Rumah tangga Nada Almahira bersama sang suami Pandu Baskara yang harmonis berubah menjadi panas ketika ibu mertua Nada datang.
Semua yang dilakukan Nada selalu salah di mata sang mertua. Pandu selalu tutup mata, dia tidak pernah membela istrinya.
Setelah kelahiran putrinya, rumah tangga mereka semakin memanas. Hingga Nada ingin menyerah.
Akankah rumah tangga mereka langgeng? Atau justru akan berakhir di pengadilan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Budy alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
"Mbak, Nada," sapa Ayu adik Pandu yang baru saja memasuki rumahnya.
Ia berlari memeluk Nada dengan erat, Nada dan Ayu lumayan dekat. Meskipun, mereka jarang bertemu.
Nada memandang lekat suaminya, hatinya kesal karena sang suami selalu malakukan sesuatu tanpa berunding sama dirinya.
"Mbak Nada, kelihatanya tidak senang Ayu ke mari?" ujar Ayu ketika Nada tidak memberikan respon yang baik.
"Siapa bilang, Mbak Nada senang kok kamu di sini. Iya kan sayang?" Pandu mendelik ke Nada agar mengiyakan ucapannya.
Dia tidak mau adiknya merasa tidak nyaman, sehingga tidak kerasan untuk tinggal di rumahnya.
"Kamu ngomong apa? Mbak cuma kaget, kamu datang tidak kasih kabar," ujarnya sambil tersenyum manis.
"Ayu, Mas, anterin ke kamar kamu," katanya dengan menggandeng adiknya.
Sebisa mungkin Nada harus menerima semua keputusan yang diambil suaminya.
Nada bergegas mengambil tas dan kunci mobil, dia sudah terlambat menuju ke kantornya.
"Loh, Mbak, mau ke mana?" tanya Ayu yang sedang buru-buru karena sudah terlambat.
"Mau ke kantor, kamu kalau ada apa-apa bisa minta tolong bibi,ya," suruh Nada.
"Jangan khawatir, Mas di rumah kok," kata Pandu sembari mengacak-acak rambutnya.
Nada mengerutkan keningnya, "Kamu tidak kerja?"
Pertanyaan muncul di otaknya, kenapa suaminya itu mendadak tidak bekerja? Padahal hari ini buka hari libur atau tanggal merah.
"Aku ambil cuti, mau membatu mengurus keperluan Ayu di sini," katanya dengan merangkul Ayu.
"Terima kasih, ya, Mas," Ayu memeluk dan mencium Pandu.
Nada menganggukan kepala, ia mencium punggung tangan Pandu lalu berjalan meninggalkan kedua adik kakak itu.
Nada tidak habis pikir, suaminya begitu perhatian dengan adiknya. Padahal hanya hal kecil yang bisa dibantu dengan pembantu rumahnya.
Sedangkan dia yang meminta agar Pandu cuti menemani dia periksa ke dokter saja tidak mau. Berulang kali meminta pun hasilnya sama.
"Manyun aja pagi-pagi, ada apa?" tanya Sabrina sahabat karib Nada. Sekaligus sekretaris pribadinya.
Sabrina mengerutkan kening, menatap lekat wajah sahabatnya yang tampak kusut
Nada menaruh tas, lalu duduk di kursinya. "Sab, aku salah tidak sih berpikir kalau Mas Pandu itu hanya mencintai keluarganya?" keluh Nada.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Sabrina, ia menarik kursi lalu duduk di depan Nada. Dia siap mendengarkan curahan hati sahabatnya.
"Mas Pandu memperlakukan ibu dan adiknya bak ratu, sedangkan sama aku ... ?" Nada menghembuskan napas panjang enggan meneruskan kata-katanya.
Dia masih sakit hati saja kalau mengingat perlakuan sang suami. Dia memang perhatian, tapi perhatian dia itu jelas sekali perbedaanya.
"Kamu hanya cemburu saja kali, selama ini Pandu juga romantis sama kamu," ujar Sabrina, dilihat dari sisi luarnya, Pandu itu cowok idaman para gadis, tidak hanya ketampanannya tapi juga kesopanannya.
"Mungkin aku memang cemburu, orang hamil kan harusnya dikasih perhatian extra," katanya dengan mengerucutkan bibir.
Yah, semua orang melihat Pandu itu yang tampan dan perlakuannya sangat manis. Tapi, bagi Nada tidak berlaku bagi Nada saat ini.
Pernikahan yang sudah masuk satu tahun, merubah Pandu. Dia berubah sedikit lebih cuek, dan tak jarang Pandu sering marah-marah kepadanya.
Sabrina memegang kedua tangan Nada, "Mungkin kalian perlu liburan bersama deh. Quality time," saran Sabrina.
