua emang orang-orang yang baik. Sayangnya tuhan memanggil mereka secepat itu," kini raut wajah Bi Ainur berubah menjadi semakin sedih, bahkan ada setitik air mata di pelupuk matanya.
"Maaf bi, tapi kenapa mama bisa meninggal ya?" tanya Aruna hati-hati.
Bi Ainur menghela napasnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan ceritanya, "Nyonya mengalami kecelakaan tunggal non, remnya blong dan masuk ke dalam jurang. Sebenarnya nyonya masih bisa diselamatkan, akan tetapi beliau rela mempertaruhkan nyawanya demi anak yang ada di kandungannya,"
"Kenapa mama lebih memilih berkorban demi melahirkan Narendra bi?" tanya Aruna lagi.
"Anda sendiri seorang perempuan non, pasti anda bisa mengerti bagaimana perasaan nyonya dulu,"
Aruna menganggukkan kepalanya pertanda ia paham, "Maaf ya bi kalo aku tanya-tanya begitu,"
Bi Ainur tersenyum kecil, lalu memegang kedua tangan Aruna dengan erat, "Non Aruna berhak tau cerita ini,"
"Andai saja nyonya masih hidup, pasti beliau bahagia punya menantu sebaik dan secantik non," sambungnya lagi.
"Bibi bisa aja," jawab Aruna yang tersipu malu dengan pujian dari Bi Ainur.
Bi Ainur melepaskan tangannya, lalu segera mengusap air matanya yang hampir jatuh, "Sudah dulu ya non ceritanya, sekarang mari saya bantu bereskan barang-barang non lagi,"
"Makasih ya bi,"
"Ini memang sudah tugas saya sebagai pembantu rumah tangga di sini non." Jawab Bi Ainur dengan senyuman hangatnya.
Mereka berdua pun akhirnya bangkit dari duduknya, lalu kembali lagi ke depan koper yang tergeletak begitu saja di lantai.
Sambil membereskan barang-barang, mereka berdua juga saling mengobrol untuk bisa lebih akrab lagi. Ya, Aruna memang ingin akrab dengan Bi Ainur seperti sang suami. Entah apa yang mereka berdua bicarakan, namun terlihat sangat asyik.
.
Di malam harinya, lebih tepatnya pada pesta pernikahan Aruna dan Narendra. Banyak tamu undangan yang sudah hadir di sana, tamu tersebut adalah rekan bisnis Narendra dan juga teman-temannya.
Untuk Aruna, dulu dirinya memang tidak memiliki banyak teman. Sehingga kini ia tidak ingin mengundang siapapun kecuali Kania yang memang sahabat dekatnya. Keluarga pun dirinya sudah tidak punya lagi, karena dia memang hidup sebatang kara.
Kini Aruna, Narendra, Maya dan Diandra sedang berdiri di depan pintu masuk utama, untuk menyambut para tamu undangan yang datang. Pakaian mereka berempat sama, dan itu adalah hasil rancangan dari Aruna sendiri.
Awalnya Maya dan Diandra tak mau berpakaian sama seperti Aruna. Namun karena takut Narendra marah, dengan terpaksa mereka harus mau.
Bukan karena apa-apa mereka takut pada Narendra, hanya saja Narendra lah yang memiliki kuasa penuh di dalam rumah itu, dan mereka takut diusir jika tidak menurutinya.
"Hai Na, selamat ya atas pernikahan lo," ucap Galang seraya berjabat tangan dengan Aruna.
"Thanks Lang," jawab Aruna dengan tersenyum manis.
"Selamat ya bro!" seru Galang yang menjabat tangan Narendra, lalu memeluknya.
"Makasih udah datang ke sini," jawab Narendra yang membalas pelukan tersebut.
"Sorry ya tadi pagi gue nggak bisa hadir." Ucap Galang yang merasa sedikit bersalah, karena tidak bisa menghadiri acara pernikahan antara sahabat dan calon kakak iparnya.
