Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Nara!
Sebenarnya, jam habis penginapan di hotel yang telah Arjuna sewa masih nanti malam pukul tujuh. Namun karena sudah tak kuasa menahan rindu serta khawatir pada Nara, Arjuna meminta izin untuk pulang ke rumah.
Walau sempat terjadi perdebatan antara dirinya dan sang Mama, pada akhirnya semua ikut pulang. Sepanjang perjalanan, Nadya tak pernah melepas genggaman tangan pada lengan Arjuna. Harusnya Arjuna merasa biasa saja karena Nadya adalah istrinya juga.
Namun, ada satu sudut di hatinya ingin menolak kehadiran Nadya. Apalagi jika mengingat malam panjang yang telah Arjuna lalui bersama Nadya semalam. Dia merasa telah menjadi suami yang sangat berdosa.
Di saat Nadya yang ada di bawah dekapannya, justru wajah Nara lah yang melintas dalam kepala. Arjuna sampai menangis ketika selesai sholat subuh, memohon ampunan karena sudah dzolim pada Nadya.
"Kamu kenapa, Mas? Capek karena semalam ya?" tanya Nadya tersenyum malu-malu.
Arjuna hanya membalas dengan sebuah senyuman lalu mengacak rambut Nadya yang tidak mengenakan hijab. Bukan. Lebih tepatnya belum. Nanti, Arjuna akan paksa Nadya untuk mengenakan hijab seperti Nara. Karena urusan dunia dan akhirat kedua istrinya, sudah menjadi tanggung jawab Arjuna.
Tidak berapa lama, mobil pun sampai di depan pekarangan rumah. Mata Arjuna langsung berbinar, menganggap jika Nara akan menyambut kepulangannya. Namun, harapan tinggal harapan ketika Arjuna hanya melihat Teh Arum yang sudah sigap di ambang pintu.
"Nara kemana, Teh?" tanya Arjuna yang membuat raut wajah Bu Azni mendadak kesal. Nadya yang kini berjalan di samping Arjuna, hanya bisa pasrah ketika pertautan tangannya terlepas begitu saja.
"Di kamar, Tuan. Sepertinya sedang sholat," jawab Teh Arum ramah.
Langsung saja hal itu membuat Arjuna berjalan dengan sedikit berlari menaiki anak tangga. Mengabaikan istri, ibu, adik, dan kakaknya yang tampak terperangah.
Dalam hati, Bu Azni mengutuk Nara yang masih saja mengalihkan dunia sang Putra. Beliau memang tidak suka dengan Nara yang berhijab dan sok ekslusif.
"Tidak apa-apa, Nad. Mama yakin, tidak berapa lama kamu yang akan jadi ratu di hati Arjuna," ucap Bu Azni sambil memeluk bahu menantu barunya.
Beta dan Antika ikut membenarkan ucapan sang Mama. "Benar. Apa lebihnya sih, dia. Heran aku. Sampai Arjuna bisa tergila-gila," sahut Antika ikut kesal.
"Pakai pelet kali," celetuk Beta yang mengundang tawa semua.
Nadya hanya tersenyum maklum menanggapi pembelaan ibu mertua dan ipar perempuannya. Sedangkan Teh Arum yang sedang wira-wiri membawa barang, hanya bisa mengelus dada. Tidak banyak yang bisa beliau lakukan.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
Nara baru saja selesai melakukan sholat ashar ketika mendengar gebrakan pada pintu kamar miliknya. "Nara! Buka!" teriak suara yang membuat berjenggit kaget.
"Astagfirullahalazim," gumam Nara sambil mengelus dadanya sendiri.
Ceklek.
"Lama banget sih!" ketus sang Ibu mertua yang hanya ditanggapi dengan anggukan datar oleh Nara.
"Kenapa, Ma?" tanya Nara langsung pada intinya.
Belum sempat Bu Azni menjawab, kedatangan Antika bersama Nadya, membuat kerutan di kening Nara semakin dalam. "Ini ada apa ya?" tanya Nara jengah.
"Karena Nadya sudah menjadi istri Arjuna, maka dia akan tinggal di rumah ini," ucap Bu Azni yang mendapat anggukan paham dari Nara.
"Lalu?"
"Mama meminta, kamu pindah kamar karena kamar ini lebih besar dari kamar lainnya. Nadya dan Arjuna adalah pengantin baru yang butuh kamar tidur luas. Jadi, kamar ini akan di tempati Nadya. Silahkan kemasi semua barang-barang kamu," ujar Bu Azni membuat Nara seperti kehabisan pasokan oksigen pada paru-parunya.
