Amrita Blanco merupakan gadis bangsawan dari tanah perkebunan Lunah milik keluarganya yang sedang bermasalah sebab ayahnya Blanco Frederick akan menjualnya kepada orang lain.
Blanco berniat menjual aset perkebunan Lunah kepada seorang pengusaha estate karena dia sedang mengalami masalah ekonomi yang sulit sehingga dia akan menjual tanah perkebunannya.
Hanya saja pengusaha itu lebih tertarik pada Amrita Blanco dan menginginkan adanya pernikahan dengan syarat dia akan membantu tanah perkebunan Lunah dan membelinya jika pernikahannya berjalan tiga bulan dengan Amrita Blanco.
Blanco terpaksa menyetujuinya dan memenuhi permintaan sang pengusaha kaya raya itu dengan menikahkan Amrita Blanco dan pengusaha itu.
Namun pengusaha estate itu terkenal dingin dan berhati kejam bahkan dia sangat misterius. Mampukah Amrita Blanco menjalani pernikahan paksa ini dengan pengusaha itu dan menyelamatkan tanah perkebunannya dari kebangkrutan.
Mari simak kisah ceritanya di setiap babnya, ya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Kecewa
Sepiring truffle tersedia di meja makan, Amrita melirik sebentar ke arah piring di depannya.
Kenapa hanya ada satu truffle...
Amrita belum menyadari cara makan Denzzel karena di sendiri sibuk menyantap makanannya.
Bukannya semua wajah Denzzel tertutup rapat oleh kain dan hanya menyisakan kedua mata.
Amrita diam-diam memperhatikan Denzzel yang sibuk menutupi mulutnya dengan tangan setiap dia memasukkan minuman ke dalam mulutnya.
Sedari tadi Amrita melewatkan cara makan Denzzel tanpa dia sadari sepiring daging domba telah habis oleh sang pengusaha.
Amrita tidak mengerti dengan kebiasaan Denzzel yang memakai kain penutup wajah bahkan di hari pernikahan mereka, dia juga tidak melepaskan kain itu.
Tampak Denzzel agak kesulitan ketika memasukkan sedotan minumannya karena dia harus menutupi mulutnya dengan tangan yang juga memakai sarung tangan.
Semua penampilan Denzzel serba tertutupi oleh kain, mulai dari ujung kepala hingga ujung kakinya.
Luar biasa..., sulit dibayangkan ada manusia seperti dia, Denzzel Lambert...
Amrita berkata dalam hatinya setiap dia melihat penampilan Denzzel yang menjadi suaminya kini.
"Kenapa begitu susahnya caramu makan dan minum, tidak bisakah kau melepaskan semua penutup di wajahmu di depanku ?" tanya Amrita yang mulai kehilangan kesabarannya.
"Apa ?" sahut Denzzel seraya menutup mulutnya kembali dengan kain.
"Apa semua ini telah menjadi kebiasaanmu dan harus berpenampilan seaneh itu ?" tanya Amrita gemas.
Amrita mencoba meraih kain penutup dari wajah suaminya, bermaksud melepaskannya.
Namun Denzzel segera menahan laju tangan istrinya dari arah wajahnya dengan memegangi tangan Amrita.
"Biarkan aku melihatmu !" kata Amrita.
"Tidak !" tolak Denzzel.
"Mengapa ?" tanya Amrita seraya memiringkan kepalanya.
"Tidak tetaplah tidak, Amrita", sahut Denzzel.
"Bukankah aku adalah istrimu ?" tanya Amrita.
"Benar, kau adalah istriku sekarang", sahut Denzzel seraya menjauhkan tangan Amrita dari wajahnya pelan-pelan.
"Dan kenapa aku dilarang melihat wajahmu, Denzzel ?" tanya Amrita penasaran.
"Rahasia...", sahut Denzzel seraya menundukkan pandangannya.
"Rahasia ??? Apa maksudmu itu ???" tanya Amrita tak mengerti dengan maksud ucapan Denzzel.
"Sesuatu rahasia harus ditutupi apapun itu alasannya, tetaplah menjadi rahasia dan itu adalah mutlak", sahut Denzzel.
Denzzel berusaha tegas terhadap Amrita tentang masalah privasi dirinya yang memang dia tidak ingin Amrita mengetahuinya.
"Bukannya aku ini istrimu ?!" kata Amrita.
"Ya, memang benar, kau adalah istriku tapi privasi tetaplah privasi dan kau harus menghormatinya", ucap Denzzel bersikeras pada prinsipnya.
Amrita terlihat kesal dengan sikap keras Denzzel.
"Baiklah, terserah padamu saja...", sahut Amrita seraya meletakkan alat makannya dengan asal.
"Kau akan kemana ?" tanya Denzzel.
"Pulang !" sahut Amrita.
Amrita beranjak bangun dari kursi makan lalu berdiri di dekat meja makan seraya menatap serius ke arah Denzzel.
"Semoga kau senang", ucapnya lalu berjalan.
Denzzel melihat ke arah Amrita yang kesulitan dengan gaun pengantinnya hanya terdiam saja.
"Amrita...", panggilnya.
"Ya...", sahut Amrita seraya memutar badannya ke arah Denzzel.
"Kau akan pulang kemana ?" tanya Denzzel.
"Bukankah aku sudah tidak ada kepentingan lagi denganmu, bagaimana aku bisa hidup dengan seorang suami yang wajahnya saja aku tidak tahu", sahut Amrita.
''Dari awal bukannya kau telah setuju dengan yang satu ini", kata Denzzel.
"Kukira kau akan berubah lain setelah pernikahan kita, dan akan memperlihatkan wajahmu kepadaku", ucap Amrita.
