NovelToon NovelToon
Reborn To Revenge

Reborn To Revenge

Status: tamat
Genre:Action / Tamat / Reinkarnasi / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Lynnshaa

Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30 - EVANNEA

Revan duduk sendiri di ruang meditasi kecil, dikelilingi oleh lampu-lampu gantung kuning temaram. Suasana hening. Di tangannya, dia memegang buku catatan lusuh yang pernah dia bawa saat SMP buku yang penuh dengan coretan dunia imajinasinya dulu. Halaman-halamannya mulai rapuh, sebagian robek, sebagian pudar. Tapi di dalamnya, ada impian masa kecil yang belum pernah benar-benar mati.

Revan menelusuri satu halaman, di mana dia pernah menggambar peta dunia imajinasi bernama "EVANNEA" tempat di mana setiap orang dianggap penting, bahkan orang yang paling aneh sekalipun.

“Kalau dunia ini terlalu sempit untuk orang seperti gue… maka suatu saat, gue akan ciptain dunia yang lebih luas.”

Kata-kata itu tertulis dengan pensil yang sudah hampir hilang, tapi maknanya terasa lebih kuat dari sebelumnya. Revan memejamkan mata sebentar.

“Gue janji... kalau gue bisa keluar hidup-hidup dari semua ini, gue bakal wujudkan dunia itu.”

Pintu ruang meditasi terbuka pelan. Emma masuk, tanpa berkata apa-apa, hanya duduk di sebelah Revan. Tak butuh kata. Hanya kehadiran.

Setelah beberapa menit diam, Emma berkata pelan, “Lo inget gak… saat kita pertama kali ketemu? Lo diem aja, muka lo pucet. Tapi ada satu hal yang gak pernah berubah sejak saat itu.”

Revan menoleh. “Apa?”

Emma menatap matanya. “Lo selalu punya sesuatu yang gak semua orang punya. Lo percaya pada dunia yang belum ada. Dan itu yang bikin lo berbeda.”

Revan tersenyum kecil. “Dulu gue benci jadi berbeda.”

“Sekarang?” tanya Emma.

Revan menatap buku lusuhnya lagi. “Sekarang… gue bersyukur gue pernah jadi anak aneh.”

...***...

Pintu markas dibuka lebar. Anggota-anggota tim taktis bayangan masuk satu-satu. Ada yang membawa peralatan, senjata, bahkan drone mini. Riko berdiri di tengah ruangan, memberikan briefing akhir. Suaranya keras, tegas, dan penuh determinasi.

“Target utama: pusat kendali Robert. Kita punya waktu maksimal 10 menit sebelum seluruh sistem backup-nya aktif. Revan akan masuk lebih dulu, didukung drone siluman dan jalur bawah tanah. Tim A dan Tim B akan nyerang dari dua sisi untuk narik perhatian.”

“Kalau Revan gagal?” tanya salah satu anggota yang kebetulan murid atlet MMA yaitu murid Riko.

“Kalau Revan gagal,” ucap Riko, suaranya tenang namun dalam, “maka semua ini selesai. Dan Robert menang.”

Revan berdiri, mengenakan seragam tempurnya penuh. Helm di tangan, chip di saku, dan satu hal yang tak terlihat oleh siapa pun: beban dunia di pundaknya.

Tapi dia gak gemetar. Dia gak takut. Karena kali ini… dia tahu siapa dirinya.

Dia bukan lagi Revan si anak culun yang lari ke perpustakaan buat ngumpet dari dunia. Dia bukan sekadar korban dari eksperimen masa lalu.

Dia adalah Revan—Subjek Z-07. Kunci menuju kebebasan umat manusia.

Dan saat semua orang mulai bergerak, suara speaker utama terdengar memenuhi seluruh markas:

“Operasi dimulai dalam 30 menit. Semua unit, ke posisi.”

Revan mengenakan helmnya, menatap ke arah Emma dan Riko untuk terakhir kalinya sebelum misi.

“Apapun yang terjadi,” kata Emma, “kita pulang bareng.”

Revan mengangguk.

Dan dengan langkah pasti, mereka pun berangkat—menuju pabrik tua di ujung dunia. Menuju medan perang terakhir. Menuju akhir dari segalanya… atau awal yang baru.

Lalu langit pun pecah.

Dan dunia menahan napas.

Petir menyambar langit malam. Angin kencang membuat debu-debu beterbangan di sekitar reruntuhan pabrik tua yang dulunya pabrik tekstil, sekarang jadi markas kelam Robert. Bangunannya menjulang, tapi penuh karat, retakan, dan kabel-kabel menjuntai dari berbagai sudut seperti sarang laba-laba mekanik.