Baru beberapa jam Nadya tinggal bersama, dia mampu menggeser kamar miliknya. "Maaf, Ma. Itu tidak bisa. Aku istri pertamanya Mas Arjuna. Sudah seharusnya aku menempati kamar yang sejak dulu telah menjadi milikku," tolak Nara masih bersikap lembut.
Bu Azni menggeram kesal. "Mulai berani kamu ya sama Mama," kesal beliau hampir saja menampar Nara, tetapi urung ketika ada sebuah tangan yang menghalangi.
"Jangan seperti itu, Ma. Aku tidak masalah menggunakan kamar manapun. Hal itu tidak akan merubah statusku sebagai istri Mas Arjuna," ucap Nadya, seseorang yang mencekal lengan Bu Azni.
Nara sampai tidak percaya dengan pendengaran serta penglihatannya. Dia berpikir jika semua itu adalah ulah Nadya. Namun, Nara telah salah sangka.
Bu Azni segera menurunkan tangan. "Kamu bagaimana sih? Mama sedang berusaha memperjuangkan hak kamu." Beliau tentu sangat kesal dengan sikap menantu barunya yang justru lebih membela Nara.
"Nadya, kamu jangan mau kalah sama dia. Hati-hati. Dia itu pandai memainkan hati Arjuna," ucap Antika lalu pergi dari sana bersama Bu Azni.
Kini, tersisa Nara dan Nadya yang ada di sana. "Terimakasih," ucap Nara kepada Nadya.
"Sama-sama, Mbak. Boleh aku berbicara dengan Mbak Nara?" pinta Nadya tampak hati-hati.
Nara tampak ragu apakah harus memberikan waktu Nadya atau menolaknya. Dia berada di antara dua pilihan. Namun, pada akhirnya Nara mengangguk. "Silahkan masuk," titah Nara lembut sambil membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
Nara mengajak Nadya untuk duduk di double sofa yang terletak tidak jauh dari ranjang. Dia membiarkan Nadya menatap sekeliling lebih dulu sebelum memulai pembicaraan.
Namun, melihat Nadya yang masih diam, pada akhirnya Nara melontarkan sebuah tanya. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Nara langsung pada intinya.
Nadya menatap Nara lalu tersenyum. "Maaf, Mbak. Aku terlalu terpesona dengan desain kamar ini," ucap Nadya salah tingkah.
Nara mengangguk. "Kamar ini aku yang desain sendiri."
Nadya menampakkan raut terkejutnya. Mungkin dia mengira jika Arjuna lah yang mendesain kamar tersebut.
"Oh ya. Sebelumnya selamat atas pernikahan kamu dengan suamiku. Aku tidak tahu apa yang membuatmu rela menjadi istri kedua," ucap Nara sarkas.
"Karena aku mencintai Mas Arjuna sejak kecil, sejak Mas Arjuna dulu menjadi tetanggaku," jawab Nadya memberikan alasannya.
"Oh ya? Tetangga dimana?" tanya Nara cukup terkejut.
Nadya mengangguk. "Tidak jauh dari sini. Di sebuah perumahan elit juga. Namun, setelah Papa Mas Arjuna meninggal, seluruh keluarganya pindah," ungkap Nadya yang belum diketahui Nara sama sekali.
Nara berusaha untuk tidak terkejut. Dengan begitu, Nadya tidak akan besar kepala karena lebih tahu tentang masa lalu Arjuna.
"Maaf, Mbak jika aku sudah merebut suami Mbak Nara. Tetapi, aku tidak bisa melewatkan kesempatan baik ketika Mama Azni memintaku untuk menikahi Mas Arjuna. Aku sudah tidak peduli jika hanya menjadi istri kedua. Karena aku sudah terlanjur mencintai Mas Arjuna," jelas Nadya panjang lebar.
"Ralat. Kamu bukan merebut. Tetapi, sedang merendahkan diri karena menikahi laki-laki bersuami." Ucapan Nara tersebut, membuat wajah Nadya seketika merah padam.
"Nara!" pekik suara dari arah pintu yang membuat Nara terkejut bukan main. Ini kali pertama Arjuna membentak dirinya. Dunia Nara terasa berhenti detik itu juga.
"Nadya? Tolong keluar lebih dulu. Aku ingin berbicara dengan Nara," pinta Arjuna yang segera mendapat anggukan dari Nadya.
"Tolong tutup pintunya," ucap Arjuna lagi dan Nadya lagi-lagi menurut.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Mampir juga kesini yuk 👇👇...