Judul buku "Menikahi Calon Suami Kakakku".
Nesya dipaksa menjadi pengantin pengganti bagi sang kakak yang diam-diam telah mengandung benih dari pria lain. Demi menjaga nama baik keluarganya, Nesya bersedia mengalah.
Namun ternyata kehamilan sang kakak, Narra, ada campur tangan dari calon suaminya sendiri, Evan, berdasarkan dendam pribadi terhadap Narra.
Selain berhasil merancang kehamilan Narra dengan pria lain, Evan kini mengatur rencana untuk merusak hidup Nesya setelah resmi menikahinya.
Kesalahan apa yang pernah Narra lakukan kepada Evan?
Bagaimanakah nasib Nesya nantinya?
Baca terus sampai habis ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Beby_Rexy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
“A–apa maksudmu? Evan mengetahui tentang apa?” Narra mendadak gugup, nada bicara yang selama ini selalu terdengar percaya diri itu kini hilang seketika.
Nesya pun mendengus kesal, lalu menatap dengan tak percaya kepada sang kakak. “Kakak yang akan mengaku pada Evan atau harus aku yang mengadu kepadanya?” ancamnya.
Tubuh Narra menjadi bergetar, dia dan adiknya berdiri saling berhadapan di sisi kiri mobil miliknya. Nesya sendiri sampai tak jadi membeli baso ketika dia tak sengaja mengetahui fakta mengejutkan, bahwa ternyata dugaan Evan tentang keterlibatan Narra pada kematian Erwin memang benar adanya.
“Nesya, jangan gegabah. Ini tidak seperti yang kamu dengar, aku sama sekali tak terlibat dan aku bisa pastikan perkataanku benar,” ucap Narra, menunjukkan wajah seriusnya.
“Buktikan jika memang Kakak tidak terlibat, lalu semua yang kudengar tadi apa maksudnya? Kakak meminta uang kepada seseorang bernama Arjun, bukan? Aku tahu siapa Arjun, dia adalah pembunuh Kak Erwin yang sebenarnya!” Nesya berbicara dengan sangat pasti, padahal dirinya sendiri belum pernah melihat wajah Arjun sama sekali selain hanya mendengar suaranya saja. Akan tetapi, dia sangat yakin telah mendengar percakapan mengerikan antara Arjun dan Baskara kala itu.
Narra pun semakin di buat panik hingga kedua matanya membola. “Kamu bisa tahu darimana, Nesya? Apakah Evan yang mengatakannya padamu? Jadi dia sudah mengetahui siapa dalangnya?”
Nesya kembali mengerutkan kedua alisnya ketika melihat wajah Narra yang tampak seperti senang, membuatnya terheran-heran, padahal seharusnya kakaknya itu ketakutan karena Evan mengetahui siapa saja yang terlibat.
“Kakak terlihat senang.” Nesya bermaksud menyindir.
Ternyata saat itu Narra memang senang, dia bahkan menunjukkannya dengan senyuman di bibir tipisnya. Kedua kakinya melangkah mendekati Nesya, lalu ia memegangi kedua bahu adiknya dengan erat.
“Jika benar apa yang sudah kamu katakan itu, artinya aku sudah terbebas dari cengkraman mengerikan ini.”
Nesya semakin mengernyit dalam-dalam ketika mendengar ucapan ambigu dari kakaknya. “Apa maksudnya?” tanyanya heran.
Kedua mata dengan iris hitam milik Narra bergerak menatap bola mata Nesya, kekiri dan ke kanan saling bergantian. “Aku tidak pernah membunuh lelaki yang aku cintai, pada malam tragedi itu aku adalah saksi kuncinya sebab aku melihat sendiri apa yang mereka lakukan pada Erwin. Mereka bahkan berencana untuk menghabisiku juga, namun salah satu dari mereka memohon pada Arjun untuk mengampuni aku. Sebagai syarat agar aku mau tutup mulut maka Arjun memberikanku sejumlah uang yang cukup banyak setiap minggunya, sialnya aku malah menjadi ketergantungan dengan uang itu. Dan akhir-akhir ini, dia jadi mengurangi jumlah transfernya menjadi satu bulan sekali dan itu membuatku kesal.”
Mendengar pemaparan dari sang kakak yang malah seperti menikmati hasil dari kematian Erwin itu, Nesya malah menjadi jijik. “Apa kah Kakak sudah tidak waras?” rutuknya.
“Aku berbicara serius, Nesya. Jika aku tidak menurut, maka tak hanya aku yang akan mereka habisi, tapi kamu juga dan Ibu, apakah itu yang kamu inginkan?!”
***
Nesya masuk ke dalam kamar mandi kecil di dalam rumahnya, lalu duduk berjongkok diatas lantai semennya sambil merenung. Apa yang dia dengar sekaligus juga pengakuan dari Narra barusan, terus berputar-putar di kepalanya.
