Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Rela Menunggu
"Mama, Minggu depan Harry mau silaturahmi ke rumah." Aira angkat bicara setelah selesai menyantap sarapan di pagi hari ini.
Hanya ada mereka berdua. Papa Aira -Hariatmaja- sudah berangkat kerja sambil mengantar Aila Adelia Hariatmaja sekolah di MTs Kota Surakarta.
Mama Shania yang sedang mencuci tangan di wastafel menoleh, lalu tersenyum sambil mengelap tangannya pada celemek. "Bagus dong, Sayang. Kalau kalian memang serius, Mama akan dukung."
"Tapi, Mama. Kenapa sih akhir-akhir ini jadi kelihatan pingin aku cepat-cepat menikah?"
Mama Shania menatap putrinya sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya. "Ini soal Papa kamu, Ai. Papa nggak mau lihat kamu kelamaan sendiri. Usiamu udah 23 tahun. Oktober nanti kamu 24. Bagi Papa, itu usia yang sudah matang untuk menikah. Terutama buat anak gadis."
"Tapi, aku nggak sendiri. Aku udah punya pacar, Mama. Kami saling cinta. Kami punya komitmen akan menikah ketika waktunya sudah tepat."
Sang ibu menarik tangannya pelan, lalu menggenggam jemari putrinya erat. Suaranya menurun, tapi nadanya tegas. "Mama pun nggak bisa diam aja, Ai. Kalau kamu terus nunggu Harry sampai dia mapan, bisa-bisa kamu menua duluan. Dia itu cuma pegawai percetakan, masa depannya masih terlalu samar."
"Aku rela nunggu. Aku percaya sama dia."
"Astaghfirullaahaladzim..." Mama menghela nafas, menahan emosi. "Mama benar-benar nggak ngerti jalan pikiran kamu. Kalau gini terus, bener kata Papa. Papa yang akan carikan jodoh buat kamu."
"Ma... maksud Mama apa?"
"Udah. Mama nggak mau dengar alasan kamu lagi. Setiap kali debat sama kamu, Mama selalu kalah karena kamu pandai bicara. Tapi sekarang Mama sudah cukup."
Aira menunduk sejenak, sedih merasa bersalah karena membuat Mamanya kecewa. Tapi, dia juga berhak punya pendapatnya sendiri.
"Mama, ini hidup aku. Aku nggak mau menikah hanya karena dikejar usia. Kalau aku nggak siap, aku bisa kehilangan arah di tengah jalan. Aku ingin membangun rumah tangga dengan hati yang utuh, bukan karena tekanan."
"Kalau begitu, Harry harus bisa meyakinkan Papa. Kalau nggak, Papa akan keukeh carikan jodoh buat kamu," ujar Mama akhirnya, datar.
"Apa?" Aira tercekat. "Kok tega banget? Ini pernikahan, bukan transaksi."
"Papa udah kenal seseorang. Seorang pengusaha muda. Ponakan dari rekan kerjanya di kantor Kementerian Agama. Papa bilang dia mapan, punya usaha sendiri, dan bisa bawa kamu ke hidup yang lebih sejahtera."
Jantung Aira seolah berhenti berdetak. "Jadi, karena dia mapan... Papa anggap dia lebih pantas dari Harry?" Aira bangkit berdiri, matanya mulai memerah. "Apa Mama dan Papa nggak percaya sama pilihan aku? Nggak cukup lima tahun aku mencintai dan memperjuangkan hubungan ini?"
"Ai..." suara Mama Shania mulai melembut, "bukan soal nggak percaya. Tapi Mama dan Papa cuma ingin kamu bahagia."
Aira menggeleng pelan. "Bahagia bukan cuma soal uang, Mama. Bahagia itu tentang rasa aman, saling percaya, dan tumbuh bersama. Harry memang belum mapan, tapi dia kerja keras. Dia jujur, dan dia nggak pernah menjanjikan langit, tapi dia selalu hadir di saat aku butuh."
Mama Shania tak bisa membalas. Tatapannya mulai goyah. Ia tahu, dalam banyak perdebatan, Aira sering menang dengan argumen yang tajam dan penuh keyakinan. Tapi menjadi seorang istri dan ibu membuatnya berada di tengah pusaran yang sulit. Ia ingin melindungi putrinya, namun di sisi lain, ada tanggung jawab untuk membela keputusan suaminya.
Aira menatap ibunya dalam-dalam, lalu berkata pelan, "Mama pernah percaya sama dia. Kenapa sekarang ragu hanya karena waktu belum memihak kami?"
