Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangis yang Terkunci dan Getaran Hati
Pagi hari telah tiba, dan cahaya matahari yang hangat menyinari dapur. Aidan, CEO yang seharusnya sedang meninjau laporan keuangan, kini justru berdiri di depan kompor, memanaskan air untuk membuat teh herbal yang direkomendasikan Sherly dan menyiapkan sedikit bubur instan.
Rutinitas ini, yang ia jalani sejak Anita pingsan, terasa ganjil, namun kini ia melakukannya secara otomatis. Aidan tidak lagi mencoba merasionalisasikan nya. Ia hanya tahu, ada dorongan kuat yang memerintahnya: layani dia, pastikan dia pulih.
Dengan nampan di tangan teh, bubur, dan obat-obatan Aidan melangkah menuju kamar Anita.
Aidan membuka pintu kamar Anita. Langkahnya terhenti.
Ranjang itu kosong. Selimut sudah tersibak.
Rasa panik yang menusuk, yang familiar namun kini lebih intens, segera menusuk hati Aidan. Insting pertamanya adalah: Dia melarikan diri! Dia mencoba kabur dari utang!
Aidan segera meletakkan nampan di meja samping. Ia menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Tidak ada tas, tidak ada tanda-tanda pelarian. Anita tidak mungkin pergi jauh dalam kondisi selemah itu.
Matanya tertuju pada satu tempat: pintu kamar mandi, yang tertutup rapat.
Aidan berjalan cepat ke pintu itu.
"Anita?" panggil Aidan, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya, tercampur antara rasa marah karena gangguan dan ketakutan yang tidak mau ia akui. "Kamu di dalam?"
Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menyesakkan.
Aidan mendekatkan kepalanya, menempelkan telinganya pada panel kayu pintu kamar mandi. Ia menahan napas, mendengarkan.
Suara yang ia dengar bukanlah suara air mengalir atau suara batuk. Itu adalah suara yang pecah, lembut, hampir tidak terdengar, namun sangat jelas: suara tangisan.
Itu bukan tangisan histeris yang disertai teriakan, karena Anita tidak bisa berteriak. Itu adalah tangisan yang tertahan, teredam, dan putus asa. Suara itu adalah rintihan yang tercekik, diikuti oleh isakan yang pelan, terpotong-potong, dan sangat pribadi, seolah pemiliknya berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
Aidan kaget luar biasa. Ia tidak pernah mendengar Anita menangis seperti ini. Bahkan saat Kevin meninggal, air mata Anita mengalir dalam kesunyian yang dingin, yang ia tafsirkan sebagai kekejaman.
Tangisan yang ia dengar sekarang, yang tersembunyi di balik pintu kamar mandi, adalah tangisan keputusasaan yang rapuh, tangisan yang mengakui kekalahan total.
Suara itu menembus pertahanan Aidan seperti jarum es.
Rasa aneh itu kembali menyerang Aidan, lebih kuat dan lebih nyata daripada saat ia menyuapi Anita. Rasa itu adalah gabungan antara:
Rasa Iba yang Menyiksa: Iba yang murni terhadap penderitaan yang begitu mendalam, jauh dari fisik, dan tidak pantas ia saksikan.
Rasa Bersalah yang Mencekik: Pengakuan bahwa ia, Aidan, adalah arsitek dari penderitaan emosional ini. Tangisan itu adalah hasil dari misi balas dendamnya.
Ketidakberdayaan Total: Ia adalah CEO yang bisa mengendalikan pasar saham, tetapi ia tidak bisa menghentikan air mata wanita di balik pintu kayu yang rapuh itu.
Aidan berdiri tegak, menjauhkan telinganya dari pintu seolah-olah pintu itu memancarkan radiasi berbahaya. Wajahnya yang tegang kini dipenuhi kebingungan.
"Kenapa? Kenapa dia menangis? Dia sudah selamat! Dia hanya perlu istirahat. Kenapa dia tampak hancur seperti itu?." Aidan mencoba mencari alasan logis, tetapi yang ia temukan hanyalah kebenaran emosional yang ia tolak: Anita juga menderita.
Kebenciannya didasarkan pada asumsi bahwa Anita tidak peduli, bahwa Anita dingin dan kejam. Tangisan yang tersembunyi itu menghancurkan asumsi tersebut.
Aidan mengangkat tangan, hendak mengetuk pintu, hendak membuka dan menuntut penjelasan, atau mungkin... untuk melakukan sesuatu yang lembut seperti yang ia lakukan siang tadi.
Namun, ia tidak sanggup.
Membuka pintu itu berarti memaksa Anita untuk menghadapi pengekangan kawat di rahangnya, memaksa Anita untuk mengungkapkan kelemahan terbesarnya, dan memaksa Aidan untuk mengakui bahwa emosinya sendiri kini berada di luar kendali.
Aidan mundur perlahan. Ia tidak bisa menghadapi keputusasaan raw yang ia dengar.
Ia kembali ke sisi ranjang, mengambil nampan yang berisi bubur yang kini mendingin. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia tidak bisa memarahinya, karena ia tahu ia akan memicu tangisan itu lagi. Ia tidak bisa menghiburnya, karena ia tidak tahu bagaimana caranya.
Aidan berdiri terpaku di kamar kosong itu, sementara di balik pintu kamar mandi, tangisan tertahan Anita terus berlanjut, menjadi pengingat yang menyakitkan bahwa ia telah menciptakan neraka yang kini mengancam untuk menariknya juga.