Revan bergerak pelan di lorong bawah tanah, ditemani hanya cahaya biru dari chip pengakses di sarung tangannya. Drone siluman menyusuri jalur di depan, mengirimkan sinyal peta real-time ke helmnya.

Di telinganya, suara Emma terdengar dari komunikasi

“Kanan di lorong ketiga. Ada laser keamanan. Pakai mode bypass.”

Revan mengangguk kecil, meskipun mereka tak bisa melihatnya.

“Gue di jalur. Belum terdeteksi.”

Sementara itu, di sisi lain, Tim A dipimpin Riko sudah mulai bergerak ke arah pintu samping pabrik.

“Posisi di perimeter. Siap ledakkan pintu sekunder.”

Riko menyalakan detonator kecil di tangannya, menunggu hitungan mundur dari Emma.

“Dalam 3... 2... 1…”

BOOM!!

Sisi pabrik bergetar hebat. Tembok roboh. Asap mengepul. Puluhan drone penjaga langsung aktif, lampu merah berkedip dari atap dan dinding. Sirine terdengar.

Revan mempercepat langkah, menyelinap masuk saat kekacauan mulai terjadi. Chip di tangannya menyala lebih terang, menunjukkan jalur pintas menuju pusat kendali.

“Lo punya waktu 180 detik begitu masuk ke ruangan pusat. Ingat, Rev. Tiga menit.” Suara Emma terdengar tegas.

Lorong demi lorong ia lewati. Melewati dinding kawat listrik, lift rusak, hingga akhirnya sampai ke Pintu Pusat Kendali

Revan menarik napas dalam-dalam.

“Mulai pemutusan sistem dalam… 3 menit.”

Begitu dia mendekat, sarung tangan logamnya menyatu dengan sistem pintu. Chip aktif. Lampu hijau berkedip. Pintu terbuka perlahan.

Tapi…

Dua robot raksasa muncul dari sisi kanan dan kiri. Mata mereka merah terang.

Emma berteriak dari alat komunikasi.

“Revan! Mundur! Itu penjaga terakhir! Robert udah aktifin sistem final!”

Revan bergeming. Mata tajam.

“Gue gak mundur. Gue selesaikan ini.”

Dia lari ke depan—ke arah pusat kendali, melewati hujan peluru laser. Sarung tangan aktif menahan sebagian besar serangan. Satu ledakan kecil menghantam bahunya, tapi dia terus bergerak.

02:34… 02:18… 01:55…

Revan melompat ke konsol pusat, menempelkan chipnya ke dalam port utama. Layar hologram menyala, menampilkan wajah Robert Marvolo. Bukan wajah manusia… melainkan wajah digital artifisial yang senyumannya penuh ejekan.

“Z-07... akhirnya datang juga. Dunia ini milikku sekarang. Kamu hanya serpihan dari kegagalanku.”

“Mungkin,” balas Revan, “tapi serpihan kecil ini… cukup buat ngerobohin seluruh bangunanmu.”

Chip aktif. Sistem mulai rusak. Data corrupted.

01:10… 00:45…

Robert berteriak dalam suara glitch,

“KAU AKAN HANCUR BERSAMA AKU!”

Seluruh ruang pusat mulai meledak. Dinding runtuh. Ledakan kecil terjadi beruntun.

Emma berteriak,

“REVAN, KELUAR! SEKARANG!!”

Tapi Revan masih di konsol. Mata menatap ke layar. Tangan gemetar, tapi tak melepaskan chip.

00:18… 00:09…

BOOOOMMMMM!!!!!!

Cahaya putih menyilaukan meledak dari pusat kendali. Suara guntur, besi patah, dan ribuan sistem mati dalam sekejap. Api menyambar ke langit malam.

Tim penyelamat bergerak cepat, membongkar puing demi puing. Emma berdiri di ujung bangunan, matanya sembab, tapi tetap memegang harapan. Riko menggali bersama drone pencari.

Tiba-tiba…

“GERAKAN TERDETEKSI!”

Sebuah tangan muncul dari balik puing logam. Sarung tangan logam itu terbakar sebagian, tapi masih menyala.

Revan… muncul. Tubuhnya penuh luka, tapi hidup.

Emma lari menghampirinya. Riko langsung menarik Revan dari reruntuhan, memeluknya erat.

Revan tersenyum lemah.

“Belum selesai, Robert sudah kabur.”

Emma menunduk, menahan tangis, lalu memeluknya juga.

“Astaga... Gue masih bersyukur lo masih hidup, kalau lo gak hidup bisa-bisa gue bakal dimarahin sama mama lo”

Dan saat matahari pagi menyinari dunia yang tadinya kelam, bumi mulai bernapas kembali. Kota-kota yang sebelumnya dikendalikan sistem otomatis mulai pulih.

