Dia adalah gadis yang selalu tenggelam dalam gemuruh pemikirannya sendiri, di penuhi kecemasan, dan terombang-ambing dalam sebuah fantasinya sendiri.
Sehingga suatu teriknya hari itu, dari sebuah kesalahpahaman kecil itu, sesosok itu seakan dengan berani menyatakan jika dirinya adalah sebuah matahari untuk dirinya.
Walaupun itu menggiurkan bagi dirinya yang terus berada dalam bayang, tapi semua terasa begitu cepat, dan sangat cepat.
Sampai dia begitu enggan untuk keluar dari bayangan dirinya sendiri menerima matahari miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma syafitri Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Terima Kasih.
.
.
Saat mobil sport mewah hitam metalik itu melewati gang sempit yang memiliki beberapa genangan air keruh di jalannya itu, berhasil membuat beberapa anak-anak kecil yang tengah lewat tersebut menjadi terpekik kaget ataupun kagum, mengikuti setiap langkah mobil itu berjalan sampai akhirnya berhenti pada sebuah depan rumah sederhana.
Pukul sudah menunjukkan tujuh lewat lima belas malam.
Iris hitam itu sedikit terkejut saat melihat kedua orang tuanya yang tampak tengah terduduk di kursi teras rumah dan....
Terlihat damai?
Dan kamu percaya dengan apa yang kamu lihat itu?
Dia tidak yakin.
Hah....!
“Revander.” Panggil suara berat Flauza yang berhasil membuat dia tersadar, dan menatap cepat kepada pria yang ada di sampingnya itu. Iris kecokelatan menatap dalam dan begitu dekat kepadanya.
Pria itu tersenyum kepadanya seperti biasa.
“Aku begitu puas untuk hari ini Revander.” Lanjutnya.
Puas?
Dengan sebuah hal sederhana seperti ini?
Tangan pria itu meraih salah satu tangan sang gadis dengan lembut, dan mengecupnya pelan.
“Kamu.... menyukainya?....” tanya sang gadis tidak tahu akan berkata apa kepada Flauza dengan segala tindakkannya itu.
“Ya...Terima kasih untuk hari ini Revander........
.........
My Revander”
.
.
.
“Siapa itu?” suara pria yang dia kenal sebagai ayah itu langsung terdengar menusuk tajam pada dadanya. Dia baru saja beberapa menit dia menginjakkan kakinya pada rumah ini.
Dan tentu saja dia tahu dia akan mendapatkan sebuah pertanyaan ini dari sang ayah cepat atau lambat.
Hanya saja dia tidak menyangka pertanyaan itu datang lebih cepat di bandingkan dia pikirkan.
Uuuuhhh...
“Teman adek yah.” Balas sekedarnya dengan wajah yang datar dan tenang.
Aku tidak menyukainya....
Aku benar-benar menyukainya....
“Temanmu yang mana?”
Uuuuuhhhh......
Apa yang harus dia katakan?
“Teman kampus yah, beberapa hari yang lalu baru bertemu kembali di depan mini market dekat sini.”
“Kapan?”
Uuuuhhhh.....
“dua minggu yang lalu.”
“Orang mana temanmu itu?” tanya sang ayah lagi.
“Tinggalnya di sekitar kota jalan titik nol.” Akhirnya dengan hanya berjalan masuk mengabaikan tatapan kedua orang tuanya itu.
Dia hanya tidak ingin mengatakan bagian yang tidak penting.
Bukan dia tidak ingin membuat mereka bertanya tentang hal-hal menyangkut kehidupannya yang tidak penting untuk mereka ketahui.
“Ngapai kamu terus-terus bertemu dengan dia.... HAH!!!” kali ini suara sang ayah mulai meninggi kepadanya.
Tenanglah-tenanglah-tenanglah!
Dia berusaha menghela nafas sepelan mungkin untuk tidak terdengar oleh mereka.
Dia benar-benar tidak menyukai mereka!!!!
Tuhan dia sungguh tidak ingin mereka bertanya apapun kepadanya!!!!