“Aku juga terpaksa mendekati Evan meski hatiku tetap untuk Erwin, itu semua ada tujuannya, yaitu demi melindungi diriku dari mereka. Aku berpikir, jika aku sudah menikah dengan Evan maka mereka pasti akan berhenti menerorku, mengenai uang itu aku tak bisa menolaknya sebab Arjun pasti mengira kalau aku akan buka mulut ke polisi. Tetapi ini seperti buah simalakama, menikahi Evan juga membahayakan aku karena membuat Arjun takut juga jika aku bisa saja buka mulut pada Evan, hanya saja bagiku kekuatan Evan pasti mampu melindungi aku. Sialnya, yang terjadi tidak seperti yang ku rencanakan, aku malah melakukan hal bodoh di malam itu. Jangan mengira bahwa aku bahagia mengganti posisi Erwin dengan adiknya, hidupku ini penuh tekanan, ketika Evan melamarku, itu membuatku merasa bersalah kepada Erwin sehingga aku stress dan berusaha menghibur diri ke klub malam.”
Memejamkan kedua mata, Nesya menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Hanya kamar mandi itu saja tempat yang paling aman di dalam rumah tersebut, agar Nesya bisa berpikir tanpa ada yang mengganggu dirinya. Nesya menangkup wajah dengan kedua tangannya, merasa kasihan juga pada kakaknya yang ternyata tidaklah sejahat yang dia kira.
“Benar kata Ibu, bahwa apa yang terjadi padaku adalah takdir dari Tuhan. Pernikahanku bersama Evan terjadi bukanlah karena kesalahan Kak Narra sepenuhnya, dia juga menderita karena rasa bersalahnya.”
Nesya teringat pada Evan, semua perkataan menyakitkan serta tuduhan dari lelaki itu kepada Narra terngiang kembali di telinganya.
“Huufth… sepertinya aku harus menemui Evan dan mengatakan semuanya, bahwa Kak Narra sedang dalam ancaman dari Arjun, bahkan mungkin juga Ayah Baskara.”
Dengan tekad dan juga niat baiknya, Nesya memutuskan untuk menemui Evan di perusahaannya, akan tetapi sesaat kemudian dia malah menjadi ragu.
“Tapi jika aku mengatakannya kepada Evan, itu pasti akan terdengar juga oleh Arjun, dan keselamatan kami akan terancam. Astaga aku sangat bingung harus seperti apa.”
Tiba-tiba Nesya teringat pada Farrel. “Benar sekali, sebaiknya aku temui Kak Farrel saja dulu.”
Setelah yakin pada rencananya itu, Nesya bergegas mandi lagi di siang hari itu lalu keluar dari dalam kamar mandi setelah selesai membersihkan dirinya.
Di luar kamar mandi itu, ada Kinan dan Bude yang sedang asyik mengobrol. Dua orang tua itu baru saja selesai membereskan masakan mereka. “Sayang, kok mandi lagi? kepanasan ya?” tanya Kinan, ketika melihat Nesya keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan selembar handuk yang melilit tubuhnya, serta ada handuk kecil lagi yang menutupi kepala putrinya tersebut.
“Tidak, Bu. Nesya hanya ingin mandi saja karena ingin jalan-jalan bersama Sifa,” sahut Nesya, menunjukkan senyumannya.
Kinan dan Bude pun tak ingin mencegahnya, mungkin jalan-jalan bisa memperbaiki suasana hati Nesya setelah dipulangkan oleh suaminya semalam, meskipun Nesya juga menginginkannya.
Nesya telah bersiap, mengenakan pakaian lamanya berupa kemeja dan celana jeans, dia tampak seperti remaja pada umumnya. Kulitnya yang putih bersih, rambut hitam panjang bergelombang dan terdapat poni kecil menambah kesan imut di wajahnya. Satu buah tas selempang miliknya satu-satunya itu sudah ia kenakan, lalu segera melangkah ke luar rumah karena Sifa sudah menunggu dirinya.
Sifa tersenyum melihat sahabatnya, wajah cantik Nesya berbeda dengan Narra meskipun mereka berdua bak pinang yang dibelah dua. Selain warna iris mata yang berbeda, wajah Nesya juga terkesan cantik alami, tidak seperti Narra yang gemar bersolek dan teradapat banyak jerawat kecil di kulit wajahnya.
“Kita mau pergi kemana? Makan baso?” tanya Sifa, karena Nesya belum mengatakan kemana tujuannya saat meminta ditemani oleh Sifa untuk keluar.
Nesya menggelengkan kepalanya lalu menjawab dengan berbisik, “Temani aku menemui Evan.”
Terkejut, Sifa sampai memekik pelan. “Apa kamu sudah jatuh cinta padanya?” balasnya berbisik.
Segera Nesya memukul pelan lengan Sifa dengan gemas. “Tidak, bodoh! Aku punya tujuan penting, ini menyangkut keluargaku. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan padanya, tetapi sepertinya tidak kepada Evan langsung.”
