No action
No romansa
Masuk ke dalam novel❎
Melompati waktu karena penyesalan dan balas dendam ❎
Orang stress baru bangun✅
*****
Ini bukan kisah tentang seorang remaja di dunia modern, ini kisah pangeran tidur di dunia fantasi yang terlahir kembali saat ia tertidur, ia terlahir di dunia lain, lalu kembali bangun di dunianya.
-----------------
"Aku tidak ingin di juluki pangeran tidur! Aku tidak tidur! Kau tau itu?! Aku tidak bisa bangun karena aku berada di dunia lain!" -Lucas Ermintrude
******
Lucas tidak terima dengan julukan yang di berikan oleh penulis novel tanpa judul yang sering ia baca di dunia modern, ia juga tidak ingin mati di castil tua sendirian, dan ia juga tidak mau Bunda nya meninggal.
-------------------
"Ayah aku ingin melepaskan gelar bangsawan ku, aku ingin bebas."-Lucas Ermintrude
"Tentu saja, tidak."-Erick Hans Ermintrude
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lucapen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
Satu minggu telah berlalu sejak insiden di laboratorium bawah tanah.
Lucas membuka matanya perlahan, menatap langit-langit kamarnya yang familiar. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum bangkit dari tempat tidur. Kepalanya terasa sedikit ringan, seperti baru bangun dari tidur panjang.
Namun, ada yang aneh.
Dia tidak ingat kapan terakhir kali tertidur.
Lucas memegang dahinya, mencoba mengingat kejadian sebelumnya. Yang ia ingat, ia baru pulang dari akademi dan kembali ke kamarnya. Lalu … lalu apa?
Lucas mengerutkan kening.
Sepertinya tidak ada yang aneh.
Namun, mengapa ia merasa seperti ada sesuatu yang terlewat?
Saat Lucas masih mencoba memahami perasaannya, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya.
“Lucas? Kau sudah bangun?” Itu suara ibunya, Permaisuri Luciana.
Lucas segera duduk tegak. “Eum, masuk saja, Bunda.”
Pintu terbuka, dan ibunya melangkah masuk dengan senyum lembut. Matanya yang biasanya tenang terlihat sedikit lebih lembut dari biasanya, seolah-olah ia baru saja melewati sesuatu yang berat.
“Bagaimana perasaanmu hari ini?” Luciana duduk di tepi tempat tidur Lucas, menatapnya dengan penuh perhatian.
Lucas mengangguk. “Aku baik-baik saja.”
Luciana tersenyum lega. “Itu bagus.”
Lucas memperhatikan ekspresi ibunya. Ia terlihat sedikit … khawatir. Tapi untuk apa?
“Bunda?” Lucas bertanya hati-hati.
“Ya?”
“Apa terjadi sesuatu?”
Luciana sedikit terkejut, tapi dengan cepat menyembunyikannya. “Kenapa kau berpikir begitu?”
Lucas mengangkat bahu. “Entahlah, aku hanya merasa… ada sesuatu yang berbeda.”
Luciana menatap putranya dalam diam sebelum tersenyum tipis. Ia mengulurkan tangan dan membelai rambut Lucas dengan lembut.
“Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, Sayang,” katanya pelan.
Lucas tidak bertanya lebih lanjut, meskipun perasaan aneh itu masih ada.
Luciana akhirnya bangkit. “Kalau kau sudah merasa lebih baik, Ayahmu ingin bertemu denganmu setelah sarapan. Dia bilang ada hal penting yang harus dibicarakan.”
Lucas mengangguk. “Baik, aku akan bersiap-siap.”
Luciana tersenyum dan meninggalkan kamar.
Lucas duduk di tempat tidur sebentar sebelum akhirnya bangkit dan berjalan menuju cermin. Ia menatap pantulan dirinya—wajah yang sama seperti biasanya, tapi ada sesuatu di matanya yang terasa … aneh.
Seolah-olah ia telah melupakan sesuatu yang sangat penting.
Namun, tak peduli seberapa keras ia mencoba mengingatnya, ingatan itu tetap saja kosong.
