“Kak, ada yang ingin saya omongin,” Alisha sengaja menunggu Arkana agar tak ada kesalahpahaman di kemudian hari. Biarlah dijalan ia sedikit ngebut agar tidak telat ikut ujian.
“Lain kali aja, aku ada meeting pagi-pagi. Lakukan saja apa yang menurutmu baik aku setuju,” Arkana tak sarapan dan hanya meminum juice yang disiapkan oleh bi Sona.
Kepoin yuk cerita seru mereka. Kisah Faisal Arkana Kaif dan Alisha Mahalini yang dikemas dalam kisah "CINTA BERBALUT EGO"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Roslaniar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CBE # 4 》》 TUNDUKKAN PANDANGANMU
Setelah Alisha berpamitan, pak Kiyai beserta kedua orang tua Alisha pun meninggalkan lokasi pesantren menuju rumah kediaman pak Kiyai dan bu Nyai. Tak ada yang bersuara hingga akhirnya mereka tiba di rumah utama.
“Kami langsung pamit agar bisa santai dalam perjalanan,” Pamit pak Ahmad pada sang sahabat. Kali ini pak Ahmad ingin menikmati perjalanan sembari menghibur sang istri.
“Tundalah satu jam atau tiga puluh menit, ada yang ingin aku bicarakan.” Wajah pak Kiyai Somad berubah serius membuat pak Ahmad heran. Biasanya sahabatnya tak seserius ini jika hanya mereka bertemu.
Pak Ahmad menatap mama Alice, pak Kiyai Somad dan bu Nyai yang sedang menunggu mereka secara bergantian. Bias kebingungan pada wajah pak Ahmad dan mama Alice terlihat dengan sangat jelas. Akhirnya pak Ahmad dan mama Alice menuruti keinginan sahabatnya.
Sementara itu di ruangan kelas pesantren terlihat para santriwati dengan antusias mengikuti materi yang diajarkan Arkana. Kecuali Alisha tentunya. Gadis itu justru asyik sendiri mengutak atik macbook miliknya, meskipun ia tetap mengikuti pelajaran Arkana. Awalnya Arkana mengira Alisha sangat tertarik dan fokus dengan materi yang ia ajarkan. Namun saat melihat ekspresi Alisha yang teramat serius justru mengundang kecurigaan seorang Arkana Kaif.
“Jangan melakukan hal aneh-aneh yang bisa membawa pengaruh buruk bagi santri yang lain.” Entah sejak kapan Arkana berdiri tepat didepan meja Alisha. Sontak saja gadis itu terlonjak kaget. Namun bukan Alisha jika akan gugup karena hal sepele itu.
“Bapak ngomong sama aku ?!” Alisha mengangkat kepalanya menatap Arkana. Perlakuan yang tak pernah dilakukan oleh santriwati di pesantren Al-Hasan.
“Tundukkan pandanganmu jika berbicara dengan pria yang bukan muhrim.” Datar dan dingin membuat yang lain tak berani bergerak.
“Oh astaga pak, itu gak sopan.” Alisha masih menatap Arkana dengan santai . Tak ada yang salah dengan berbicara sambil menatap lawan bicaranya. Semua manusia melakukan hal yang sama saat berbicara.
“Kamu harus membaca aturan pesantren hingga benar-benar paham.” Suara Arkana sudah mulai naik satu oktaf dan membuat para santriwati kesulitan bernapas. Tak ada yang berani membalas perkataan cucu pemilik pesantren Al-Hasan.
“Gak perlu pak, aku berada disini bukan untuk jangka waktu yang lama. Perjalananku masih sangat panjang, ada banyak hal yang belum kulakukan dan semua itu ada diluar sana.” Alisha berkata dengan penuh keyakinan. Sesuai perjanjian dengan sang papa, ia hanya akan berada di pesantren hingga menyadari kesalahannya. Perlahan Alisha memasukkan macbooknya kedalam tas yang tergeletak dikursi sampingnya yang kosong.
Keduanya terus saja berdebat hingga pria muda itu melupakan jika saat ini ia sedang mengajar dan para santriwati seolah sedang menonton tayangan live streaming sebuah sinetron.
Meskipun penasaran dengan benda yang kini berada di dalam tas Alisha namun Arkana berusaha menahan diri. Ia yakin jika suatu saat akan mengetahui apa yang disembunyikan oleh gadis yang berani menatapnya dengan tajam.
Jam pelajaran kini berakhir dan Arkana bergegas meninggalkan ruang kelas tersebut. Para santriwati pun mengikuti Arkana. Ruangan kelas tersebut kembali sunyi dan kini hanya tinggal Alisha. Tak ingin terkunci dalam ruangan yang akan menjadi tempat favoritnya, gadis itu sengaja membuka pintu lebar-lebar dan memilih duduk di depan pintu dengan macbook ditangannya.
