Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 17
"Kamu kenapa marah-marah kepadaku, Zyan? Seakan-akan kamu bela dia, apa kamu suka dia?" Zira menatap wajah kekasihnya. "Aku tahu, kalau Livia jauh lebih cantik dibandingkan aku. Bahkan Livia anak orang kaya raya, jelas hidupmu jauh lebih baik bersamanya. Iyakan?"
Zyan mengusap wajahnya dengan kasar. "Terserah kamu berpikir yang aneh-aneh, Zira. Jangan sampai aku muak dengan perkataanmu, mengerti? Aku berniat untuk mendekati Livia, demi kehidupanku jauh lebih baik. Tidak dengan orang tuamu itu, sangat tidak suka denganku karena miskin!"
"Memangnya keluarga Livia mau menerimamu, hah? Ngaca dirimu siapa? Aku tidak segan-segan memberitahu Livia siapa kamu sebenarnya? Termasuk kematian Wulan, mengerti? Kamu cuman milikku seorang!" Zira menyunggingkan senyumannya.
Zyan mengepalkan tangannya dengan kuta, di mana kekasihnya mampu menekan dan mengancam. Ia tidak bisa bergerak saat ini, tapi menyusun rencana lain.
********
Livia membuka pintu tempat tinggalnya, berniat mau pergi ke kantor karena pekerjaannya. Tapi mengundurkan langkahnya, saat melihat siapa di depan pintu.
Seorang pria mengenakan kemeja putih dan celana hitam menemui Livia sepagi ini. Pria itu, menatap intens menatap wajah wanita di depannya.
"Sialan! Kenapa aku bertemu Alex sepagi ini?" batin Livia, mengalihkan pandangannya itu. "Ada apa? Aku urusan pekerjaan di kantor, bicaralah secepat mungkin."
Alex menyipitkan bola matanya, ternyata benar istrinya sudah berubah dan penampilannya juga. "Silahkan, kalau mau pergi bekerja. Aku menunggumu sampai selesai."
Livia menghembuskan napas beratnya. "Baiklah, aku pergi dulu."
Tanpa alasan lagi, Livia pergi meninggalkan suaminya di tempat tinggalnya itu. "Mungkin dia mengira aku tetap di sini, jangan harap aku ingin bersamamu. Tunggulah sampai malam nati," batinnya tersenyum smirk. Sudah waktunya mengerjai suaminya.
Alex memandangi punggung istrinya yang perlahan menjauh dari pintu. Jantungnya berdenyut perih setiap kali membayangkan Livia benar-benar meninggalkan di rumah ini.
Ia menyusuri ruangan demi ruangan, setiap sudut menyimpan bayangannya.
"Apa benar dia berubah?" gumam Alex pelan, lebih kepada diri sendiri daripada ruangan kosong ini. Tangan kasar ini mengusap wajah, mencoba melenyapkan kekacauan yang berputar dalam benak. "Dia jadi begitu dingin ... Apakah dia mau balas dendam? Atas apa? Apa aku yang salah?"
Detik pada jam dinding terus berdetak, mengiringi langkah Alex yang hampir tanpa tujuan. Akhirnya, ia memutuskan untuk membuat makan siang. Memotong sayur dan menyiapkan bumbu adalah caranya menyibukkan pikiran yang berputar tanpa jawaban.
Saat suara pintu terbuka, Alex segera menoleh, mendapati Livia berdiri di sana, menghadapnya dengan wajah yang datar. "Kamu ingin makan siang bersamaku?" tanyanya, mencoba terdengar ringan, meski sebenarnya jantung terasa berdetak lebih kencang.
Livia tidak langsung menjawab. Tatapannya melayang sebentar pada makanan di meja sebelum beralih pada suaminya. Ia memperhatikan suaminya, pria yang pernah ia puji sebagai kapten di lautan, dengan tubuh yang dulu dibanggakan. Namun, entah kenapa, merasa seperti bayangan tak lagi penting di matanya.
"Aku mau ambil berkas di sini," kata Livia akhirnya, suaranya datar, hampir tanpa emosi. "Setelah itu aku ada pertemuan dengan rekan bisnis. Mungkin aku makan siang di sana. Terima kasih atas tawaranmu."
Alex hanya mengangguk pelan, menyembunyikan kekecewaan di balik gerakan kecil itu. "Jam berapa kamu pulang?" tanyanya, lebih untuk memastikan ada celah kecil harapan dalam rutinitasnya.
"Mungkin jam delapan malam," jawab Livia singkat, tangannya sibuk memilah-milah berkas di meja, seolah waktu adalah satu-satunya hal yang berharga baginya sekarang.