Lucas akhirnya keluar dari kamarnya setelah bersiap-siap. Istana terasa lebih tenang dari biasanya, seolah-olah ada sesuatu yang tidak boleh dibicarakan secara terbuka. Para pelayan yang biasanya menyapanya dengan ramah kali ini hanya menunduk diam.
Lucas berjalan melewati koridor menuju ruang kerja Kaisar. Perasaan aneh itu masih mengganggunya, tapi ia memutuskan untuk mengabaikannya sementara.
Setelah mengetuk pintu, ia mendengar suara ayahnya dari dalam. “Masuk.”
Lucas mendorong pintu dan melangkah masuk. Kaisar Erick sedang duduk di belakang mejanya, tapi begitu Lucas masuk, pria itu segera berdiri dan berjalan mendekatinya.
Lucas menatap ayahnya dengan sedikit bingung.
“Ayah?”
Erick menatapnya sejenak sebelum menghela napas. Ia menepuk pundak Lucas dengan ringan, lalu menuntunnya untuk duduk di sofa.
“Apa kau sudah merasa lebih baik?” Erick bertanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Lucas mengangguk. “Aku baik-baik saja … tapi, apa aku sakit sebelumnya?”
Erick diam sesaat sebelum menggeleng. “Tidak. Hanya sedikit kelelahan.”
Lucas menatap ayahnya dengan curiga. Ada sesuatu dalam ekspresi Kaisar yang membuatnya merasa tidak yakin dengan jawaban itu. Tapi karena Erick tidak berkata lebih lanjut, Lucas memutuskan untuk tidak mendesaknya.
“Ayah bilang ingin membicarakan sesuatu?” tanya Lucas akhirnya.
Erick mengangguk dan duduk di seberangnya.
“Ayah ingin kau tidak keluar istana seperti terakhir kali.”
Lucas mengernyit. “Kenapa?”
Erick terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Ada beberapa hal yang terjadi akhir-akhir ini. Ayah hanya ingin memastikan kau aman.”
Lucas semakin bingung. “Apa sesuatu terjadi di luar istana?”
Erick tersenyum tipis, tapi matanya tetap serius. “Kau tidak perlu khawatir soal itu.”
Jawaban itu terasa seperti penolakan halus. Lucas ingin bertanya lebih jauh, tapi ada sesuatu dalam nada suara ayahnya yang membuatnya ragu.
Setelah beberapa saat hening, Erick akhirnya melanjutkan, “Mulai hari ini, kau akan memiliki ksatria pribadi yang baru. Dia akan mengawalmu ke mana pun kau pergi.”
Lucas mengangkat alis. “Liam sudah tidak bertugas lagi?”
Erick mengangguk. “Dia memiliki tugas lain.”
Lucas sedikit kecewa, tapi ia hanya mengangguk. “Siapa penggantinya?”
Pintu tiba-tiba terbuka, dan seorang pria masuk. Ia mengenakan seragam ksatria dengan jubah hitam, tubuhnya tegap dengan aura yang kuat.
Lucas langsung menegang.
Pria itu berambut hitam dengan mata merah keemasan yang tajam—sangat familiar, seolah-olah Lucas pernah melihatnya sebelumnya. Tapi dari mana?
Ksatria itu berlutut di depan Kaisar. “Ksatria pribadi Lucas, Nicholas, melapor.”
Lucas menatap pria itu tanpa sadar menahan napas.
Kenapa … kenapa rasanya ada sesuatu yang aneh?
Kenapa pria ini terlihat begitu familiar?
Dan kenapa perasaan aneh di dadanya semakin kuat?
Lucas masih menatap ksatria di depannya dengan perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan. Pria bernama Nicholas itu tampak sangat familiar, tapi Lucas tidak tahu kenapa.
Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, suara langkah kaki lain terdengar di belakangnya.
“Pangeran.”
Lucas menoleh dan menemukan Liam berdiri di dekat pintu. Ekspresi laki-laki itu tetap tenang seperti biasa, tapi ada sesuatu di matanya yang tidak biasa—seperti perasaan bersalah atau ragu.
Liam menundukkan kepala dengan hormat. “Saya meminta izin untuk berpamitan, Yang Mulia. Saya akan menjalankan tugas baru sesuai perintah Kaisar.”
