Bagaimana rasanya menikah dengan orang yang tidak kita kenal?
Baik Arsya maupun Afifah terpaksa harus menerima takdir yang telah di tetapkan.
Pada suatu hari, ayah Afifah di tabrak oleh seorang kakek bernama Atmajaya hingga meninggal.
Kakek tua itupun berjanji akan menjaga putri dari pria yang sudah di tabraknya dengan cara menikahkannya dengan sang cucu.
Hingga pada moment di mana Afi merasa nyawanya terancam, ia pun melakukan penyamaran dengan tujuan untuk berlindung di bawah kekuasaan Arsya (Sang suami) dari kejaran ibu mertua.
Dengan menjadi ART di rumah suaminya sendirilah dia akan aman.
Akankah Arsya mengetahui bahwa yang menjadi asisten rumah tangga serta mengurus semua kebutuhannya adalah Afi, istrinya sendiri yang mengaku bernama Rere?
"Aku berteriak memanggil nama istriku tapi kenapa kamu yang menyahut, Rere?" Salah satu alis Arsya terangkat.
"Karena aku_" Wanita itu hanya mampu berucap dalam hati. "Karena aku memang istri sahmu, pak Arsya"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 3
Meeting berakhir, Arsya mengajak para kolega untuk menikmati makan siang di resortnya.
Sejujurnya pria itu tak begitu konsentrasi saat rapat tadi, beberapa kali ponselnya berbunyi dan itu panggilan dari Zidan, sang ayah. Entah apa yang terjadi, yang jelas mendadak ia di serang rasa cemas.
Tidak biasanya juga Zidan menelfon berulang kali di saat dirinya sedang ada rapat penting.
Rasa gelisahnya kian menjadi ketika Beno memberitahukan bahwa sang kakek sudah di rawat di rumah sakit sejak beberapa minggu lalu.
Mendengar hal mengejutkan, selara makan yang sebelumnya menggebu, kini seketika lenyap. Jangankan nasi, air putih saja tidak bisa masuk ke perutnya.
"Apa tidak ada pesawat yang berangkat lebih awal, Ben?" Tanya Arsya, pria tampan itu berjalan dengan cepat ke arah kamar usai makan siang berakhir.
"Tidak ada pak" Jawab Beno, mengekori langkah Arsya.
"Bagaimana kakek sekarang?"
"Beliau kritis, kondisinya semakin menurun"
"Astaga, kenapa bisa begini? Kakek baik-baik saja saat kita pergi"
"Kata Sheema kadar gulanya mencapai 570,"
"Kenapa tinggi sekali?"
"Entahlah bos, belum ada informasi lagi dari Sheema"
Arsya menghembuskan napas kasar. "Telfon ayah atau mama sekarang juga" Perintahnya.
"Baik"
Sesampainya di kamar Arsya. Beno langsung menghubungi Zidan dan tak lama kemudian panggilan tersambung.
"Beno, dimana Arsya?" Tak menjawab, pria itu langsung menyerahkan ponselnya ke tangan Arsya.
"Halo, pah"
"Hallo Arsya"
"Iya, pah, gimana kondisi kakek?"
"Dokter bilang, jika pasien dengan kadar gula tinggi sudah koma, harapannya sangat kecil untuk bisa bangun"
"Apa kakek tidak akan bangun lagi, pah?"
"Papah nggak tahu nak, papa pesimis saat para dokter sudah putus asa, dan mengatakan kalau sekarang kita hanya bisa berdoa saja" Suara Zidan terdengar sendu, membuat Arsya semakin khawatir. "Oh iya nak, kapan kamu pulang?"
"Malam ini pah, dan besok aku akan langsung ke rumah sakit begitu sampai di Jakarta"
"Sebaiknya begitu, Arsya. Kamu adalah cucu kakek satu-satunya, kakek pasti sangat mengharapkan kehadiranmu"
"Iya, pah" Balas Arsya. "Lalu, bagaimana dengan nenek?"
"Sudah pasti nenekmu sangat sedih, kakek adalah belahan jiwanya"
"Kasihan nenek" Lirih Arsya.
Sedetik kemudian, Arsya mendengar suara neneknya dari sebrang telfon.
"Zidan, kita harus segera ke rumah sakit, nak"
"Kenapa, mah?"