Sabrina mengusulkan mereka duduk berdua, bicarakan baik-baik permasalahan mereka.
...----------------...
"Assalamualaikum," Nada memberikan salam saat memasuki rumahnya.
Tidak ada jawaban, meskipun terdengar suara riuh di ruang keluarga.
"Assalamualaikum," Nada kembali memberikan salam, takutnya salam pertama tidak tedengar oleh Pandu dan Ayu. Mereka sedang asyik menonton tv dengan bercanda gurau.
"Sayang, sudah pulang?" katanya dengan melihat sekilas wajah istrinya. Ia masih terlalu asyik berpeluk cium dengan adik perempuanya.
"Iya," katanya sembari mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan suaminya. Namun, Pandu kembali mengabaikan sang istri.
"Mas, aku tuh cuma mau salim. Nggak bisa ya berhenti sebentar," katanya sembari menarik uluran tangannya kembali.
Ayu yang dari tadi tertawa renyah langsung diam seribu bahasa.
"Mas, Pandu sih, lihat Mbak Nada marah," katanya sambil melepas pelukan kakaknya.
Pandu berdiri lalu memberikan tanganya untuk dicium Nada. "Maaf, keasyikan main sama Ayu. Ya, kamu harap maklum kita sudah hampir setahun tidak ketemu." Pandu merangkul istrinya lalu memberikan kecupan di kening.
Nada mengangguk dengan senyun kecut di bibirnya, "Nada ke kamar dulu, ya," katanya sembari melepaskan rangkulan Pandu.
Pandu mengekor Nada memasuki ke kamarnya. Nada menatap lekat Pandu.
"Kamu kenapa?" tanya Nada sembari melepaskan jasnya sehingga menyisihkan kemejanya.
"Kamu tuh yang kenapa? Setiap hari marah-marah terus," kata Pandu sembari mendekati Nada.
Ia mengecup perut buncit Nada lalu kening Nada. Pandu memeluk istrinya yang beberapa hari ini terus uring-uringan tidak jelas menurutnya.
Nada membalas pelukan suaminya, "Mas, gimana kalau weekend besok kita jalan-jalan. Berdua," Nada menekankan jalan berdua agar Pandu tidak mengajak orang lain.
"Boleh, kita sudah lama tidak jalan berdua kan." Pandu menyetujui ajakan Nada.
Pandu ingin memperbaiki hubungan mereka yang beberapa hari ini menegang. Karena kehadiran ibunya, sehingga mereka berdua sering berdebat karena beda pendapat.
"Sayang, kita makan di luar yuk. Aku pingin banget makan berdua," ajak Nada. Dia sedang tidak ingin makan di rumah.
"Ok, kita ajak Ayu. Kamu buruan mandi aku kasih tahu adikku dulu," katanya bergegas keluar kamar.
Nada menyun, suaminya benar-benar tidak peka. Dia sudah mengatakan untuk berdua saja. Tapi, tak mendengarkannya.
Dengan terpaksa Nada pergi mengajak Ayu, dia harus terus tersenyum. Mesti hatinya kesal, sepanjang perjalanan mereka berdua asyik sendiri.
Nada selalu diabaikan ketika hendak bergabung dengan obrolan dan candaan dari Pandu dan Ayu.
"Mas, ayo, kita cari tempat yang enak dulu," kata Ayu sembari menggandeng lengan Pandu.
Sedangakan Nada dibiarkan jalan sendiri, "Tahu gini mendingan makan di rumah!" geramnya sembari menghentak-hentakkan kakinya.
Harusnya dia yang di gandeng tanganya, karena sudah hamil tua. Bukanya malah adiknya.
"Mbak, ayo duduk," kata Ayu.
Kesabaran Nada di kehamilan tuanya ini terud diuji, dia yang istri Pandu justru duduk di depannya. Sedangkan, Ayu duduk di samping Pandu. Dia bergelayutan, seperti hubungan yang tertukar.
"Makanan datang," kata Ayu sumringah.
Pandu mengambilkan nasi ke piring Ayu, "Mau ikan atau udang?" tanyanya.
"Udah," jawabnya dengan cepat.
"Mas, Ayu kan sudah besar bisa mengambil sendiri," kata Nada sembari mengambilkan nasi ke piring Pandu.
"Mas Pandu memang seperti ini Mbak, sweet banget kan," katanya tak tahu diri.
"Kamu bisa aja, buruan makan," kata Pandu yang juga tidak peka dengan ucapan sang istri.
Nada tak kunjung makan, dia justru melihat keseruan Pandu dan Ayu yang saling menyuapi. Layaknya lebih dari seorang adik dan kakak.
Dalam hati Nada mengeluh, "Ya Allah, boleh tidak aku cemburu sama mereka. Aku ini istrinya kenapa dia lebih mesra sama adiknya?"