“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Suasana rumah Bu Rania malam ini terasa tegang. Lampu-lampu ruang tamu menyala terang, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar tenang.
“Belum juga pulang?” suara Bu Rania mulai gemetar, tangannya meremas ujung selendangnya.
Darrel baru saja menurunkan tas kerjanya, wajahnya terlihat muram dan lelah. “Belum
, Ma. Aku udah dua kali ke belakang kampus, tempat terakhir sinyal HP-nya muncul. Tapi Fio nggak ada. Aku kira dia pulang sendiri, makanya aku pulang ke rumah.”
“Coba kamu telpon temannya lagi,” pinta Pak Rendra sambil berdiri, nadanya tegas tapi matanya menyiratkan kekhawatiran yang sama.
“Udah, Pa. Teman-temannya juga nggak tahu. Mereka bilang terakhir lihat Fio waktu bubaran kelas sore.”
Bu Rania menutup mulutnya, nyaris menangis. “Ya Allah… anak itu kan polos banget. Jangan-jangan dia…”
“Ma, jangan berpiikir yang aneh-aneh dulu.” Darrel mencoba menenangkan, tapi nada suaranya goyah. Dia sendiri sudah menahan keresahan sejak sore.
Rafa, yang ikut datang untuk membantu berkata, “Saya sudah coba melacak lewat sistem, Tuan, tapi HP-nya sudah mati dari dua jam yang lalu. Lokasi terakhir memang di belakang kampus.”
“Kalau begitu, besok pagi kita cari lagi ke sana,” ujar Pak Rendra tegas. “Kita laporkan juga ke pihak keamanan kampus.”
Darrel hanya mengangguk. Tapi di dalam dadanya, perasaan cemas mulai menekan hebat. Entah kenapa bayangan wajah Fio dengan senyum konyol dan ledekannya terus muncul di kepalanya.
Setelah itu ia segera masuk ke kamar. Lalu bersih-bersih.
Setelah bersih-bersih, Darrel berjalan ke balkon, menatap langit malam yang mulai mendung, lalu berbisik lirih, “Fio… kamu di mana, sih?”
***
Malam ini terasa panjang.
Darrel terbaring di ranjangnya, tapi matanya sama sekali tak mau terpejam. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, wajah Fio kembali muncul — dengan senyum cerobohnya, dengan suara lembutnya yang sering menenangkan suasana rumah.
Jam di dinding berdetak lambat, membuat waktu terasa menyiksa. Sudah lewat tengah malam, tapi Fio belum juga ditemukan. Rafa belum memberi kabar baru, dan semua kemungkinan yang muncul di kepala Darrel justru membuatnya semakin cemas.
Ia bangkit, berjalan mondar-mandir di kamarnya. Napasnya berat. Di meja, ponselnya terus ia tatap — berharap tiba-tiba berdering, entah dari Fio, atau siapa pun yang memberi kabar baik. Tapi layar itu tetap hitam, sepi.
Darrel akhirnya keluar kamar, duduk di ruang tamu dengan wajah kusut.
Bu Rania juga masih terjaga, duduk di sofa dengan mata sembab.
“Belum bisa tidur, Nak?” tanyanya pelan.
Darrel menggeleng, menunduk. “Gak bisa, Ma. Rafa juga gak ada ngasih kabar.”
“HP-nya masih mati?”
“Iya. Masih. Terakhir sinyalnya masih berhenti di belakang gedung fakultas. Habis itu… hilang.”
Keheningan melingkupi ruangan. Hanya suara detak jam dan desahan napas yang terdengar.
Darrel menatap ke arah jendela yang gelap. “Aku takut, Ma… takut ada yang terjadi sama dia.”
Bu Rania menatap anaknya dengan mata berkaca-kaca, lalu menggenggam tangannya erat.
“Jangan berpikir buruk dulu, Nak. Mungkin Fio cuma ke tempat yang gak kita tahu. Dia anak baik.”
Darrel mengangguk pelan, tapi matanya tetap sayu.
Dalam hatinya, ia hanya bisa berdoa: Semoga besok aku menemukanmu, Fio. Dimanapun kamu, tolong baik-baik saja…
Malam semakin larut, hampir lewat pukul dua belas.
Namun Darrel tetap tidak bisa duduk diam. Rasa gelisah menyesakkan dadanya seperti ada yang mencekik dari dalam.
Ia mengambil kunci mobil, tanpa banyak bicara pada siapa pun, dan memacu kendaraannya menuju bekas kontrakan Fio — tempat yang dulu pernah jadi tempat gadis itu tinggal sebelum pindah ke rumah Bu Rania.
Jalanan sepi, hanya suara deru mesin dan lampu jalan yang temaram menemani. Setibanya di sana, kontrakan itu tampak gelap. Gerbangnya terkunci, halaman kecil di depan tampak penuh dedaunan kering yang ditiup angin malam.
Darrel turun dari mobil, langkahnya hati-hati. Ia mengetuk pagar beberapa kali, tapi tak ada jawaban.
“Permisi… Bu… Pak…”
Tak ada suara, hanya suara jangkrik dan tiupan angin yang membuat daun jendela berderit pelan.
Ia melangkah memutari sisi kontrakan, menyorotkan senter dari ponsel ke arah pintu dan jendela.
Masih sama. Sepi. Sepertinya kontrakan itu belum ada yang isi lagi..
Namun yang membuat dadanya makin sesak adalah — ada kesan seperti seseorang baru saja datang ke sana.
Di sudut teras, ia melihat bekas jejak kaki di debu, masih baru.
Dan di bawah jendela, ada sisa botol minum plastik yang ia kenali.
Darrel mengangkatnya pelan, melihat tulisan spidol di bagian tutup: “F” — inisial yang sering Fio tulis di barang-barangnya.
