Malam "panas" antara Danar dan Luna, menjadi awal kisah mereka. Banyak rintangan serta tragedi yang harus mereka lalui. Masa lalu mereka yang kelam akankah menjadi batu sandungan terbesar? atau malah ada hamparan bukit berbatu lainnya yang terbentang sangat panjang hingga membuat mereka harus membuat sebuah keputusan besar dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Kunci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 08.
Angin kencang menerpa sekujur tubuh Luna, helaian rambutnya pun melayang mengikuti arus akibat sebuah kereta baru saja datang. Suara pengumuman untuk para penumpang pun terdengar jelas. Namun, perempuan muda itu tidak melakukan pergerakan sama sekali. Hingga seorang anak sekolah yang sedang tergesa - gesa tidak sengaja terjatuh dihadapan Luna karena tersandung. Perempuan manis itu tersentak dan seketika tersadar dengan sigap dibantunya murid itu, kemudian dia melihat kearah anak itu yang mengumbar senyum setelah ber terimakasih padanya. Barulah dia tersadar bahwa kereta yang selalu dia tumpangi akan segera berangkat dan dengan sedikit berlari perempuan agak kurus itu ikut masuk dalam lautan manusia yang berdesakan. Wajah lesu dan muram terlihat jelas yang disertai dengan tarikan napas lumayan panjangnya. Satu tangan Luna tergantung di penopang gerbong kereta sore itu, pikirannya melayang mengingat kejadian hari ini.
Siang hari...
Pinggang Luna masih dipegang oleh Danar dengan satu tangan lelaki itu berada di tembok untuk menopang tubuhnya sendiri juga untuk menghalangi pergerakan perempuan incarannya itu. Pandangan mata Luna yang awalnya bertaut dengan Danar, perlahan dialihkan ke posisinya berdiri.
"Boleh, pegangan Bapak dilepas dari tubuh saya?" tanya Luna yang melihat kearah tangan Danar yang memperlihatkan urat - urat lelaki itu.
Senyum miring terlihat sesaat dari Danar, lelaki muda itu sedikit menarik tubuh Luna agar posisi perempuan berambut kepang itu menjadi tegak. Satu tangan Danar kemudian masuk ke saku celana yang dikenakannya dengan wajah yang tidak lagi licik, dingin dan datar, lelaki itu sudah memposisikan tubuhnya ke keadaan lebih santai.
Sedangkan Luna memperbaiki pakaian juga mengusap puncak kepala, alih - alih membenahi helaian rambutnya. Suara berdeham terdengar satu kali dan pandangan cepat juga dilakukan perempuan muda itu secepat kilat, sebelum akhir dia mengeluarkan jawabannya,
"Jika, ini jika ya Pak. Saya setuju memenuhi permintaan Bapak, apa Bapak benar - benar yang mempekerjakan Ningning lagi dan tidak akan memberikan sanksi pada Ibu Rahma?" tanya Luna dengan sesekali mengalihkan pandangannya kearah lantai ruangan.
Danar kemudian kembali tersenyum miring dan tiba - tiba memutar tubuhnya, dia berjalan kearah meja lalu mengangkat telepon.
"Halo, Pak Nurdin? Pak, email saya soal surat pemberhentian atas nama Ningrum Melati Kusuma dan surat sanksi pasal 3 untuk Ibu Rahma Sari tolong dibatalkan. Untuk Ningrum tolong dipekerjakan di divisi akunting serta HRD dan surat kontrak baru untuk staf kebersihan atas nama Luna Saphira, draftnya akan saya berikan setelah makan siang...," jelas Danar memberi perintah sambil pandangannya terus mengarah ke Luna.
Perempuan muda itu sangat terkejut juga bahagia dengan semua yang di dengarnya langsung. Danar mengucapkan semua kata dalam kalimat dengan jelas dan lugas, setelah ditutup sambungan telepon itu, lelaki berponi koma itu kembali duduk diujung meja dengan kedua jemari yang terkait diatas pahanya, sangat santai dipandangi Luna sesaat.
