"Berhenti gemetar Ana.. Aku bahkan belum menyentuhmu." Nada suara itu pelan, rendah, dan berbahaya membuat jantung Ana berdebar tak karuan. Pertemuan mereka seharusnya biasa saja, tapi karena seorang bocah kecil bernama Milo semuanya menjadi berubah drastis. Daniel Alvaro, pria misterius yang membuat jantung ana berdebar di tengah kerasnya hidup miliknya. Semakin Ana ingin menjauh, semakin Daniel menariknya masuk.Antara kehangatan Milo, sentuhan Daniel yang mengguncang, dan misteri yang terus menghantui, Ana sadar bahwa mungkin kedatangannya dalam hidup Daniel dan Milo bukanlah kebetulan,melainkan takdir yang sejak awal sudah direncanakan seseorang.
Bagaimana jadinya jika Ana ternyata mempunyai hubungan Darah dengan Milo?
apa yang akan terjadi jika yang sebenarnya Daniel dan Ana seseorang yang terikat janji suci pernikahan di masa lalu?
Siapa sebenarnya ibu dari Milo? apa hubungannya dengan Ana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNUR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pingsan
"Bajingan! " Teriak Daniel.
"Jika kalian berani menyakiti anakku, lihat saja apa yang akan aku lakukan pada atasanmu bodoh! "
Daniel memelintir tangan salah satu pria itu, membantingnya ke kap mobil. Dua pria lain menyerbu bersamaan. Nafas Daniel terengah, tapi matanya tetap tajam berusaha melindungi Milo adalah naluri paling primitif yang ia miliki.
“Apa kalian tidak punya harga diri hahh?” serunya sambil menepis pukulan dari salah satu pria. “ orang dewasa memburu seorang anak kecil!?”
Pria botak di depannya menyeringai dengan sinis.
“Kami hanya mengambil apa yang memang bukan milikmu, Daniel.”
Daniel menghantam wajah pria itu dengan keras. “Sialan kau!”
Dua pukulan diarahkan ke sisi kepala Daniel. Ia menunduk, menahan rasa berdenyut di pelipis. Darah menetes dari sudut bibirnya.
Pria tinggi bertato menghunus pisau. “Jangan melawan kalau kau tidak mau mati!”
Daniel bergeser ke samping, menendang lutut pria itu hingga terdengar bunyi retakan.
"Aghh." Pria itu jatuh menjerit. Pisaunya melayang, dan Daniel menahannya dengan kaki lalu menendangnya jauh.
Namun sebelum ia bisa menarik napas…
Tiga orang lain turun dari mobil van. Perawakan Mereka Lebih besar dan lengkap dengan senjata.
Daniel memijit rahang yang sudah memar, pelipisnya sudh berdenyut nyeri “Oke. Aku rasa Ini mulai keterlaluan.”
Sementara itu di sisi lain sopir Daniel, Pak Surya, menekan nomor cepat di ponselnya sambil bersembunyi di balik mobil.
“Halo, Lara! Cepat ke gerbang sekolah! Bos dalam bahaya!”
“On my way,” jawab suara wanita tegas itu.
Serangan datang dari kiri. Daniel mengangkat lengannya, menahan pukulan, tapi tinju lain menghantam perutnya dengan keras. Ia mundur beberapa langkah, ia sudah yakin akan kalah dalam pertarungan ini.
“Kalau kalian sentuh Milo…”
Suaranya menurun menjadi geraman.
“...kalian akan mati.”
Pria bertubuh besar menyeringai. “Anak itu dibawa atas perintah seseorang. Kamu cuma menghalangi saja! Dia memang bukan milikmu Tuan Daniel. "
Daniel melompat maju tanpa ragu, menghantamkan kepala ke wajah pria itu. Darah menyembur dari hidung lawannya. Dua lainnya menyerang dari kanan dan belakang.
Pukulan mendarat di punggung Daniel. Ia tersungkur setengah.
“Mereka… berani mengambil Milo dari ku? ” gumamnya sambil bangkit lagi.
