Kinanti Amelia, remaja pintar yang terpaksa harus pindah sekolah karena mengikuti ayahnya.
Ia masuk ke sekolah terbaik dengan tingkat kenakalan remaja yang cukup tinggi.
Di sekolah barunya ia berusaha menghindari segala macam urusan dengan anak-anak nakal agar bisa lulus dan mendapatkan beasiswa. Namun takdir mempertemukan Kinanti dengan Bad Boy sekolah bernama Kalantara Aksa Yudhstira.
Berbekal rahasia Kinanti, Kalantara memaksa Kinanti untuk membantunya belajar agar tidak dipindahkan keluar negeri oleh orang tuanya.
Akankah Kala berhasil memaksa Kinan untuk membantunya?
Rahasia apa yang digunakan Kala agar Kinan mengikuti keinginanya?
ig: Naya_handa , fb: naya handa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naya_handa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi yang sibuk
Kesibukan pagi terlihat jelas di dalam rumah sederhana dengan cat dominan berwarna cream. Dua orang itu terlihat sibuk bersiap-siap karena harus segera berangkat. Kinanti masih harus menghabiskan segelas susu yang sudah disiapkan ayahnya serta mengunyah dengan cepat dua telor ceplok yang juga disiapkan Lukman.
Sementara itu Lukman masih berada di kamarnya, memakai kemeja dengan tergesa-gesa karena hari semakin siang.
“Ayah, apa setiap pagi kita harus berangkat sepagi ini?” Kinanti membawa sarapan sang ayah ke ruang tamu. Tempat terdekat dengan kamar Lukman.
“Nggak nak, kali ini aja. Katanya mau ada demo jadi kita harus lewat jalan protocol sebelum pendemo datang. Kalau terlambat sedikit saja, kita gak bisa lewat sama sekali. Kita harus mengambil jalur memutar dan sudah pasti akan kesiangan.”
Lukman baru selesai menyisir rambutnya yang mulai menipis, mungkin karena usianya yang sudah tidak muda lagi.
Ia duduk di kursi tamu dan meminum kopi hitam buatan putrinya. Roti bakarpun ia kunyah dengan cepat bersamaan dengan tablet multi vitamin yang rajin ia konsumsi setiap hari.
“Kenapa ayah gak bilang kalau mau ada demo. Tau gitu kan aku bangun lebih pagi.” Kinanti memakai sepatunya di anak tangga terakhir, ia begitu tergesa-gesa.
“Ayah baru ingat, itupun di kasih tau sama temen ayah. Mana ayah ada meeting pagi hari ini.” Lukman melihat jam di tangannya dan sudah semakin siang.
Ia segera menyuapkan roti bakar buatan Kinanti.
“Ayo kita berangkat. Sebentar lagi beberapa ruas jalan akan di tutup.” Kopi itu terpaksa hanya diminum setengahnya dan Lukman bergegas masuk ke mobil untuk menghangatkan mesin mobilnya.
“Iya ayah.” Kinanti mengikat tali sepatunya dengan cepat. Hah, harusnya ia memasangkan tali sepatu dari kemarin, bukan baru pagi ini.
Setelah siap, ia menyambar roti bakar sisa dan tasnya, berlari keluar rumah dan mengunci pintu. Sementara di mulutnya masih ada potongan roti bakar yang akan ia habiskan.
“Kebiasaan, makan sambil jalan.” Protes Lukman saat Kinanti masuk ke dalam mobil dan duduk disampinya. Roti bakar itu masih ada di mulut putrinya dan belum selesai di makan.
“Gag kegugu.” Ucapnya tidak jelas. Melihat Lukman yang menatapnya, Kinanti segera mengambil alih roti di mulutnya dan tersenyum kecil.
“Maaf ayah, gak keburu.” Ia mengulangi kalimatnya.
“Biasakan, telen dulu, baru ngomong. Apalagi Kinan anak perempuan. Harus menjaga etika dan sopan santun.” Lukman masih memberi pesan sambil memarkirkan mobilnya keluar dari halaman yang tidak terlalu luas.
“Iya ayah. Tapi ayah juga jangan lupa, nanti rapihkan kerah baju ayah yang masih berdiri sebelah. Jangan sampe di kira habis maling ayam.” Kinanti balas mengingatkan.
“Nakal kamu.” Lukman tersenyum mendengar ledekan putrinya. satu tangannya mengendalikan setir sementara tangan satunya merapikan kerah baju. Ia melihat penampilannya dari cermin visor di hadapannya.
"Udah, udah ganteng." Goda Kinanti yang membuat sang ayah terkekeh.