"Te - terimakasih, Pak....," ucap Luna terbata.
Tawa kecil terdengar dari Danar dengan gelengan kepalanya, lalu dia mengambil selembar kertas dengan alas sebuah berkas tebal. dia menulis sesuatu agak lama. Luna sangat penasaran dengan kegiatan Sang Atasan, beberapa kali dia mencoba mengintip dengan sedikit mendongak - dongak kearah Danar yang berjarak cukup jauh darinya.
"Tanda tangan...," ucap Danar singkat sambil menyerahkan kertas yang sudah ditulisnya tadi masih dalam posisi duduk.
Luna perlahan mendekat dengan perasaan yang masih campur aduk. Diambil kertas beralaskan berkas tebal itu sambil melirik kearah Danar sesaat, kemudian dibaca dengan seksama. Pupilnya membesar dengan wajah terkejut, dilihat wajah Danar dengan ekspresi kembali ingin menentang.
"Mau Ningning dan Ibu Rahma saya pecat sekaligus?" ucapan Danar itu yang membuat Luna mengurungkan niatnya dan mengerutkan sedikit dahinya saat dipandang sekali lagi surat perjanjian yang harus ditanda tanganinya.
Kembali ke waktu sekarang...
Masih di kereta, Luna sudah menyadarkan sebelah kepalanya di tangannya yang menjulur ke pegangan kereta. Helaan napas berat dan cukup panjang dilakukannya, sambil memandangi langit senja yang menemaninya sepanjang perjalanan.
Danar masih berada di ruangannya, dipandangi surat kontrak yang sudah ditanda tangani oleh Luna yang sudah di sah kan oleh divisi HRD. Senyum lebar penuh kemenangan terpancar jelas di wajah lelaki itu, bahkan senandung lagu tidak beraturan keluar dari bibir mungil nan indahnya. Namun sayang, rasa kebahagiaan itu hanya mampir sesaat dan seketika sirna ketika suara getar gawai pintarnya mengusik lelaki lumayan tampan itu ditambah dilihat nama pengganggu yang tertulis dilayar. Suara decakan keluar dari dalam mulutnya tanpa menggubris panggilan telepon itu, sambil dimasukkan kertas berharganya, dengan gerakan malas lelaki itu perlahan bangun dan berdiri sembari menghubungi seseorang melalui gawai pintar itu setelah panggilan sebelumnya berhenti begitu saja.
"Saya tunggu di lobi, Pak..." ucapnya singkat pada Pak Yusuf.
xxxxxxxx
Danar memejamkan matanya dan diam dengan ekspresi wajah yang sangat tenang, hingga lagi - lagi Pak Yusuf membangunkannya setelah kendaraan itu tiba di sebuah lobi hotel mewah. Lelaki muda itu tidak bergeming, Sang Supir terus memandanginya dari kaca spion belakang.
"Apa Mas mau putar balik ke apartemen?" tawar pria paruh baya itu.
Tawa kecil dari Sang Majikan terdengar, baru kemudian perlahan dibuka matanya dan memperlihatkan ekspresi lelah juga malasnya.
"Mungkin setelah ini, tolong antar saya ke apartemen ya Pak." jawab dan pinta Danar.
Senyuman lebar terkembang dari Pak Yusuf yang kemudian keluar untuk membukakan pintu untuk Danar. Seorang penjaga pintu sudah menunggunya sedaritadi, setelah masuk ke area lobi seorang wanita muda berbusana serupa dengan penjaga pintu lalu menyambutnya dengan ramah diteruskan dengan memandu arah langkah Danar selanjutnya. Disepanjang perjalanan ke salah satu ruangan di hotel tersebut, alih - alih membenahi pakaiannya, Danar malah mengacak - acak penampilannya.
"Dan...," teriak seseorang dari dalam salah satu pintu yang baru saja digeser oleh wanita muda pemandu jalan tadi. Seorang perempuan muda mungil, berambut gelombang se dada, mengenakan gaun hitam selutut cukup seksi namun masih terlihat elegan.