Ia menepis tendangan, berputar, dan menghantam rahang salah satu hingga tubuhnya jatuh limbung.
Namun jumlah mereka terlalu banyak.
Salah satu pria mengayunkan kayu panjang ke arah kepala Daniel.
Brak!
Daniel terdorong ke mobil, nyaris jatuh. Sakitnya terasa semakin menusuk. Darah menetes dari pelipis.
“Ayolah… bertahan sedikit… aku harus segera temukan Milo…” batinnya.
Pria-pria itu maju bersama.
Tepat ketika Daniel hendak kehilangan keseimbangan tubuhnya terdengar Suara hentakan sepatu menggema.
“Apa kalian tidak lihat? Tuan Daniel sendirian. Sepuluh melawan satu. Cihhh Memalukan sekali. ”
Semua orang menoleh menatap ke arah sumber suara..
Seorang wanita berambut pendek, dengan tubuh ramping namun tegap, berdiri di ujung trotoar. Lara. Bodyguard Daniel.
Tatapannya dingin seperti belati.
“Kalian ingin saya bantu hitung? Sepuluh mayat untuk sepuluh dungu?”
Pria bertato mendengus. “cihhh.. Cuma satu cewek! Belagu. ”
Lara tersenyum tipis. “Coba saja.”
Ia melesat secepat angin.
Dalam beberapa detik, dua pria roboh. Satu ditendang ke dinding, satu dihantam siku di tenggorokan. Gerakannya rapi, namun mematikan.
Daniel berdiri lagi, berusaha menahan rasa sakit. “Kau telat, Lara.”
“Pak Surya lambat lapornya,” jawab Lara sambil memukul rahang musuh lain. “Lupakan itu, cari Milo. Saya akan bereskan mereka.”
Daniel mengangguk dan meninju pria yang menahan Lara dari samping.
Mereka berdua bertarung berdampingan, menghadang gelombang terakhir para pengejar.
Pria bertato berlari sambil berteriak: “KALIAN TAK AKAN BAWA ANAK ITU PERGI! ANAK ITU HARUS KAMI BAWA. "
Daniel menendangnya dengan keras di perut hingga pria itu terhempas beberapa meter.
Perlahan, semua telah tumbang. Entah pingsan atau tak bisa bergerak lagi.
Daniel berdiri terengah, tubuhnya penuh luka. Baju lusuh oleh keringat, darah menodai lengan dan wajahnya. Dadanya naik turun cepat.
Lara menghampiri. “Tuan Daniel, Anda terluka cukup parah.”
“Aku tidak peduli.” Daniel meraih ponselnya. “Milo di mana?”
Lara tahu, tak ada luka yang bisa mengalahkan kepanikan seorang ayah saat kehilangan anaknya.
“Apa jam GPS-nya masih terhubung?”
Daniel menekan beberapa tombol. Tangannya bergetar karena sakit.
Sebuah titik muncul di layar.
“Itu… gang belakang sekolah,” gumamnya.
Mata Daniel melebar.
“Milo…"
Tanpa memedulikan rasa perih di tubuhnya, ia langsung berlari.
Berharap putranya masih bernapas dan Masih hidup.
"Milik sayang bertahanlah. "
Ana duduk bersimpuh di lantai gang sempit itu. Tubuhnya menggigil. Napasnya pendek-pendek.
Kepalanya berdenyut begitu kuat sampai dunia terasa memutar.
Milo duduk di sampingnya, memeluk lutut dan menangis.
“Kak… Kakak jangan pingsan… tolong jangan tinggalin aku…”
Ana tersenyum lemah. Tangannya mengusap puncak kepala Milo meski gemetar.
“Kamu… aman kan? Kakak cuma… mau… istirahat sebentar… ya?”
Namun tubuhnya makin kehilangan kekuatan. Pandangannya semakin kabur.
Dari ujung gang, terdengar langkah cepat berat dan napas terengah.
Daniel.
Rambutnya berantakan, dengan baju berlumuran darah, wajah memar. Ia seperti binatang buas yang kehilangan anaknya.
Begitu melihat Milo, ia berteriak
“MILO!!”
