Nadira Ghautiah hanyalah seorang gadis berhijab yang kesehariannya bekerja sebagai akuntan. Ia tak menyangka hidupnya akan berubah 180 derajat saat bertemu seorang pria yang dikejar-kejar pembunuh.
Situasi itu membawanya pada posisi rumit nan mencekam. Kejadian demi kejadian yang berbahaya terus mengikutinya. Demi keselamatan hidupnya, ia terjebak dalam pernikahan paksa dengan Arsenio Harrington, Sang Pewaris tunggal kerajaan bisnis Harrington.
Mampukah Nadira menerima kenyataan pernikahan yang jauh dari bayangannya dan menerima fakta bahwa suaminya adalah seorang pewaris yang dingin dengan masa lalu kelam.
Bagaimana kisah selanjutnya? Nantikan hanya di novel Cinta Sejati Sang Pewaris.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CSSP Ep. 04
"Nadiraaaa!" panggil seorang gadis saat Nadira berjalan di lobby menuju kantin perusahaan. Nadira menoleh, seorang perempuan berdiri di hadapannya.
"Lo di mana kemarin sore? Gue sudah di tempat yang Lo janjikan, sampai Gue tunggu satu jam lebih, tapi Lo gak datang. Di call juga gak dijawab. Ke mana Lo, ha?" cecarnya saat sudah bertemu dengan sosok yang diharapkannya sejak pagi.
Nadira menggigit lidahnya sendiri, saat ia merasa bersalah, ia sering melakukannya. "Sorry banget, ya, Lun. Kemarin ada urusan mendadak, sorry banget gak ngabarin Lo dulu," jawabnya seraya memberikan cengiran khas miliknya.
Luna, teman kantor sekaligus teman dekatnya itu mendecih, "Cih! Sok sibuk banget Lo? Untungnya Gue orang yang penyabar," ia menatap Nadira dari atas sampai bawah.
"Wih, setelan Lo baru kayaknya? Beli di store mana?" tanyanya, Nadira mendelik, tak mungkin kan kalau ia memberitahu temannya itu kalau setelan yang ia pakai sekarang, kemungkinan besar dari orang asing itu.
Melihat Nadira yang terdiam, Luna jadi gemas sendiri. "Nad?"
Nadira terperangah. "Eh, iya, Lun? Sorry Gue kepikiran sama advice atasan tadi."
"Kenapa lagi Lo? Dimarahin gara-gara laporan atau apa?" tebak Luna yang langsung diangguki Nadira. "Gue telat tadi" jawabnya singkat. Padahal bukan hanya masalah telat saja yang menjadi beban pikiran Nadira.
"Lho tumben banget telat, Nad? Ah, udahlah gak perlu terlalu dipikirin apalagi diambil hati, namanya juga hidup,"
"Bisa dijalani, gak bisa ya tinggal lari," ujar keduanya lalu tertawa bersama.
Hanya untuk beberapa saat Nadira tertawa, setelahnya ia kembali tertunduk. "Kalau kayak gini, Gue rasa masalahnya bukan cuma kantor doang, deh. Ada masalah apa, sih, Nad? Mau cerita gak?" tanya Luna sedikit khawatir.
Lama Nadira menatap Luna. "Lo masih belum sepenuhnya percaya sama Gue, ya, Nad?" Luna bersuara kembali, Nadira menggeleng keras. "Bukan itu, Lun. Masalahnya... " Nadira menjeda ucapannya.
"Ya, Gue memang ada masalah sedikit. Tapi, gimana, ya, Lun. Gue malu kalau harus cerita sama Lo, nanti Lo malah bilang Gue halu lagi," jelas Nadira agak pelan di akhir kalimat. Lain hal dengan Luna yang tertawa keras mendengar penjelasan Nadira.
"Ya ampun, Nad! Berapa tahun kita kenal? Dan Lo masih aja takut Gue ejek?" Nadira mendengus. "Huh, tuh kan! Belum apa-apa aja Lo udah ketawa keras, gitu. Ngeselin, deh!" protes Nadira.
"Sorry, deh. Kalau gitu gak perlu Lo ceritain. Gue ngerti, kok, tiap orang pasti punya privacy dan masalah hidup yang gak mau dibagi sama orang lain," Luna tampak menepuk pundak Nadira.
"Yang perlu Lo tahu, Nad. Lo bisa cerita apapun masalah Lo, Gue bakal setia buat jadi pendengar Lo. Okay, Nad?" lanjutnya lagi seraya tersenyum, Nadira pun turut tersenyum.
"Kantin, yuk! Minum kopi biar gak suntuk, nih" tawar Luna. "Yuk, tapi Lo yang bayar, kan?" canda Nadira, yang justru diangguki Luna. "Tagihannya bulan depan!" keduanya tertawa lalu melewati lorong untuk menuju kantin.
Beberapa karyawan yang mengenal keduanya saling menyapa keduanya ramah. Sudah 5 tahun Nadira dan Luna bekerja di perusahaan real estate di pusat kota ini, maka tak heran jika banyak karyawan yang mengenal keduanya.
Saat dua gadis itu tengah asyik berbincang sambil berjalan, tiba-tiba dari arah samping, seseorang menabrak Nadira keras. Membuat gadis itu terjatuh ke bawah dan mengaduh.
"Eh, sorry, ya, Gue gak lihat kalau ada kalian berdua" ujar seorang perempuan yang memakai rok sebatas lutut dan kemeja putih.
Luna membantu Nadira berdiri lalu siap adu mulut dengan seorang pegawai yang ia kenal sebagai Kiara dari divisi marketing. "Kiara, Lo punya mata, kan? Bisa gak Lo kalau jalan tuh lihat yang benar? Atau Lo buta, ha?!" sentak Luna.
Ia merasa tak terima saat ada yang semena-mena terhadap dia dan Nadira. "Ya Gue kan udah bilang maaf tadi, kok Lo malah marah, sih? Lagian yang Gue tabrak kan Nadira, kenapa malah Lo yang mencak-mencak?"
"Justru itu Gue --"
"Lun, enough. Tarik napas, gak perlu layani orang kayak dia," ujar Nadira berusaha menenangkan Luna yang tersulut emosi. Kiara memang suka mencari masalah dengannya. Nadira sendiri tak pernah ambil pusing, ia lebih memilih mengabaikan.
Menurutnya, berhadapan dengan orang semacam Kiara hanya akan menghabiskan waktu dan energinya. Dibanding ia menghabiskan energi dan waktunya yang berharga untuk Kiara, kebih baik abaikan saja.
"Tapi, Nad,-"
"Gak ada gunanya meladeni orang gak guna, Nad. Udah yuk, katanya mau ke kantin" tanpa menunggu respons Luna, gadis itu langsung menariknya pergi. Meninggalkan Kiara yang bersungut, sebal.
Tak lama, ia pun pergi dengan menghentakkan kakinya kasar.
Sedangkan di lantai atas, sepasang mata menatap kepergian Nadira dan Luna intens. "Cari tahu tentang dia," perintahnya sembari menunjuk ke arah gadis berhijab hitam, Nadira.
"Baik, Tuan"
salam kenal untuk author nya