"Miss you Dan...," lanjut perempuan mungil itu sambil kedua tangannya dengan cepat sudah bergelayut di leher kokoh Danar. Dicoba untuk mengecup lelaki muda itu, namun gagal karena Danar menghindar sekaligus mencoba melepas kedua tangan perempuan berambut gelombang itu dari lehernya.
"Ini Indo, Nad. Bukan Jerman...," ucap singkat Danar yang sudah memegang kedua tangan perempuan yang tidak lain adalah Nadia Moelyoto, lalu mendorong tubuh perempuan muda itu pelan hingga membuat ekspresinya berubah kesal.
"Selamat malam semua...," sapa Danar kemudian selepas berlalu dari hadapan Nadia.
3 orang lainnya sudah duduk di meja ruangan VIP yang telah dipesan sebelumnya oleh Ibu Rania. Seorang pria yang nampak seumuran dengan Ibu Rania juga seorang wanita yang nampak lebih muda dari Ibu Rania tersenyum saat mendengar sapa - salam Danar.
"Long time no se, Dan. Om lihat kamu semakin ganteng juga sukses saja...," puji pria itu.
Danar meneguk habis minuman yang sudah masuk ke mulutnya sebelum dilanjut dengan senyum yang terkembang, lalu di lap bibir luarnya baru kemudian ditatap pria itu.
"Jangan terlalu memuji saya Om, kalau kesuksesan ABS itu berkat kerja keras banyak pihak...," jawab Danar sebijak mungkin.
"Om dan Tante apa kabar? Bagaimana Jerman?" lanjut Danar sambil membenahi lap makan diatas pahanya.
Lalu pria tua menjawab dan percakapan malam itu pun berlanjut. Cukup lama ketiga orang itu bercakap - cakap kecuali Ibu rania yang cukup sibuk berbincang dengan Nadia dan sesekali terlihat perempuan muda nan cantik itu bermanja dengan Ibunda Danar. Hingga dalam satu kesempatan ketika para orang tua sudah kembali berbincang tersisa hanya Danar dan Nadia, posisi duduk perempuan berpakaian cukup seksi itu menempel pada Danar. Lelaki muda itu masih sangat menikmati minumannya dan tidak begitu menggubris kelakuan Nadia, hingga dirasa sesuatu berjalan dibagian tubuh bawahnya.
"Jangan macam - macam, Nad...," ucap Danar dengan wajah dingin nada suara datar berbisiknya, sambil menahan tangan Nadia yang bergerilya.
"Coolest as usual. Aku nggak perlu khawatir lagi...," balas Nadia dengan berbisik tepat ditelinga Danar dan satu tangan lainnya membelai lembut satu sisi pipi lelaki muda itu.
Dengan cukup kasar Danar menghindar dan melepas tangan Nadia, perempuan itu pun merubah posisi duduk lalu mengambil gelas minumannya. Sesekali ditatap Danar dengan tatapan genit dan liciknya.
"Mbak Nia, thankyou for your hospitality and about our relationship? Sorry i don't meant to bothering you, but...," ucap Pak Moelyoto disela - sela waktu berpamitan.
Senyum Ibu Rania yang ramah juga hangat terlihat jelas, tangannya menyambut genggaman tangan pria yang seumuran dengannya itu. Ditepuk - tepuk pelan kemudian sambil menjawab,
"Jangan sungkan, soal Danar dan Nadia as soon as possible. Aku juga sudah tidak sabar menjadi bagian dari keluarga kalian, memikirkan Nadia yang akan menjadi putri ku saja sudah membuat aku sangat bahagia, apalagi nantinya dia akan menjadi putri - menantuku...," jawab Ibu Rania dengan sangat percaya diri.
Kedua orang tua Nadia tersenyum lebar mendengar ucapan Ibu Rania, begitu pula dengan Nadia yang terus bergelendotan dilengan berotot Danar, dimana lelaki itu bersikap tidak acuh.
********