...***...

Dua minggu telah berlalu sejak ledakan di pusat kendali.

Langit kini biru tanpa bising mesin pengintai. Kota-kota yang dulu tertutup kabut sistem mulai terbuka. Manusia kembali ke jalanan, saling menyapa, saling membantu. Dunia perlahan pulih—bukan ke masa lalu, tapi menuju masa depan yang tak lagi dikendalikan mesin.

Di sebuah gedung sekolah yang dulunya markas bawah tanah, Revan duduk di kursi kayu tua di atap gedung. Luka-lukanya sudah mulai sembuh, walau beberapa bekas masih membekas di wajah dan tubuhnya. Angin berhembus pelan, membawa aroma debu dan bunga yang baru mekar.

Farel datang membawa dua botol minuman isotonik, melempar satu ke arah Revan.

“Lo bisa aja mati, tau gak,” katanya sambil duduk di samping.

Revan tertawa kecil, membuka tutup botolnya. “Gue juga kira gue mati waktu itu.”

Farel menatap ke bawah, melihat anak-anak kecil bermain di jalanan.

“Dunia sekarang… kayak awal cerita, ya?” gumamnya.

Revan mengangguk. “Tapi bukan cerita yang sama. Sekarang kita yang nulis ceritanya.”

Tak lama, Alisha muncul dari tangga, membawa map berisi laporan dari jaringan pemulihan.

“Lo kenapa ga cerita dari awal? Kita bisa bantu lo kalo gini.”

Revan dan Farel langsung saling pandang.

“Bener, seharusnya lo cerita ke kita” lanjut Farel cepat.

Alisha mengangguk. “Kenapa lo tiba-tiba ada hubungan sama Robert itu? Bentar, bukannya Rafa pernah ketemu sama si Robert itu?”

Revan berdiri, menatap langit.

“Apa tadi? Rafa? Oh iya gue jarang liat dia, dia gimana keadaannya?”

Alisha mendekat. “Gue tahu lo capek, Rev. Rafa udah keluar sekolah dari lama.”

Revan menatap kedua sahabatnya. “KOK GAK NGOMONG KE GUE?.”

Alisha dan Farel langsung terdiam. Angin di atap terasa lebih dingin dari biasanya. Revan menatap mereka dengan sorot bingung bercampur kecewa.

Alisha akhirnya bicara pelan, “Kita juga baru tahu dari guru minggu lalu. Katanya... Rafa sempat drop out diam-diam. Gak ada yang tahu pasti kenapa.”

Farel menambahkan, “Gue sempat liat dia beberapa bulan lalu, tapi dia kelihatan kayak orang yang gak pengen dikenalin. Kayak... misterius gitu.”

Revan mengernyit, “Rafa gak mungkin ngilang gitu aja. Dia tuh... satu-satunya orang yang ngerti betapa hancurnya kepala gue waktu dulu. Gue butuh dia. Gue pengen ketemu dia.”

Alisha ragu-ragu, tapi akhirnya menyerahkan map yang dibawanya. “Gue nemu ini di salah satu pos pemulihan. Data lama. Ada sinyal log dari ID biometrik milik Rafa… di zona utara. Di dekat reruntuhan fasilitas lama milik Robert.”

Revan membeku sejenak. Perlahan, ia mengambil map itu dan membuka isinya. Di sana, tercetak peta kabur dengan penanda merah kecil yang berkedip.

“Kenapa dia ada di sana…?” gumamnya.

Farel berdiri, menepuk bahu Revan. “Mungkin... dia gak pernah ninggalin kita. Mungkin dia masih berjuang, tapi sendirian.”

Revan mengepalkan tangan. Dunia boleh saja tenang sekarang. Tapi bagi dirinya, perang belum selesai.

“Gue harus ke sana. Gue harus temuin dia.”

Alisha menatapnya tajam. “Kalau lo pergi… lo harus siap. Zona utara itu belum stabil. Banyak sistem lama yang masih aktif, bahkan beberapa pos melaporkan hilangnya tim patroli.”

Revan menatap keduanya dengan penuh keyakinan.

“Kalau Rafa ada di sana, gue gak akan tinggal diam. Gue gak mau ada satu pun orang yang harus sendirian lagi.”

1
Jing Mingzhu5290
Cepatlah melengkapi imajinasi kami, author!
seongtaehoon: bab 7 akan segera update yaa! terimakasih atas dukungannya 🤍
total 1 replies
Yuzuru03
Gilaaa ceritanya!
seongtaehoon: terimakasih! 🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!