"Papahmu"
"Ada apa dengan papah?"
Arsya hanya diam mendengar percakapan nenek serta papahnya dari balik telfon.
"Dokter bilang papah sudah siuman, dia bangun, Zi"
"Apa? Papah siuman?"
"Iya, nak. Ayo kita ke rumah sakit sekarang juga"
"Iya, mah. Sebentar saya akan panggil Prilly dulu, mamah tunggu di mobil"
"Cepat ya Zi"
"Iya, mah" Bergegas Zidan menaiki anak tangga hendak memanggil istrinya yang ada di kamar.
"Arsya, sudah dulu ya nak, papah mau ke rumah sakit. papah dapat kabar kalau kakek sudah sadar"
"Iya pah, hati-hati pah"
"Ok, nak. Kamu juga hati-hati. Segera pulang, iya"
Panggilan terputus. Arsya sedikit lega karena sang kakek akhirnya sadar.
"Apa ada hal baik yang terjadi, pak?" Tanya Beno seraya menjulurkan tangan menerima ponsel dari tangan Arsya.
"Kakek sudah sadar, Beno"
"Syukurlah, saya ikut senang, pak"
"Lebih baik kita berkemas sekarang"
"Iya, pak. Kalau begitu, saya permisi"
"Hmm" Sahut Arsya ttg ^mengangguk.
Hatinya terasa ringan, seakan tak ada beban yang ia pikul. Sampai-sampai dia melupakan soal Afifah istrinya.
Sore berlalu hingga semakin larut,
Setelah bosan menunggu, akhirnya jam di tangannya menunjukkan pukul sepuluh waktu setempat. Dua pria itu sudah berada di bandara dan siap terbang menuju negaranya.
Tepat ketika hendak melakukan pemeriksaan, ponsel Arsya bergetar, ia mengurungkan niat untuk chek in dan mempersilakan yang lain chek in terlebih dulu.
"Halo, mah" Pria bersweter mocca menempelkan ponsel di telinganya.
"Kamu dimana, Ar?"
"Di bandara mah, ini mau chek in. Ada apa?"
"Cepat pulang ya, kakek terus memanggilmu, katanya ada hal penting yang ingin kakekmu sampaikan"
"Iya mah,
"Ya sudah, hati-hati di jalan"
"Okay!" Pria itu memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku kemudian bergegas memasuki pesawat.
Beno yang sudah berada di dalam pesawat dan duduk di kursi VIP, sedikit gusar karena bosnya belum juga menampakkan diri.
Selang lima menit kemudian, sosok yang sangat ia kenal akhirnya muncul.
"Apa ada masalah, bos?" Tanya Beno seraya berdiri dari duduknya.
"Tidak ada, duduklah! Mamah hanya memberitahuku kalau kakek terus menanyakanku"
Keduanya pun duduk di kursi masing-masing, bersamaan dengan suara pramugari yang memberitahukan kalau pesawat sebentar lagi akan take of menuju bandara internasional Jakarta.
Setidaknya butuh waktu beberapa jam untuk sampai di sana.
Agar tak terlalu jenuh memikirkan sang kakek, selama dalam perjalanan Arsya menonton televisi. Beberapa pilihan drama korea sudah siap menemani perjalanannya.
Pria itu memang sangat menyukai drakor. Selain jalan ceritanya yang simple namun bagus serta bikin baper, para pemainnya juga tampan dan cantik. Ia berharap kisah cintanya akan seperti drama korea, tapi apalah daya, yang terjadi justru berlawanan. Kisah cintanya bahkan sama sekali tak mengesankan.
***
Kurang lebih tujuh belas jam Arsya berada di udara. Perjalanan yang cukup lama, tentunya juga melelahkan karena hampir satu hari penuh, pesawat pun berhasil landing dengan sempurna pada pukul 15:00 Wib.
Dengan langkah seribu dia turun dan pergi tanpa menunggu bagasi yang mengangkut kopernya.
Pria itu langsung keluar dari bandara dan akan menemui sopir keluarga yang sudah standby di area penjemputan.
"Kita langsung ke rumah sakit, pak" Pungkas Arsya sambil menautkan sabuk pengaman.