Galang Prayoga, dirinya adalah teman sekolah menengah atas Aruna, sekaligus kekasih dari Diandra. Saat SMA dulu dia dan Aruna cukup akrab, namun sempat hilang kabar.
Hingga pada akhirnya Galang berpacaran dengan Diandra, dan bertemu lagi dengan sahabat lamanya itu. Persahabatan pun kembali mereka jalin seperti dulu lagi.
Diandra yang cemburu karena sang kekasih terus mengobrol dengan Aruna pun langsung menghampirinya. Ia langsung memeluk lengan sang kekasih dengan erat, dan menariknya pergi dari sana.
"Sayang, ayo kita masuk aja," ajak Diandra merengek manja.
"Ehhh... Gue pergi dulu Na, Ren," pamit Galang yang sudah ditarik oleh Diandra.
"Selamat malam tante." Sapa Galang ketika melewati calon mertuanya.
Maya hanya menjawab dengan senyuman manis untuk calon menantunya itu. Dia juga tidak menyalahkan sikap Galang yang tidak sopan itu, karena yang salah memang anak gadisnya yang sedang diselimuti rasa cemburu.
Tak berapa lama kemudian, keluarga dari teman almarhum Evan datang. Maya yang tadinya sedikit cemberut pun langsung tersebut bahagia, lalu pergi untuk menyambutnya.
"Eh jeng Mega sudah sampai," ucap Maya dengan sumringah.
"Iya jeng." Jawab Mega yang juga terlihat bahagia.
Aruna dan Narendra juga tidak tinggal diam saja, mereka berdua ikut mendatangi sepasang suami istri tersebut untuk menunjukkan rasa hormatnya.
"Selamat malam om Fajar, tante Mega," sapa Narendra seraya mencium punggung tangan keduanya secara bergantian.
"Selamat malam om, tante," Aruna pun melakukan hal yang sama seperti sang suami.
"Selamat ya nak atas pernikahan kalian, semoga kalian berdua hidup bahagia dan segera diberikan momongan," ucap Mega sembari memegang tangan Aruna.
Aruna tersenyum manis, "Terima kasih tante,"
"Jaga baik-baik istri kamu Ren, jangan pernah sakiti dia," pesan Fajar seraya menepuk bahu Narendra.
"Pasti om." Jawab Narendra dengan mantap.
Dulu Fajar dan Mega adalah teman baik dari Evan dan Talita, jadinya mereka berdua sering memberikan nasehat kepada Narendra. Mereka juga memiliki seorang anak perempuan seusia Narendra, dan anak mereka juga saling berteman baik.
"Sayang banget ya jeng kita nggak jadi besanan, padahal aku pengen banget loh punya besan seperti jeng Mega," ucap Maya yang sepertinya ia sengaja agar terdengar oleh Aruna.
"Pasti aku juga bahagia sekali punya menantu cantik dan pintar seperti anakmu jeng," sambung Maya lagi.
"Anakku memang bukan jodohnya Naren jeng. Lagian mereka berdua juga sudah punya pasangan masing-masing, jangan bahas hal ini lagi, kasihan menantu kamu," Mega yang tidak mau menyakiti perasaan Aruna sedikit mengecilkan suaranya.
"Hahaha, biarin saja dia dengar," ucap Maya dengan suara kerasnya.
"Ayo jeng kita masuk ke dalam aja."
Maya menggandeng lengan Mega, lalu membawanya masuk ke dalam rumah dengan begitu angkuhnya. Apalagi ketika melewati tubuh Aruna, dia segera membuang pandangannya seolah malas melihat wajah dari menantunya itu.
Sedangkan Mega yang merasa tidak enak pun hanya bisa tersenyum kepada Aruna, karena ingin berbicara pun dirinya tidak bisa. Maya seolah tidak membiarkannya untuk bisa berbicara dengan gadis itu.
"Kalian jangan dengerin omongan mama kalian ya, orangnya emang gitu kalau ngomong, suka seenaknya sendiri." Fajar kembali memberikan nasehat, takut jika Aruna akan sakit hati.