“hanya main yah, hanya main bareng saja.”
“gak usah kamu keluar-keluar lagi!!!” Revander menghentikan langkah kakinya seketika saat mendengar suara besar sang ayah yang menggelegar dari luar rumah sampai dalam rumah itu.
Tenanglah-tenanglah-tenanglah!
Dia hanya mengancam dengan kata-kata saja!
Kamu tidak perlu takut dengan hal itu!
Kamu tidak perlu terus takut dengan hal-hal itu REVANDER!!
Sungguh dia ingin membalas perkataan pria tua itu, namun....
Yang bisa dia lakukan hanya bisa menutup mata, mengeratkan kepalan tangannya begitu kuat dalam diam.
Jika dia membalas atau berteriak kepada mereka....
Semua ini hanya akan menjadi masalah yang lebih besar.
Tenanglah-tenanglah-tenanglah!
Jadi dia hanya memilih kembali jalan ke dalam rumah, melakukan aktivitas yang perlu dia lakukan dalam diam dan segera mengurung dirinya pada kamarnya itu.
Diam adalah jalan yang terbaik.
Ini adalah jalan satu-satunya yang terbaik.
Karena ini adalah jalan satu-satunya yang terbaik untuk bertahan di sini.
Namun sampai kapan kamu akan terus bertahan di rumah yang terus membuatmu tidak nyaman ini huh?
Sampai pada akhirnya kewarasanmu menyerah dan menjadi gila?
Atau kamu berharap sampai mereka berakhir di bawah tanah?
Dia melemparkan tubuhnya yang kini telah mengenakan pakaian longgar rumahannya.
Memeluk erat guling berbungkus kain biru.
Aku lelah....
Aku sungguh lelah!
Matanya menatap lurus terfokus pada bola lampu kamar yang tidak menyadari di langit-langit kamarnya.
Tuhan!!!
Dia sangat lelah!!! Sungguh sangat lelah....
Tanpa sadar matanya itu terasa basah tanpa dia bisa kendalikan.
Bahkan kan dia dapat merasakan nafasnya yang perlahan menderu dan semakin menderu tanpa dia bisa kendalikan pula.
Dia tidak tahu kenapa dia tiba-tiba saja menangis hari itu....
Tapi....
Tapi dia tahu....
Rasa sesak itu kembali menyerang tanpa dia bisa kendalikan.
Tidak menyukainya....
Benar-benar tidak menyukainya....
Dia hanya......
Dia hanya membenci semua yang ada di sini....
Semua yang telah terjadi di sini.....
.
.
.
Itu bukanlah kesalahanmu untuk sedikit melonggarkan diri sendiri dari ikatan mencekik yang mereka berikan kepadamu.
Itu bukan kesalahanmu pula untuk sedikit membantah kepada apa yang selalu mereka lakukan untuk mengatur jalanmu....
Dari awal itu bukanlah kesalahanmu......
Dengan apa yang terjadi semua ini...semua yang terjadi di rumah sialan ini!!!!
.
.
.
Wajah itu tampak begitu kusut di pagi ini. Beberapa hari mengalami bangun dan tertidur tidak beraturan, dengan pemikiran yang tidak menentu berhasil membuatnya seperti ini.
Pukul jam sudah menunjukkan delapan lewat tujuh belas.
Dia sudah bersiap untuk pergi hari ini.
“kamu masih mau pergi lagi HAH!!!!...... SUDAH AKU BILANG GAK USAH KAMU PERGI-PERGI LAGI!!!!.....” suara menggelegar dari arah dalam rumah itu, membuat terkejut luar biasanya.
Dia melihat sang ayah yang berjalan dengan suara langkah menggema dan juga...... terasa mengerikan.
Seperti......
Sesosok monster....
Dia mengedipkan matanya dengan cepat masih dalam diam melihat pria tua itu datang penuh amarah dan wajah yang sudah memerah.
Dan ini masih pagi.
“Adek di jemput sama teman yah....” Balas gadis dengan wajah tenang dan datar.