“Fio…” desisnya pelan, suara seraknya nyaris hilang dibawa angin.
Ia menghela napas berat, memandangi rumah itu lama.
Menurut catatan Bu Rania, Fio hanya satu kali datang lagi ke sini setelah pindah — dan itu pun baru beberapa hari sebelum ia menghilang. Waktu itu dia izin untuk mengembalikan barang pemilik kontrakan yang terbawa oleh Fio.
Darrel berjalan kembali ke mobilnya, namun perasaan aneh tak mau hilang.
Matanya sempat menangkap sesuatu di kejauhan — sekelebat bayangan seseorang di tikungan gang, tapi ketika ia mendekat, yang tersisa hanya keheningan dan jalanan kosong.
Dengan dada berdebar, ia akhirnya kembali ke mobil, menatap spion, lalu berbisik lirih,
“Aku tahu kamu pernah ke sini, Fio… tapi kenapa?”
Darrel belum berniat pulang.
Langit semakin pekat, lampu jalan hanya menyisakan cahaya temaram yang menimbulkan bayangan panjang di aspal basah. Gerimis baru saja turun, membuat tanah lembap yang menyesakkan dada. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang
***
Mobil Darrel melaju pelan, pikirannya tetap tidak tenang. Hingga tanpa sengaja, matanya menangkap sosok yang duduk di depan rumahnya — di pinggir trotoar, agak jauh dari gerbang utama tempat satpam berjaga.
Tubuh itu kecil, bersandar di tiang, dengan tas disampirkan di bahu dan rambut basah menempel di pipinya.
Darrel langsung menginjak rem.
“Fio…” suaranya tercekat. Ia keluar dari mobil tanpa pikir panjang, berlari mendekat.
Begitu jarak mereka tinggal beberapa langkah, Darrel berhenti, mencoba memastikan itu benar Fio — dan ya, itu dia.
Wajah Fio pucat, pandangannya kosong, tanpa senyum seperti biasanya. Matanya sembab, bibirnya kering.
“Fio!”
Tanpa banyak bicara, Darrel langsung memeluknya erat. Pelukannya spontan, seolah jika ia terlambat satu detik saja, Fio akan lenyap lagi.
Tubuh Fio dingin dan gemetar.
Darrel menegakkan tubuhnya, memegang kedua pipi Fio, menatapnya penuh cemas.
“Kamu dari mana aja, ha? Aku cari kamu ke mana-mana!” suaranya bergetar, nyaris marah tapi lebih banyak takutnya.
Fio diam.
Tak menjawab apa pun, hanya menunduk, memeluk lutut. Pandangannya kosong, seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu yang berat — bukan sekadar lelah.
Darrel memeriksa tubuhnya satu per satu, tangannya gemetar.
“Kamu jatuh? Ada yang nyakitin kamu?” tanyanya cepat sambil menyingkap sedikit lengan Fio, melihat ada bekas memar samar di sana.
Fio menarik tangannya pelan, menutupinya.
“Nggak apa-apa, aku cuma... mau pulang,” katanya lirih, hampir tak terdengar.
Darrel menatapnya lama.
Ia ingin marah, tapi tak sanggup. Melihat tatapan Fio yang hampa, yang biasanya penuh tawa dan canda — membuat dadanya terasa diremas.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Darrel melepas jasnya dan memakaikannya ke tubuh Fio.
“Udah. Masuk dulu, ya. Kita ngobrol di dalam.”
Fio tak melawan. Ia hanya mengangguk pelan dan membiarkan Darrel menggandeng tangannya menuju rumah.
Satpam di gerbang sempat menatap bingung, tapi Darrel hanya menggeleng singkat, memberi isyarat agar tak bertanya.
Begitu sampai di teras, Fio berhenti sejenak.
Langit di atas mereka benar-benar gelap, dan di matanya yang sayu, ada sesuatu — entah duka, entah ketakutan.
Darrel menatapnya lagi, dalam, lalu berbisik pelan,
“Kamu nggak sendiri, Fio. Apa pun yang terjadi, kamu aman sekarang.”
Begitu Darrel membuka pintu rumah, lampu ruang tamu langsung menyala terang.
Bu Rania yang sejak tadi mondar-mandir di ruang tamu sontak menoleh, matanya membesar begitu melihat siapa yang datang bersama Darrel.
“Fio…”
Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia segera berlari menghampiri, diikuti Pak Rendra yang juga terkejut.
“Fio, kamu dari mana, Nak?” Bu Rania langsung memeluk tubuh mungil itu erat-erat, seolah takut kehilangan lagi.
Tubuh Fio dingin, lemas, dan masih dengan tatapan kosong yang sama. Ia tidak membalas pelukan Bu Rania, hanya berdiri kaku di tempat.
“Nak, kamu membuat mama hampir gila, tahu nggak? Kami cari kamu ke mana-mana. Kamu ke mana aja, ha?” suara Bu Rania bergetar, setengah histeris, setengah lega.
Darrel menatap dari samping, masih dengan wajah murung. Ia tahu betul, ada sesuatu yang tidak beres.
Pak Rendra mendekat perlahan, menepuk bahu putranya pelan, lalu menatap Fio dengan lembut.
“Fio, Nak, kamu nggak apa-apa? Ada yang ganggu kamu?”
Fio tetap diam. Matanya menatap kosong ke lantai.
Bibirnya bergerak sedikit, seperti ingin bicara, tapi tak ada satu pun kata yang keluar.
Bu Rania semakin panik. Ia mengguncang bahu Fio pelan.
“Fio! Jawab mama, Nak. Kamu kenapa?”
Bersambung
ditunggu up nya
lira jg mencuri bhn skripsinya berarti mrk satu kampus dong ah bingung jg aku blom terlalu jelas masalahnya