“Jadi bertemu siapa?” Sifa penasaran.
“Kak Farrel, dia asistennya Evan dan sangat baik padaku. Dan dia juga tampan, hehehe.” Nesya sengaja menggoda Sifa dan itu berhasil membuat sahabatnya langsung bersemangat.
“Apa kamu tahu dimana alamat kantornya?” tanya Sifa, saat dia dan Nesya sudah saling berjalan bersisian.
Nesya mengangguk pasti lalu menjawab, “Aku pernah melihat alamatnya di sebuah map yang ada di dalam kamar Evan. Aku juga pernah melihat gedung perusahaannya beberapa kali dan itu sangat tinggi.”
Mata Sifa langsung berbinar, khayalan pun segera muncul di kepalanya. “Kenalkan aku pada Kak Farrel ya, kalau dia masih jomblo maka aku akan menggodanya supaya bisa berpacaran dengan orang kaya, hahaha!”
“Dasar gila!”
***
Beberapa belas menit kemudian, Nesya dan Sifa sudah tiba di lobi perusahaan bertuliskan M Corp, dua gadis itu sedang merasakan degub jantung yang kencang, namun berbeda pemikiran. Nesya yang gugup karena takut bertemu dengan Evan, sedangkan Sifa malah bersemangat untuk bertemu dengan lelaki bernama Farrel.
Meski perasaannya campur aduk, namun Nesya sudah memantapkan hatinya, demi nama baik keluarganya dan juga ingin meminta perlindungan pada Evan melalui Farrel tentunya.
“Mari kita masuk,” ajak Nesya, yang langsung diiyakan oleh Sifa.
Keduanya pun masuk ke area lobi dan mendekati meja resepsionis, seorang lelaki berseragam rapi segera menyambut mereka.
“Ada yang bisa aku bantu, nona-nona?” sapa lelaki muda di bagian resepsionis tersebut.
Sifa langsung senyum-senyum senang karena dia itu sangat menyukai lelaki berpakaian rapi dan terkesan berpendidikan seperti itu.
“Aku ingin bertemu dengan Kak Farrel. Bisa tolong panggilkan dia? Namaku adalah Nesya Nadine, dia sangat mengenalku,” ucap Nesya, berdiri di sebelah Sifa yang masih mempertahankan senyumannya tersebut.
“Apa kah maksudnya adalah Tuan Farrel Sakti?” tanya lelaki itu, lalu melirik penampilan Nesya dari atas hingga kebawah, menurutnya sangat jarang sekali ada seorang gadis cantik datang mencari Farrel, karena biasanya selalu Evan yang terus di kelilingi oleh wanita-wanita. Selain itu, pakaian biasa yang dikenakan oleh Nesya dan Sifa juga memberikan penilaian kurang baik dari lelaki itu.
“Aku tidak tahu apa nama lengkapnya, karena aku hanya memanggilnya dengan nama Kak Farrel,” jawab Nesya, membuat tatapan lelaki itu kembali ke matanya.
“Sudah ku duga, paling juga mereka ini adalah pengamen yang tak sengaja pernah di bantu oleh Tuan Farrel. Datang kesini hanya untuk memeras lalu pergi ataukah sengaja ingin menjual diri? Ck!”
Melihat lelaki resepsionis itu hanya diam saja, Nesya pun menjadi tak sabar lalu menegurnya. “Bisa kah langsung panggilkan Kak Farrel? Sebut saja namaku dan dia pasti akan datang kemari.”
Lelaki itu pun mulai bergerak malas untuk meraih gagang teleponnya, berniat untuk menghubungi bagian sekretaris direktur, namun terhenti sebab melihat kedatangan bos besar yang baru keluar dari dalam lift transparant.
“Ah, kebetulan sekali, itu disana ada Tuan Farrel bersama dengan Tuan Muda. Kamu lihat saja kesana, itu pun jika kamu memang sudah mengenal yang mana Tuan Farrel.”
Nesya mengernyit menanggapi perkataan lelaki itu yang seperti tak percaya pada dirinya, namun begitu ia tetap menurut untuk menengokkan kepala ke arah yang di tunjuk oleh lelaki tersebut. Dan benar saja, di saat yang bersamaan, dari arah beberapa meter di depannya, tampak Evan yang berjalan dengan gagahnya, telah menatap dirinya dengan sangat tajam.
𝚜𝚞𝚊𝚖𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚖𝚋𝚒𝚜𝚗𝚒𝚜 𝚍𝚒 𝚒𝚖𝚋𝚊𝚗𝚐𝚒 𝚍𝚒𝚔𝚒𝚝 𝚌𝚎𝚠𝚛𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚍𝚒𝚔𝚒𝚝 𝚋𝚊𝚍𝚊𝚜 𝚝𝚑𝚞𝚛