Sepasang putri dan ayah itu saling bertatapan dengan ekspresi mereka masing-masing. Dengan kedua mata mereka yang seperti tidak saling megalah dari suasana panas di pagi hari itu.
Namun suara mobil itu memecahkan pandangan keduanya.
Tanpa peduli, sang gadis hanya bangkit dari posisi duduknya dan pergi meninggalkan sang ayah yang masih tampak marah di sana. “REVA!”
Gadis itu kembali berhenti melangkah, tapi dia tidak berbalik menoleh sang ayah.
.
Tobito, yang terlihat telah keluar dari mobil hitam Rolls-Royce berpakaian formal khas miliknya. Berjalan dengan tegas berdiri di depan pagar rumahnya.
Pandangan sang gadis sekilas, melirik ke arah rumah di depannya itu.
hhhaaa....
Nampaknya orang-orang di sana sungguh menikmati sebuah drama dengan pemerannya adalah tidak lain dan tidak bukan dia sendiri.
Dia mendengar langkah kaki itu mendekat.
Membuat dirinya segera berlari kecil ke arah Tobito yang sudah tersenyum kepadanya dan juga membuka pintu penumpang mobil itu.
“Selamat Pagi Nona Revander”
“Tuan Tobito...”
“REVANDER!” mereka berdua menoleh ke arah sang Ayah yang kini telah mendekat. Dan sang gadis itu segera masuk ke dalam mobil itu seakan berusaha menyelamatkan diri dari sosok ‘monster’ mengerikan itu.
Pintu itu tertutup.
Tanpa sadar dia menghela nafas kuat di dalam sana.
Dan pria pirang itu tampak segera menenangkan kondisi dari amukan sang Ayah di luar sana.
Dengan tetap tersenyum, dan juga gerakan yang elegan dari pria pirang itu.
Hanya perlu beberapa waktu dan kata-kata, sang Ayah terlihat sedikit lebih diam, namun mimik wajahnya masih terlihat amarah yang begitu jelas.
Dia tidak tahu apa yang mereka bicarakan....
Dan dia juga tidak ingin tahu apa yang mereka bicarakan di sana.
Sang gadis sedikit menyadarkan tubuhnya kepada senderan bangku penumpang yang entah kenapa terasa lebih empuk dari pada hari-hari biasanya.
Setidaknya dia tidak mendengar suara-suara keras yang menggelegar lagi untuk beberapa waktu ke depannya.
Ya...
Mungkin ini tidak akan selamanya, namun kata sementara juga tidak terdengar buruk, bukan?
Tobito berjalan kembali memasuki mobil ini dari pintu pengemudi.
Masih dengan senyuman yang tidak lepas, namun dia tidak memberikan gerakan membungkukkan tubuh tanda pemberian hormat yang biasanya dia lakukan.
Mobil itu berjalan meninggalkan area di mana dia terus-menerus merasakan ketidak nyaman untuk tubuh, hati, dan pikirannya pula.
Dan dalam keheningan yang biasa terjadi di antara dirinya dan pria pirang itu, rasa sesak di dada yang dia tidak mengerti itu tetap tidak menghilang.
Iris hitamnya terus memandang keluar pada jalanan yang ramai di pagi hari senin ini.
“Terima kasih Tuan Tobito..........” ucap sang gadis tanpa menoleh sedikit pun kepada pria pirang itu. “Aku benar-benar merasa terbantu dengan apa pun yang kamu lakukan kepada....dia... di sana.”
Tobito melirik ke atas pada kaca kecil di sana.
Masih dengan senyuman yang sama yang selalu pria itu tunjukkan kepada sang gadis.
“sama-sama Nona Revander, ini juga sudah menjadi bagian pekerjaan saya untuk menjaga dan mengawasi Anda, dalam perintah Tuan Flauza.”
Ya....
Tentu saja itu adalah alasan dari mereka melakukan hal ini kepada dirinya.
Itu adalah perintah, dan itu adalah pekerjaan mereka yang harus mereka lakukan, apa pun yang terjadi, dan apa pun halangan yang akan terjadi.
Kenapa dia bisa melupakannya?
.
.
.