Alex hanya memandangnya, mencari sesuatu di raut wajahnya—entah rasa iba, pengertian, atau apa pun yang bisa membuktikan bahwa ia masih peduli. Tapi, yang didapat hanyalah keheningan dan punggungnya yang perlahan menjauh lagi.
"Kalau kamu kelamaan menungguku pulang? Kita bisa berbicara lusa," suara Livia terdengar begitu datar sebelum dia berbalik meninggalkan suaminya.
Alex terdiam, sendok yang dipegang terasa berat, dan hasrat untuk melanjutkan makan hilang begitu saja. Ia mengambil minuman dingin dan meneguknya cepat, mencoba menenangkan pikiran yang berantakan. Namun, satu pertanyaan terus menghantui.
"Kenapa aku tidak merasa lega? Bukankah ini seharusnya yang aku inginkan—sedikit ruang, sedikit jeda?" Alex tidak sempat meresapi lebih jauh, ketika suara ibu mertuanya menyelusup ke dalam pikiran yang kusut.
"Kamu sudah merubah anakku jauh lebih baik, Alex. Aku sangat berterima kasih kepadamu. Karena kamu, dia bertambah dewasa," kata Dara dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Alex menatapnya tajam, napas sedikit tersengal oleh amarah yang mendidih. "Aku yang mengejarnya, Ma. Livia tetap menjadi istriku, bahkan sampai kapan pun. Kami tidak akan berpisah!"
Tapi Dara tidak goyah. Ia malah menghela napas panjang, nada suaranya berubah menjadi dingin dan menusuk. "Untuk apa kamu mempertahankan anakku, hah? Sedangkan kamu sudah menyakitinya terlalu dalam, Alex. Lepaskan anakku!" Kata-katanya seperti cambuk yang menghantam dada menantunya tanpa ampun.
"Menyakitinya? Ya, aku tahu itu benar. Tapi ... apa aku pantas disuruh melepaskannya? Jika aku menyerah sekarang, apa itu artinya aku gagal sebagai suaminya?" Namun, bagaimana caranya Alex membuktikan bahwa bisa memperbaiki semuanya, bahkan kesempatan pun tidak diberi kepadanya.
Alex menggeleng kepalanya. "Aku tidak akan melepaskan Livia, Ma. Pernikahan tetap bertahan seperti ini, jangan ikut campur dalam rumah tangga kami."
Dara mengepalkan tangannya dengan kuat sebelum berlalu pergi dari tempat itu. Di sudut bibirnya, ada senyuman kecil yang hampir tak terlihat. Apakah itu senyuman lega? Atau mungkin hanya kedok atas rasa sakit yang tak ingin ia perlihatkan?
Sementara itu, Alex mencoba menenangkan dirinya dengan duduk di kursi. Namun, hatinya berkecamuk. "Aaaaarrgghhh ... ak-aku harus menunggunya pulang," gumamnya, setengah frustasi.
Mata Alex terus terpaku pada jam dinding yang seolah bergerak lebih lambat dari biasanya. Langkah-langkahnya mondar-mandir, tak beraturan, mencerminkan kegelisahannya.
Hari sudah mulai gelap, tapi bayangan Livia masih belum muncul.
Kemudian, pintu depan perlahan terbuka lebar, dan di sana berdiri Livia dengan wajah yang begitu lelah. Ia berjalan masuk sambil membawa kantung makanan. "Apa kamu sudah makan? Aku membeli makanan untuk kita berdua," ucapnya dengan nada yang mencoba terdengar biasa saja.
"Aku yang akan siapkan. Bersihkan dirimu dulu, Via," ujar Alex dengan suara yang ia paksakan agar terdengar tenang.
Livia hanya mengangguk, terlalu lelah untuk banyak berkata-kata, lalu melangkah ke kamar mandi.
Beberapa menit berselang, Livia sudah kembali dan duduk di meja makan. Makanan yang telah disiapkan Alex tertata rapi di atas meja. Suasana hening menyelimuti mereka.
Livia makan dengan santai, menikmati hidangan sederhana di hadapannya. Namun, mata Alex tidak henti-hentinya memandanginya. Ada sesuatu dalam tatapan itu—ragu, takut, atau mungkin segumpal rasa tak terdefinisi yang menggantung di udara. Meskipun duduk di meja yang sama, rasa laparnya seperti tertelan oleh pusaran pikirannya sendiri.
Makanan di piring Alex hanya disentuh seadanya, ia bahkan memaksa dirinya untuk menelannya. Ketidaksenangan itu terus menguasainya. Napasnya berat saat ia memejamkan mata sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
"Via ..." Suara Alex lirih, hampir seperti bisikan. Ia membuka matanya, menatap langsung ke arah istrinya. "Aku ingin bertanya kepadamu."