Entah apa yang dicari oleh Alisha. Saking seriusnya, hampir saja ia melewatkan shalat ashar berjamaah. Beruntung lokasi mesjid pesantren tak jauh dari ruangan dimana ia berada sehingga suara toa mesjid terdengar sangat jelas. Alisha bergegas meninggalkan ruang kelas dan setengah berlari menuju kamarnya untuk mengambil mukenah dan sekaligus membersihkan diri. Kebiasaan Alisha jika keluar rumah harus mandi agar tak ada kuman yang menempel.
“Aĺishaa, sini ,,,”Tari berteriak kecil saat melihat teman sekamarnya baru saja memasuki mesjid dan tampak kebingungan mencari tempat. Maklum yang lain datang ke mesjid sebelum adzan berkumandang. Kebiasaan yang belum diketahui oleh Alisha.
Sambil tersenyum Alisha berjalan mendekati Tari yang duduk tak jauh dari pintu masuk mesjid. Mata para santriwati mengarah pada Alisha. Berbagai macam tatapan para santriwati namun Alisha tak memperdulikannya. Ia hanya fokus pada Tari dan berusaha memperbaiki diri seperti tujuan mama dan papanya mengirim dirinya ke pesantren.
“Mau langsung ke kamar atau jalan-jalan seputar pesantren putri dulu ? Kamu kan baru bergabung tentunya harus mengenal bagian-bagian pesantren putri,” Pesantren Al-Hasan memang tak sekaku pesantren pada umumnya. Ada jeda untuk sedikit bersantai buat para santri setelah selesai shalat Ashar. Tujuannya agar para santri tidak merasa tertekan dengan berbagai macam aturan yang kaku.
“Langsung ke kamar aja deh, aku lebih butuh istirahat daripada jalan-jalan,” Alisha berkata apa adanya. Ia tak ingin berpura-pura di depan Tari.
Sementara di rumah pak Kiyai Somad di dalam sebuah kamar, Arkana sedang mengutak atik macbooknya berusaha mencari riwayat sambungan internet pesantren. Arkana sudah mengatur agar hanya komputer pesantren yang berjumlah 20 buah yang bisa menyambung namun terlihat sebuah sambungan asing yang hingga kini masih aktif.
‘Siapa yang bisa memecahkan passwordku ? Apa mungkin gadis cerewet itu ? Tapi gak mungkin deh, modelnya aja gak meyakinkan,' Arkana terus bermonolog dengan tangan masih menari-nari diatas macbooknya.
Malam semakin kelam, bulan pun semakin memperlihatkan keangkuhannya atas berkuasanya pada sang malam. Mata Arkana pun semakin berat namun tujuan pria muda itu belum juga tercapai. Rasa penasaran yang masih menguasai seluruh sendi-sendinya akan tetapi mata dan tubuhnya tak lagi bisa diajak kompromi.
Perlahan Arkana membarinģkan tubuhnya. Sebesar apapun keingintahuannya tentang sesuatu apalagi yang menyangkut bidang yang ia geluti namun pria itu tetap sadar dan menomorsatukan kesehatannya.
Sedangkan di sebuah kamar yang panasnya mengalahkan panasnya lahar gunung merapi setidaknya itu menurut Alisha. Gadis itu sibuk dengan pekerjaan yang selama ini ia geluti tanpa sepengetahuan siapapun. Mumpung ada jaringan yang bisa ia pakai sepuasnya tanpa harus menggunakan miliknya. Memang betul yang dikatakan orang-orang bahwa apapun itu jika menikmati milik orang lain dengan gratis akan sangat menyenangkan dibanding milik sendiri apalagi jika harus berbayar.
Rupanya jiwa iseng yang dimiliki oleh Alisha tak bisa dihilangkan. Ia melupakan jika cerita dirinya hingga berakhir di pesantren adalah keisengannya yang keterlaluan dan merugikan orang lain. Alisha tak ingin menjadi anak manja dan hanya mengandalkan uang sang papa, meskipun sebagai anak tunggal dan bisa dipastikan jika semua yang dimiliki oleh kedua orang tuanya adalah miliknya namun pikiran gadis berusia 20 tahun itu sedikit berbeda.
Didikan Jonathan Smith telah membekas dalam dirinya. Wanita harus mandiri dan kuat agar tidak tergerus jaman. Jangan pernah mengandalkan harta orang tua jika ingin dipandang oleh masyarakat. Karena sekaya-kayanya seorang anak jika hanya warisan maka suatu saat semua itu akan hilang tak berbekas. Berbeda halnya jika harta dari hasil keringat sendiri.
cinta berbalut ego🤭🤭🤭🤭
walaupun kamu hebat kayak apapun tentu masih membutuhkan orang lain.terimalah dengan ikhlas Arkana.
itulah yg terbaik bagimu
sy suka dgn cerita2 nya.