"Sayang..." suara Mama Shania pelan. "Mama nggak mau kita berakhir saling menyakiti. Mama tahu kamu cerdas, bisa mikir panjang. Tapi hidup rumah tangga itu bukan cuma tentang cinta. Itu juga soal kesiapan, perjuangan, dan restu. Kalau kamu memang mantap dengan pilihanmu, segera bawa Harry ke rumah. Yakinkan Papa kamu. Jangan ditunda lagi."
Mama menarik napas dalam, seolah menahan sesuatu yang berat di dadanya. "Tapi kalau setelah ini hatimu mulai goyah, Mama ingin kamu berserah diri. Minta petunjuk dari Yang Maha Tahu. Mulailah sholat istikharah, Sayang. Biar Allah yang tunjukkan jalan."
Mata Aira mulai berkaca-kaca. Ada sesuatu yang dalam jauh sudut hatinya. Kadangkala, ia pun merasa ragu dengan Harry. Tapi Aira tak ingin mengkhianati cinta Harry, karena cowok itu sangat mencintainya.
Aira bersiap-siap untuk berangkat mengajar. Baru saja ia membuka pintu, deretan suara riang dan langkah kecil terdengar dari arah gerbang rumah. Ternyata, keluarga kakaknya, Kak Roha Hariatmaja, datang berkunjung. Ia datang bersama istrinya, Kak Nina Yunita dan putri kecil mereka yang berusia tiga tahun, Mayu Rohani Hariatmaja.
Biasanya, Aira akan menyambut keponakan kecilnya itu dengan antusias dan pelukan hangat. Namun kali ini, wajah Aira tampak murung, matanya kehilangan binar.
“Acam muaikum, onty Ai!” sapa Mayu ceria dengan logat cadelnya.
“Wa’alaikumussalaam wa rahmatullaahi wa barakaatuh,” jawab Aira pelan, nyaris tanpa ekspresi.
Mama Shania langsung menghampiri mereka dengan semangat penuh suka cita. “Mayuuu, cute-nya cucu Oma! Sini sama ngrandmama!”
Mayu pun berlari kecil ke pelukan neneknya.
Senyum Mama Shania melebar. Ia menoleh ke arah Aira yang hendak keluar rumah. Suaranya terdengar lembut namun sarat makna. “Nih lihat, Ai. Apa kamu nggak pengin punya keluarga kayak Kak Roha? Mama masih muda, masih kuat kok ngurusin cucu-cucu kecil. Mumpung Mama masih bisa bantuin kalian.”
Perkataan itu membuat dada Aira terasa sesak. Ia berusaha menahan napas panjang. Tentu, ini akan jadi sesi perbandingan lagi…
Dan benar saja.
Mama Shania melanjutkan, “Sempurnakanlah ibadahmu dengan menikah, Ai. Karena itu sunnah Rasul. Kamu akan makin bahagia kalo punya keluarga begini."
Kalimat itu terdengar seperti seruan yang dibalut dalil. Tapi bagi Aira, nadanya seperti tekanan.
Ia menunduk sejenak, memandangi sepatunya yang berdebu. Di dalam hatinya, amarah kecil mulai bergolak. Kenapa semuanya harus tentang menikah? Kenapa bahagia harus selalu diukur dari punya pasangan dan anak? Tapi ia tak menjawab. Belum saatnya bicara.
Ia melangkah pergi, meninggalkan rumah dengan langkah cepat. Tak disangka, Harry sudah menunggu di seberang jalan, tempat Aira biasa menunggu bus.
Aira terperangah. Perasaannya langsung berubah. Tadi ia merasa muram, sekarang hatinya berbunga-bunga. Saat Harry turun dari motor dan membuka helm, senyum Aira mengembang sempurna. Inilah takdirku, batinnya. Harry datang di saat yang paling aku butuhkan.
“Pagi, Ai,” sapa Harry lembut. “Aku antar ke TK, ya?”
Aira sempat tercengang. Ini bukan kebiasaan Harry. Tapi ia tak peduli. Ia mengangguk cepat, lalu naik ke boncengan sambil senyum-senyum sendiri. Namun di balik punggung yang ia peluk erat, hati Harry justru terasa sesak.
Ia menggenggam erat setang motornya, menahan guncangan dalam dadanya. Ada hal penting yang ingin ia lakukan bahkan sampaikan. Hal yang bisa mengubah segalanya. Atau bahkan...
... mengakhiri segalanya.
😢💔😔