Lucas langsung merasa ada yang tidak beres. Tanpa berpikir panjang, dia berdiri dan menatap ayahnya.
“Ayah,” katanya cepat, “kenapa harus mengganti Liam? Aku lebih nyaman dengannya.”
Erick menatap putranya dengan ekspresi datar. “Keputusan sudah dibuat, Lucas. Nicholas adalah ksatria yang lebih terlatih untuk melindungimu.”
“Tapi aku tidak mau,” Lucas menyela tanpa ragu. “Aku ingin Liam saja.”
Hening.
Erick menghela napas, lalu menatap Liam. “Kau dengar sendiri?”
Liam sedikit menunduk. “Saya mengerti, Yang Mulia.”
Kaisar menatap putranya lagi, matanya menyiratkan sesuatu yang sulit diartikan. Setelah beberapa saat, akhirnya ia mengalah.
“Baiklah. Jika itu maumu, Liam tetap menjadi pengawal pribadimu.”
Lucas tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Liam. “Aku mengandalkanmu.”
Liam menatapnya sejenak sebelum menunduk hormat. “Tentu saja, Yang Mulia.”
Sementara itu, Nicholas masih berdiri di tempatnya, diam tanpa ekspresi. Tapi ada sesuatu di sorot matanya—sesuatu yang dingin dan penuh misteri—sebelum akhirnya ia berbalik dan pergi tanpa sepatah kata pun.
Lucas tidak tahu kenapa, tapi perasaan aneh di dadanya justru semakin kuat. Seolah-olah dia baru saja membuat keputusan yang akan mengubah sesuatu dalam hidupnya.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Lucas mulai kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa, seolah tidak ada yang berubah. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di dalam pikirannya—sebuah perasaan aneh yang tidak bisa ia jelaskan.
Sejak kapan semua kembali normal?
Lucas tidak bisa mengingat dengan jelas. Yang ia tahu, sekarang dia kembali tinggal di istana, dengan Liam sebagai pengawalnya seperti biasa. Semua orang memperlakukannya seperti biasa juga. Ayahnya masih sibuk dengan urusan kekaisaran, ibunya sering datang menjenguk, dan kakak-kakaknya sibuk dengan tugas masing-masing.
Namun, ada sesuatu yang mengganggunya.
Beberapa kali, ia melihat tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya—seolah mereka tahu sesuatu yang tidak ia sadari.
Dan setiap kali ia bertanya, mereka hanya mengalihkan pembicaraan.
“Liam,” panggil Lucas suatu hari, saat mereka sedang berjalan di taman istana.
Liam menoleh. “Ya, Yang Mulia?”
Lucas menghela napas. “Apakah aku melewatkan sesuatu?”
Liam tidak langsung menjawab. Tatapan pria itu tetap tenang, tapi ada sedikit keraguan di matanya.
“Apa maksud Yang Mulia?”
Lucas menggigit bibir. “Aku merasa ada sesuatu yang… hilang. Seperti ada bagian dari ingatanku yang kabur.”
Liam diam sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Yang Mulia sempat sakit beberapa waktu lalu. Mungkin itu sebabnya ada beberapa hal yang terasa samar.”
Lucas mengerutkan kening. “Sakit?”
Liam mengangguk. “Tapi sekarang Yang Mulia sudah lebih baik. Yang terpenting adalah fokus pada pemulihan.”
Jawaban itu tidak memuaskan Lucas, tapi entah kenapa, ia merasa enggan untuk bertanya lebih jauh.
Seolah-olah ada sesuatu di dalam dirinya yang memperingatkan agar tidak menggali lebih dalam.
Namun, rasa penasaran itu tidak bisa hilang begitu saja.
Terutama setiap kali ia melihat tatapan dingin dari Nicholas di kejauhan, atau mendengar bisikan para pelayan yang tiba-tiba terdiam begitu ia mendekat.
Dan yang paling membuatnya gelisah—
Setiap kali ia menutup mata, dalam mimpi-mimpinya yang kabur, ia melihat sepasang mata merah keemasan menatapnya.
Seolah menunggu…
Atau mengingatkannya pada sesuatu yang telah ia lupakan.
[TBC]