Setengah jam yang terasa seperti selamanya telah berlalu. Selama itu, Aidan berdiri gelisah di kamar, mengabaikan nampan makanan yang mendingin. Ia mondar-mandir antara jendela dan ranjang, mencoba merangkai alasan logis untuk tangisan itu, tetapi hanya menemukan kekosongan.
Tepat saat kesabaran Aidan hampir habis dan ia hendak mengetuk pintu dengan marah, pintu kamar mandi terbuka perlahan.
Anita keluar. Wajahnya pucat dan rapuh, tetapi ia telah berusaha sekuat tenaga untuk merapikan diri. Ia mengenakan piyama bersih dan menyisir rambutnya yang lepek. Namun, ada satu hal yang tidak bisa ia sembunyikan.
Matanya bengkak luar biasa. Lingkaran merah mengelilingi mata lelahnya, dan ada sisa-sisa kelembaban yang berusaha ia seka. Itu adalah bukti nyata dari sesi tangisan yang teredam dan putus asa.
Anita terkejut. Ia tidak menyangka Aidan masih ada di sana. Ia mengira Aidan sudah pergi bekerja, atau setidaknya meninggalkan makanannya di meja.
Aidan langsung bereaksi. Rasa iba yang muncul saat ia mendengar tangisan itu seketika ia kubur lagi di bawah topeng yang dingin. Ia memasang wajah marah, kaku, dan tidak sabar.
Melihat mata bengkak itu, hati Aidan bergetar hebat karena campuran rasa bersalah dan amarah yang irasional. Ia marah pada Anita karena menunjukkan kelemahan itu, dan ia marah pada dirinya sendiri karena ia peduli.
Untuk menyembunyikan kekagetannya dan menutupi rasa bersalahnya, Aidan memilih jalan satu-satunya: dominasi yang dingin.
Aidan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya menunjuk tajam ke arah nampan di meja samping, di mana mangkuk bubur dan segelas air putih sudah menanti. Jari telunjuknya yang teracung adalah perintah yang mutlak: Makan. Sekarang.
Anita, mengerti bahasa tubuh Aidan yang mengancam, berjalan perlahan ke ranjang. Ia duduk bersandar di bantal, matanya menghindari tatapan Aidan. Ia tahu Aidan marah karena ia menangis, atau karena ia menghabiskan waktu terlalu lama di kamar mandi.
Anita melihat makanan itu. Ia tahu ia harus makan untuk pulih. Ia harus pulih agar Aidan bisa puas dan meninggalkannya.
Ia meraih sendok dan mangkuk, kali ini tangannya tidak bergetar sekuat kemarin, meskipun masih ada sedikit tremor.
"Terima kasih," bisik Anita, suaranya sangat parau dan serak, hasil dari tangisan yang teredam dan tenggorokan yang kering.
Meskipun hanya satu kata yang samar, kata itu menghantam Aidan. Itu adalah suara paling lemah yang pernah ia dengar dari Anita—suara seorang wanita yang benar-benar kelelahan dan terkuras.
Aidan tidak membalas. Ia hanya terus menatap. Dalam hati, ia merasa puas karena Anita patuh, tetapi kekacauan emosionalnya memuncak. Ia terpaksa mengakui betapa rapuhnya wanita di hadapannya.
Aidan mengambil keputusan yang tidak biasa. Ia tidak segera pergi.
Ia berjalan ke sofa kecil di sudut kamar tempat Sherly biasa duduk saat mengawasinya dan duduk di sana. Ia menyilangkan kaki, melipat tangannya di dada, dan menatap lurus ke arah Anita yang sedang menyuap bubur.
Kehadiran Aidan di ruangan itu terasa seperti beban yang menghakimi. Itu adalah bentuk pengawasan paksa, seolah ia takut jika ia meninggalkan ruangan, Anita akan menangis lagi atau mencoba bunuh diri, sehingga mengancam aset berharganya.
Anita merasa tidak nyaman. Disuapi oleh Aidan kemarin terasa canggung, tetapi setidaknya itu cepat selesai. Sekarang, disaksikan oleh Aidan setiap suapan, setiap gerakan menelan, terasa seperti interogasi.
Ia berusaha makan secepat mungkin. Ia meminum air putihnya untuk membantu melumasi tenggorokannya yang parau.
Aidan duduk, mengamati. Ia tidak memarahi, tidak mencaci, hanya melihat.
Saat ia melihat Anita kesulitan menelan, saat ia melihat Anita memaksakan diri meminum teh hangat, rasa iba yang terkubur itu kembali merayap, bercampur dengan rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu mengapa seorang wanita yang begitu kuat dan tegar bisa hancur sampai pada titik di mana ia harus menangis diam-diam di kamar mandi.
"Kenapa? Kenapa kau tidak berteriak? Kenapa kamu tidak melawan?."
Aidan tidak bisa memahami. Tangisan itu, kepatuhan ini, semua tidak sesuai dengan citra Anita sebagai pembunuh anaknya yang kejam.
Aidan tidak beranjak dari sofa sampai mangkuk bubur itu benar-benar kosong. Setelah Anita meletakkan sendok, Aidan bangkit, mengambil nampan itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ia kembali memasang wajah dinginnya. Tugas selesai. Ia harus pergi sebelum keintiman dan rasa iba aneh ini menariknya lebih jauh.
"Istirahat," kata Aidan, singkat dan tajam, sebelum berbalik dan meninggalkan kamar, menutup pintu dengan cepat, meninggalkan Anita sendirian dengan kebingungan dan kehangatan samar yang ditinggalkan oleh kehadiran yang dipaksakan itu.