"Baik pak Arsya"
Hening, tak ada yang Arsya lakukan selama dalam perjalanan menuju rumah sakit. Dia hanya termenung, dengan pandangan kosong menatap jalanan. Salah satu siku tangannya bertumpu pada kaca jendela, sementara jarinya menutupi sebagian mulutnya.
"Sudah sampai, pak" Kata sopir, mengagetkannya.
"Makasih ya pak"
"Sama-sama, pak Arsya"
Pria itu berlari begitu turun dari mobil. Langkahnya lebar menuju lantai tiga.
Setibanya di sana, ada nenek serta orang tuanya yang berada di luar bangsal.
Ketiga orang itu sontak berdiri setelah melihat Arsya berlari ke arahnya.
"Gimana kakek, pah" Nafasnya memburu, dan dadanya naik turun menahan lelah.
"Cepat temui kakekmu, dia tidak berhenti memanggil namamu"
"Iya, pah. Aku masuk dulu"
"Masuklah!" Sang ayah menepuk lengannya pelan. Detik berikutnya Arsya menganyunkan kaki menuju ruang dimana ada kakenya di dalam sana.
Pelan tanganya terulur mendorong pintu kaca bertuliskan ICU.
Sesaat setelah terbuka, sepasang matanya langsung jatuh tepat di wajah sang kakek yang tengah memejamkan mata.
Mendengar ada suara, mata sayu itu perlahan terbuka, menampilkan gurat yang kian meredup.
"Kakek" Dia menghampiri kakeknya.
"Kamu sudah sampai, nak" Ujarnya lemah.
"Sudah, kek. Kakek baik-baik saja?"
"Kakek baik karena kemarin Afifah kemari. Kamu sendiri gimana? Baik juga?"
"Aku baik, kek"
"Hmm.." Responnya dengan deheman. "Kapan kamu mau jemput Afifah?"
"Secepatnya, kek"
Atmajaya tersenyum, merasa puas dengan jawaban cucunya.
"Jadilah suami yang baik, yang bertanggung jawab, dan melindungi istrimu"
"Iya, kek"
"Ingat, jangan sekalipun kamu menyakitinya! Mengerti?"
"Mengerti, kek"
"Kakek pegang janji kamu. Oh iya, kakek sudah beritahu nenek kalau kamu sudah menikah, dan tugasmu untuk memberitahu orang tuamu"
Atmajaya menjeda sedikit lama, dia hanya bicara sedikit, tapi nafasnya seakan mau habis.
"Kemarin istrimu datang menjenguk kakek, kami mengobrol banyak hal. Dan kakek ingin sekali berbincang lagi dengannya"
"Kalau kakek ingin, aku akan menjemputnya dan membawa ke hadapan kakek"
"Tidak perlu, kakek sudah lelah, kakek mau istrirahat saja"
"Kalau begitu, istirahatlah" Pinta Arsya yang di respon dengan senyuman oleh Atmajaya.
"Ingat selalu pesan kakek yang tadi"
"Iya, kek"
"Jangan sakiti Afi!"
"Iya, iya" Jawab Arsya dengan nada sangat lembut.
"Kakek bangga memiliki cucu sepertimu"
Usai mengatakan itu, Atmajaya tersenyum, lalu terdiam, perlahan matanya tertutup kembali.
"Kakek!" Panggil Arsya.
Sedetik kemudian, semua peralatan medis mendadak berbunyi, dan Atmajaya kembali tak sadarkan diri.
"Kakek!"
Paramedis yang siaga berdiri di dalam ruanganpun langsung memeriksa kondisinya.
Dengan rasa takut campur panik, Arsya menunggu di dalam sana, menyaksikan sang kakek yang terbaring begitu lemah.
"Bagaimana kakek, dok?" Tanya Arsya saat dokter menarik napas pajang lengkap dengan gelengan kepala dan mata melihat jam di tangannya.
"Maaf, pak Arsya" Kata dokter penuh penyesalan. "Pak Atmajaya sudah tiada, beliau menghembuskan nafas terakhir pada pukul 16:03 Wib.
"Kakek" Tubuhnya seakan lemah, tapi untungnya kedua kaki Arsya masih mampu menopang berat badannya.
Bersambung
semoga end nya nanti sudah baikan semua 😊