Milo menoleh. “Ayah!”
Daniel berlari, lututnya menghantam tanah saat ia berjongkok memeluk Milo.
“Ya Tuhan… kamu nggak apa-apa? Kamu terluka!?” suaranya pecah, penuh panik.
“Aku baik-baik aja Ayah…” Milo mengusap pipinya.
Daniel memeluk Milo erat… hingga matanya melihat sosok Ana.
Gadis itu rebah setengah tersandar di dinding. Wajahnya pucat seperti tak lagi mengalirkan darah. Keringat dingin menetes dari pelipisnya.
Milo memegang tangan gadis itu erat.
“Kakak yang nolong aku… Ayah… dia—”
Namun sebelum Milo selesai bicara, Daniel sudah berdiri dan mendekat, rahangnya mengeras.
“Apa yang kau lakukan pada anakku?” suara Daniel tajam, rendah, penuh ancaman.
Ana tak mampu menjawab. Bibirnya kering. Pandangannya mulai buram.
Namun ia tetap mencoba bicara.
“Saya… tidak… apa-apa…”
“Kau pasti ikut orang-orang yang mengejar kami, kam!?” bentak Daniel.
“Kenapa Milo bisa sampai di sini!? Apa kau umpan mereka!?”
Ana menggeleng lemah. “Tidak… saya… saya cuma—”
Kepalanya terasa sangat berat, ia menumpukan tubuhnya pada dinding.
Milo panik. “Ayah, jangan! Kak Ana yang nolong aku! Dia bukan orang jahat! Ayah. ”
Daniel memelototi Milo. “Kamu pasti ketakutan. Kamu pasti di ancam. Kamu nggak ngerti apa-apa Milo ”
“Tapi beneran, Ayah! Kak Ana yang nolong aku! Kalau bukan dia… aku pasti ditangkap mereka!” Milo mulai menangis keras.
Daniel terdiam sejenak… tapi rasa takut membuatnya ragu untuk percaya.
Ana membuka mulut lagi, tapi suaranya hampir tak terdengar.
“Aku… hanya… menolong…”
Kepalanya akhirnya jatuh ke samping, tubuhnya limbung
Dan ia pingsan.
“A-ANA!!!” Milo berteriak.
Daniel spontan menangkap tubuh gadis itu sebelum ambruk ke lantai. Begitu tangannya menyentuh dahi Ana, ia terkejut.
“Dia panas sekali…” gumamnya.
Napas Ana memburu, tubuhnya gemetar hebat.
Milo menarik lengan ayahnya. “Ayah… tolong Kak Ana… dia sakit…”
Daniel menatap Milo. Mata Milo basah, penuh ketakutan.
“Ayah… Kak Ana nggak bohong… dia beneran nolong aku…”
Untuk pertama kalinya… Daniel diam.
Ia menatap gadis yang tak sadarkan diri itu.
Wajah yang pucat. Nafas lemah. Tubuh kecil gemetar parah.
Tidak. Ini bukan wajah seorang penjahat.
Daniel menutup mata sejenak. Mengembuskan napas kasar agar pikirannya jernih.
“Ayah salah… ya?”
Milo mengangguk sambil menangis.
Daniel mengehela napas panjang dan akhirnya berkata
“Baik. Kita tolong dia."
Di tengah gang sempit itu, Daniel melepas jaket Milo dan menyelimutkannya ke tubuh Ana. Lalu ia mengangkat gadis itu ke dalam gendongannya.
Ana terasa ringan terlalu ringan.
Seperti seseorang yang tak pernah mendapat perlindungan.
Daniel merapatkan pelukan agar tubuh Ana tidak jatuh, lalu menatap Milo.
“Ayo pulang.”
Milo menggenggam tangan ayahnya. “Ayah… jangan marah-marah lagi sama Kak Ana ya.”
Daniel menatap wajah Ana yang tak sadarkan diri.
“…Ayah tidak akan marah marah lagi.”
Dengan tubuh penuh luka, Daniel menggendong gadis asing itu gadis yang baru saja menyelamatkan nyawa anaknya.