Pada mulanya, sebuah payung kecil yang melindunginya dari tetesan hujan, kini berubah menjadi sebuah sangkar. Kapankah ia akan terlepas dari itu semua?
Credits:
Cover from Naver
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYZY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meeting in the Middle of the Weather
Sepulang dari kampus, aku dan Alisha—teman sekelasku di kampus datang ke toko buku dan alat tulis terdekat di dekat perempatan jalan raya. Menurut ramalan cuaca, siang ini akan turun hujan, akan tetapi aku tidak begitu mempedulikannya karena semenjak pagi dan siang ini, sinar matahari begitu terik. Begitu kami keluar dari toko sembari menentang beberapa tas berisi barang-barang, kami langsung diterpa oleh angin dan air hujan. Beruntung, hujannya tidak disertai petir.
Aku menyadari bahwa hari ini adalah hari pertama hujan turun setelah berhari-hari dilanda kekeringan. Setelah beberapa saat menghabiskan waktu untuk berdiskusi, akhirnya aku dan Alisha memutuskan untuk berteduh di depan toko ini yang kebetulan memiliki sebuah meja dan beberapa kursi yang melingkari meja tersebut. Kami tidak membawa payung atau jas hujan, juga tidak ada toko yang menjual payung di dekat sini, jadi kami akan menunggu sampai hujan reda untuk pulang ke rumah masing-masing.
"Untung saja aku sempat membeli camilan!" ucapnya sembari mulai membuka sebuah tas yang berisi berbagai macam makanan pedas sekaligus hangat yang biasa di jual di pinggir jalan. Saat ia sibuk dengan makanannya, aku memilih untuk melihat barang-barang yang aku beli di toko buku, memastikan mereka lengkap dan aman.
"Kamu mau?" tanyanya sembari meniup makanan berbumbu balado yang sudah ada di antara sumpitnya.
Aku menggelengkan kepala seraya memeluk tubuhku sendiri dengan kedua tangan. Seperti sebelum-sebelumnya, aku rentan terhadap cuaca dingin. Suhu di luar ruangan terasa lebih dingin karena aku bisa merasakan secara langsung angin yang berhembus serta cipratan air hujan yang jatuh tak jauh dari tempat kami berteduh saat ini. Hari ini aku tidak memakai pakaian yang panjang dan tebal, melainkan hanya memakai rok setinggi lutut dan kaus sablonan bergambar kartun dengan lengan pendek.
"Pedas sekali!" keluhnya sembari mengibaskan tangan di sekitar area wajahnya.
Wajah Alisha mulai kemerahan, dan ada beberapa peluh di sekitar wajahnya. Ia hanya makan beberapa tusuk dan reaksinya sudah sangat parah.
"Apa kau tidak masalah makan makanan pedas?" tanyaku pada akhirnya. Sebab, akhir-akhir ini aku sering melihatnya makan makanan pedas dengan porsi yang banyak. Aku hanya khawatir jika sakit perutnya kambuh seperti sebelum-sebelumnya. Akan tetapi, aku tahu Alisha adalah maniak makanan pedas, oleh karena itu aku tahu aku tidak akan bisa menghentikannya dengan mudah.
Dia berkata sembari mengunyah makanan, kedua pipinya sampai menggembung seperti bola. "Aku sudah sarapan, tenang saja ... ini tidak terlalu pedas."
Aku mengerutkan kening, "Barusan kau bilang itu pedas—"
"Panas, maksudku panas!"
"Oh ... tapi tetap saja—"
"Percayalah, aku tidak apa-apa. Kau tahu? Cita rasa pedas jauh berkali-kali lipat lebih enak dibanding makanan tanpa bubuk cabe!"
"Yah, aku sudah bisa menebaknya dari selera pelanggan di tempat kerjaku, kecuali ...."
Entah mengapa saat memikirkan kegemaran orang dengan makanan pedas, tiba-tiba saja aku teringat Andrew. Pria itu tidak bisa makan pedas, bahkan mencoba sedikit saja dia tidak mau.
Tanpa sadar sudut bibirku sedikit terangkat ke atas saat memikirkannya.
"Nah!" Alisha menjentikkan tangannya, "kau sendiri juga tahu 'kan? Justru aneh jika ada orang yang tidak suka makan pedas!"
"Hey, kau pikir semua orang itu sama? Makan pedas itu pilihan, sama seperti kau yang tidak bisa minum alkohol."
Alisha terkekeh, "Kau juga tidak bisa minum 'kan?"
Aku menghela napas, "Ngomong-ngomong, sampai di mana projek melukismu?"
Aku sedang membicarakan tugas kuliah. Karena kami adalah mahasiswi jurusan seni rupa, maka kami diharuskan untuk setidaknya memiliki satu karya lukis yang nantinya akan dipamerkan di pameran saat menjelang UAS.
Seketika itu, dia menghentikan acara makannya, ia tampak sedang berpikir sembari menerawang ke arah langit mendung. "Entahlah, aku tidak yakin ... ada terlalu banyak ide yang aku dapatkan, jadi aku masih menimbang-nimbangkannya. Bagaimana denganmu?"
"Yah, kurang lebih sama ...."
"Kukira karena cuacanya mendukung, seharusnya tugas ini bisa kita selesaikan dengan mudah."
Aku menganggukkan kepala setuju, paham dengan maksudnya. "Kau benar, melukis saat sedang hujan memang adalah waktu yang terbaik!"
"Ditambah dengan pengalaman pribadi."
"Apa?"