"Tidak, aku tidak pernah mengatakan hal itu padamu sejak awal", kata Denzzel.
"Seharusnya aku tidak menerima tawaran pernikahan ini", ucap Amrita.
"Kenapa ?" tanyanya.
"Kenapa katamu ?" sahut Amrita.
"Ya...", kata Denzzel berpura-pura tak mengerti.
"Terserah padamu saja", ucap Amrita lalu berjalan kembali.
"Amrita tunggu !" panggil Denzzel.
Amrita menghentikan langkahnya dan terdiam mematung.
"Amrita...", panggil Denzzel.
Amrita tidak menjawab panggilan Amrita dan hanya membisu diam.
"Amrita !" panggilnya lagi.
"Apa ?" sahut Amrita tanpa menoleh.
"Kau ingin mempertahankan tanah perkebunan Luhan menjadi milik keluargamu kan", kata Denzzel.
Amrita menoleh ke arah Denzzel lalu menatapnya tajam.
"Tidak, sama sekali tidak, aku hanya ingin menjualnya kepadamu", sahutnya serius.
"Tapi kau masih menginginkan tanah itu sebab itulah kau menikah denganku", kata Denzzel.
Amrita mendengus kesal, tidak sabaran kemudian berjalan mendekat ke arah meja makan.
Brak !
Amrita mendobrak meja makan dengan kerasnya seraya menatap lekat-lekat pria yang menjadi suaminya itu.
"Dengarkan aku baik-baik !" ucapnya tegas.
Denzzel terkejut kaget dengan sikap Amrita yang berubah berani.
"Y-ya...", sahutnya gugup.
"Dari awal bukannya anda yang meminta syarat padaku secara empat mata agar aku mau menerima menikah denganmu, tapi anda bersikap misterius seperti ini bahkan anda tidak mengijinkanku untuk melihat anda", kata Amrita.
Denzzel tertegun diam sembari menatap Amrita.
"Lantas untuk apa aku ada disisi anda jika anda menyimpan rahasia terhadap istri anda sendiri", kata Amrita.
Amrita membalas tatapan Denzzel dengan penuh keberanian.
"Karena aku menjaga privasiku...", kata Denzzel.
"Privasi ! Privasi ! Dan privasi yang selalu aku dengar darimu, Denzzel !" teriak Amrita.
Suara teriakan Amrita terdengar hingga ke arah tamu undangan yang hadir.
Semua orang langsung menoleh ke arah gazebo setelah mendengar suara Amrita dari sana.
Acara pesta pernikahan yang tadinya penuh kemeriahan mendadak berubah hening.
"Cukup ! Aku lelah !" ucap Amrita.
"Amrita...", panggil Denzzel.
Amrita berlari keluar dari gazebo dengan wajah sedih, sikapnya itu menarik simpati semua tamu undangan yang hadir disana.
Tampak Denzzel berlari mengejar Amrita dari gazebo.
"Amrita... !" kejar Denzzel.
Amrita tidak mendengarkan panggilan Denzzel, dia terus berlari dari area taman menuju kediaman sang pengusaha.
"Amrita..., tunggu, Amrita... !" panggil Denzzel seraya terus mengejar Amrita.
Semua orang melihat dua pengantin yang baru saja resmi menikah itu saling kejar-kejaran.
Pemandangan baru dari dua orang pengantin yang menarik perhatian semua mata.
Denzzel terus berlari mengejar Amrita yang tetap pergi tanpa menghiraukan panggilan suaminya itu.
"Amrita...", panggil Denzzel.
Denzzel menarik tangan Amrita agar istrinya iti berhenti berlari namun Amrita menepis tangan suaminya serta bersikeras meninggalkan area pesta pernikahan milik mereka berdua.
Amrita terus berlari pergi sedangkan kedua orang tua Amrita mengikuti kemana dua pengantin itu pergi.
Ayah Amrita yaitu Blanco Frederick langsung meminta maaf kepada Denzzel atas sikap kasar yang dilakukan oleh putrinya itu sedangkan Pamela mengejar Amrita.
"Mohon maaf atas kelancangan sikap putri kami dan tolong mengerti dia karena sejatinya, Amrita masih terlalu muda untuk menerima semua ini", kata Blanco memohon.
Denzzel terdiam sejenak seraya menghela nafasnya pelan lalu berkata.
"Aku paham dengan sikap Amrita, dan aku mengerti kenapa dia seperti itu", ucapnya.
"Biarkan kami yang menasehati Amrita supaya dia mau mendengarkanmu", kata Blanco.
"Ya, baiklah...", sahut Denzzel.
"Aku akan menemui Amrita dan memintanya kembali padamu lagi, semoga dia mau menerima nasehat kami", kata Blanco.
Denzzel hanya mengangguk pelan namun sorot matanya tampak sedih atas sikap Amrita.
"Aku pamit pergi dulu, permisi...", kata Blanco seraya pergi dari hadapan Denzzel Lambert.
Blanco berlari menyusul Pamela yang telah pergi terlebih dulu mengejar Amrita sedangkan Denzzel hanya terdiam saja sembari menatap ke arah perginya Amrita tadi.
Suasana pesta berubah hening seketika, tidak ada lagi suara musik yang menghibur disana.
Terlihat tamu undangan mulai berjalan pergi, meninggalkan area pesta yang belum berakhir.
Tamu-tamu itu menghampiri pengusaha estate, berpamitan pada Denzzel yang masih berdiam diri dengan kepergian Amrita dari acara pesta.
Tak ayal kejadian itu mengundang simpati semua tamu undangan terhadap nasib pernikahan Denzzel dan Amrita, tak sedikit dari mereka menyalami Denzzel supaya dia tetap kuat.