Perjalanan menuju sekolah Kinanti dimulai. Dalam kondisi jalanan lancar, harusnya bisa di tempuh hanya dengan waktu sekitar setengah jam saja. Lebih lama karena mereka masuk jalur one way dan harus berputar di bunderan. Bunderan ini yang tingkat kemacetannya paling tinggi.
“Yah, kenapa sih Kinan sekolahnya harus di sekolah itu? Kan kejauhan, yah. Lagian sekolah itu SPP nya mahal banget, lebih dari dua kali lipat di sekolah biasanya. Kinan liat bayang banget biaya lain yang harus di bayar apalagi di tahun akhir pembelajaran ini.” Protes Kinanti. Padahal ia melihat ada sekolah lain yang lebih dekat dengan rumahnya.
Semalam, Kinanti sudah mengecek biaya pendidikan di sana. Jumlah uang yang dibayarkan Lukman tidaklah sedikit untuk membayar satu tahun akhir sebelum ia lulus.
"Biaya sekolah di Jakarta memang gak murah. Apalagi sekolah swasta dan bertaraf internasional. Tapi tidak masalah selama itu bisa membuat putri ayah semakin berkembang dan meningkatkan pengetahuan Kinan di bidang pelajaran. Katanya banyak peluang untuk bisa di terima di perguruan tinggi terkenal. Sekolah itu juga di dukung oleh beberapa yayasan pendidikan yang besar."
"Lagi pula, sekolah itu rekomendasi dari guru Kinan di Bandung. Kinan banyak pindah-pindah sekolah, beberapa sekolah mungkin gak bisa nerima Kinan. Dan guru Kinan merekomendasikan sekolah itu dengan jaminan Kinan anak berprestasi dan bisa mengejar ketertinggalan. Dia sudah menghubungi kenalannya dan katanya bisa terima murid pindahan tahun akhir.” Terang Lukman apa adanya.
Kinanti mengangguk paham, walau sebenarnya ia masih tidak bisa terima.
“Di sekolah itu, banyak anak orang kaya. Katanya sih aman, gak ada pembulyan dan sebagainya. Tapi ayah tetep khawatir sama Kinan. Nanti, kalau ada yang ngebuly Kinan, baik itu secara fisik, psikis ataupun mental, Kinan bilang sama ayah. Ayah usahakan cari sekolah lain yang lebih baik lagi. Ayah gak mau anak ayah direndahkan oleh orang lain hanya karena mereka lebih berduit.” Ungkap Lukman dengan penuh kesungguhan.
“Ayah tenang aja, ayah kan tau siapa Kinan. Gak mungkin Kinan nerima gitu aja direndahkan sama orang lain. Ayah aja yang ngebesarin Kinan gak pernah ngebentak Kinan apalagi mukul Kinan, masa orang lain Kinan biarin ngelakuin hal jahat sama Kinan.” Tekad Kinan dengan meyakinkan.
“Bagus, itu baru anak ayah. Bagaimanapun, gak boleh ada yang ngerendahin anak ayah. Atau melecehkan Kinan.” Timpal Lukman dengan penuh kesungguhan.
Kinanti hanya tersenyum mendengar pesan dari sang ayah. Ia selalu berusaha terlihat kuat dan berani di hadapan Lukman. Karena ia tidak mau Lukman terlalu mencemaskannya.
Lampu merah menyala terang dan mobil Lukman pun terpaksa berhenti bersama kendaraan lainnya. Kinanti memperhatikan jalan disekitaran yang ia lewati. Ia mencoba menghafalnya agar saat ia harus berangkat dan pulang sendiri, ia tidak tersesat. Ia mencatat kendaraan umum apa saja yang melewati jalanan ini.
Tanpa sengaja, pandangannya terhenti pada seorang pengendara motor yang berada di barisan paling depan. Celah antar kendaraan di depannya yang cukup renggang, membuat Kinanti bisa melihat plat nomor motor tersebut. Entah mengapa ia merasa cukup familiar dengan flat nomor itu. Entah dimana ia pernah melihatnya.
“Nanti sore, Kinan jangan pulang terlalu sore ya. Takutnya ayah pulang terlambat karena ini hari pertama kerja. Jadi Kinan usahakan pulang siang, supaya masih banyak kendaraan umum.”
Pesan Lukman membuyarkan pikiran Kinanti.
“Iya ayah.” Sahutnya sambil tetap memperhatikan motor yang lurus dengan barisan duduknya.
Lampu lalu lintas kembali hijau dan motor itu sudah melaju dengan cepat, meninggalkan ia yang masih harus berbagi jalanan dengan pengendara lain. Di benaknya ia msih berpikir,
"Dimana aku pernah melihat motor itu?" gumam Kinan.
Ia iseng mencatat plat nomor itu di buku catatannya. Mungkin saja ia akan memerlukannya suatu waktu nanti.
****