Alisha menatapku dengan senyuman yang terlihat aneh. "Kau tahu, dalam hal melukis, penting untuk mencurahkan seluruh isi hatimu. Jadi, apa kau sudah punya pacar?"
"Apa hubungannya pacar dengan—"
Tiba-tiba Alisha menggebrak meja kecil yang ada di depannya, membuatku terpaksa mengatupkan mulut. "Hey, jawab saja pertanyaanku, apa kau sudah punya pacar?"
"A-aku?"
"Sebentar, kenapa kau gagap begitu? Apa jangan-jangan kau—"
"Aku tidak punya pacar!" selaku dengan cepat. Tunggu, mengapa aku terdengar seperti orang yang sedang diinterogasi?
Senyuman Alisha semakin lebar. "Sudahlah tidak perlu mengelak, dari reaksimu saja aku sudah langsung tahu!"
"Alisha, bukan seperti itu...."
"Tidak masalah, wajar jika gadis seumuranmu sudah punya pasangan."
"Aku bahkan baru menjadi mahasiswi!"
"Ck, lalu bagaimana dengan anak sekolah jaman sekarang yang rata-rata sudah memiliki pacar? Kau ingin kalah dari mereka?"
Seketika itu aku terdiam. Lagi-lagi, aku merasa tersinggung dengan perkataannya. Sebab, seperti yang dia katakan tentang anak sekolah, aku dan Andrew sudah pacaran semenjak kami masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Saat itu, aku baru berada di tahun pertama, sementara Andrew sudah berada di tahun terakhirnya.
Akan tetapi, itu bukanlah pengalaman yang indah.
"Stella, aku ini temanmu, meskipun aku lebih muda darimu, cobalah untuk sedikit terbuka!"
Aku menundukkan kepala untuk merenungkan perkataannya. Memang benar, Alisha adalah temanku satu-satunya yang ada di kampus. Akan tetapi, dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentangku. Tentu saja ia tahu tentang beberapa hal, akan tetapi itu juga diketahui oleh orang-orang yang hanya sekedar mengenalku saja.
"Bukankah selama ini aku yang selalu bercerita? Sebenarnya aku juga ingin tahu tentangmu! Kau selalu saja menutup-nutupi tentang kehidupanmu padaku seolah-olah aku ini bukan kawan baikmu!"
Wajahnya cemberut, ia menopang wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Bahkan kau tidak memberitahu alamat rumahmu!" lanjutnya.
"Kau tidak bertanya!"
Alisha mendengus, "Ah, sudahlah! Kau menyebalkan!"
Aku tidak mengira reaksinya akan seperti itu. Bahkan, aku saja tidak tahu alamat rumahnya, yang aku tahu hanya seputar masalah keluarga dan masalah lainnya yang sering dia ceritakan padaku. Kalau boleh menilai, Alisha adalah gadis yang baik. Meskipun diluar tampaknya dia agak cuek dan dingin, namun hatinya sebaliknya. Terkadang, dia mengajakku makan, menemaniku berbelanja kebutuhan pokok, sampai mengerjakan tugas mata kuliah bersama. Jika kami berdua tidak sempat bertemu karena sama-sama sedang sibuk bekerja, dia akan memberikan satu dua pesan singkat di aplikasi chatting hanya untuk mengeluh dan menceritakan segala sisi buruk atasannya.
Setelah dipikir-pikir, sangat banyak kesamaan di antara kami. Aku dan Alisha, sama-sama bekerja paruh waktu untuk memenuhi biaya hidup diri sendiri, yang kedua; kami memiliki selera musik yang sama, dan yang ketiga; kami sama-sama mempunyai hobi menggambar.
Sebenarnya masih ada banyak hal lain yang membuat kami cocok. Akan tetapi, ketiga hal itu lah yang menurutku yang paling membawa dampak besar bagi hubungan pertemanan kami. Oleh karena itu, diam-diam aku mengagumi Alisha. Di usianya yang masih terbilang muda, dia mampu menghidupi dirinya sendiri, dia memiliki semangat yang tinggi dan pemikiran yang optimis dalam menjalani hidup. Saat aku seusianya dulu, aku sangat pesimis, aku hanya pasrah dengan keadaan saat itu tanpa ada niat untuk memperjuangkannya. Sebagai temannya, aku cukup merasa malu pada diriku sendiri.
"Wah, aku kenyang." Alisha membereskan semua sampahnya kemudian pergi untuk membuangnya ke dalam tong sampah yang letaknya tidak jauh dari tempat kami berteduh.
Saat Alisha hendak berjalan kemari, aku melihat ada seseorang yang muncul dari balik bangunan di samping toko buku ini sembari membawa payung bewarna putih transparan. Itu adalah seorang pria dengan hoodie bewarna putih bersih yang melekat di tubuhnya. Setahuku, bangunan tersebut adalah klinik dokter hewan. Saat pria itu semakin dekat, aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Seketika itu seluruh bulu kudukku terasa merinding. Aku jelas mengenalinya, itu karena wajahnya tidak pernah berubah meskipun sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu.
Saat aku memperhatikannya berjalan, tiba-tiba ia menolehkan wajahnya dan melihatku, entah mengapa aku merasa ekspresinya sama terkejutnya denganku. Langkahnya berhenti tepat saat Alisha sudah kembali ke tempat duduknya, tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi.
"Stella!"
...CHAPTER END...
tapi sukaaa.. gimana dong..
boleh banyak2 dong up nya..
/Kiss//Kiss/
saran aja nih.. kalau buat cerita misteri, updatenya sehari 3 x.. supaya pembacanya ga kentang.. /Chuckle//Kiss/