Adinda Khairunnisa gadis cantik yang ceria, yang tinggal hanya berdua dengan sang ayah, saat melahirkan Adinda sang bunda pendarahan hebat, dan tidak mampu bertahan, dia kembali kepada sang khaliq, tanpa bisa melihat putri cantiknya.
Semenjak Bundanya tiada, Adinda di besarkan seorang diri oleh sang ayah, ayahnya tidak ingin lagi menikah, katanya hanya ingin berkumpul di alam sana bersama bundanya nanti.
Saat ulang tahun Adinda yang ke 17th dan bertepatan dengan kelulusan Adinda, ayahnya ikut menyusul sang bunda, membuat dunia Adinda hancur saat itu juga.
Yang makin membuat Adinda hancur, sahabat yang sangat dia sayangi dari kecil tega menikung Adinda dari belakang, dia berselingkuh dengan kekasih Adinda.
Sejak saat itu Adinda menjadi gadis yang pendiam dan tidak terlalu percaya sama orang.
Bagaimana kisahnya, yukkk.. baca kisah selanjutnya, jangan lupa kasih like komen dan vote ya, klau kasih bintang jangan satu dua ya, kasih bintang lima, biar ratingnya bagus😁🙏🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon devi oktavia_10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
"Aku di mana?" gumam Adinda saat membuka mata, dia ada di ranjang rumah sakit.
"Kamu sudah sadar Din?" panggil Lusi dengan mata yang bengkak, karena kebanyakan menangis.
"Kok kalian ada di sini, ada bu Maya juga." ucap Arinda yang masih belum ingat apa apa.
Satu detik, dua detik, tiga detik, Adinda baru ingat tentang ayahnya, dia lansung bangun dan mencabut jarum infus yang tertancap di tangannya.
"Ayah.... Hiks... hiks...." Adinda kembali menjerit mencari sang ayah.
"Din, sabar Din, itu banyak darah di tangan kamu." pekik Rini, melihat darah segar muncrat dari bekas jarum infus yang di cabut oleh Adinda.
"Aku ngak perduli, anterin aku ke ayah hiks.... hiks....!" ujar Adinda terus meronta karena di tahan oleh teman temannya.
"Iya, sabar sebentar ya, kita obati ini dulu, habis itu kita pulang." bujuk Lusi dengan sendu menatap sahabatnya itu.
"Ayah di ruang mayat, bukan di rumah, aku mau kesana, lepasin aku, hiks!" pinta Adinda.
"Ayah sudah di bawah pulang sama kepala sekolah, nanti kita susul ya, sabar sebentar." bujuk Rini.
Bu Maya sibuk mengurus administrasi kepulangan Adinda.
Di rumah Dinda sudah banyak tamu yang datang, dan sudah berdiri tenda, kursi sudah berjejer rapi dan bendera kuning sudah terpasang di setiap gang komplek itu, banyak warga yang membantu di rumah dan membantu pemakaman pak Antoni.
"Ayahhh......." jerit Adinda saat memasuki rumah dan melihat sang ayah sudah rapi di kafani, hanya tersisa wajahnya saja yang masih terbuka.
"Ayah... huuu.... uuuu.... Ayah jangan tinggalin Adinda Yah. Dinda takut hua......" Jeritan pilu gadis malang itu, mampu membuat semua orang ikut menangis, mereka tidak menyangka pak Anton akan pergi secepat itu, apa lagi saat pagi masih sempat bertegur sapa dengan warga setempat, saat pulang sholat shubuh di mesjid.
"Sudah nak, ikhlasin pak Anton ya, jangan di tangisin seperti ini, kasian ayahnya neng?" bujuk bu Rt yang ikut menangis melihat gadis malang itu.
"Ayah bu.... Ayah pergi ninggalin Dinda sendirian bu, Dinda ngak punya siapa siapa lagi bu, Dinda sebatang kara bu... uuu.... uuu..." raung Dinda mengadu sama bu Rt.
"Dinda ngak sendiri nak, ada kami di sini sayang, Dinda harus tegar, Dinda harus kuat." ujar Bu Rt, para pelayat menatap iba kepada Dinda.
"Dinda mau ikut bu, Dinda mau ikut sama ayah, sama bunda bu. Dinda ngak mau sendirian bu. Dinda takuuuttt...." lagi lagi Dinda membuat orang tidak bisa membendung tangisnya.
"Ya Allah nak, jangan ngomong seperti itu, Dinda harus istiqfar, Dinda ngak boleh putus asa nak, jangan turutin setan sayang, istiqfar sayang." Bu Maya memeluk Adinda dengan erat.
"Sudah ya nak, kita lepas ayah ketempat peristirahatannya yang terakhir kali ya." ujar Bu Rt.
"Dinda gimana bu... uuu..." isak Adinda, matanya sudah sembab karena kebanyakan menangis, penampilannya sudah kacau, dia tidak perduli dengan itu semua.
"Dinda ikut mengantar ayah untuk terakhir kalinya, nanti kita pulang lagi ya." bujuk Bu Rt.
"Dinda mau ikut ayah sama bunda aja bu... uuu... uu.." raung pilu Adinda.
"Ya Allah nak. istiqfar sayang, istiqfar." ucap Bu Maya, dia tidak sanggup melihat gadis itu terus menangis, dan menyayat hati semua orang yang ada di sana.
Setelah Jenazah pak Anton di sholatkan di mesjid dan lansung di bawa ke tempat peristirahatan terakhirnya, dan bersyukurnya dia bisa di tempatnya berdampingan dengan sang istri.
"Adinda....."
"Astagfirullah..." pekik orang orang di makam itu, melihat Adinda hampir lepas masuk ke dalam kuburan, anak itu sudah meloncat, beruntungnya, pak rt, pak Andi menangkap tubuh Adinda, dengan gesit.
Saat Jenazah sudah masuk ke dalam liang lahat, dan warga menutup dengan tanah, entah dorongan dari mana, Adinda meloncat ingin masuk kesana, membuat kaget semua orang di sana.
"Huaaa..... Dinda mau ikut, lepasin Dinda, Dinda mau ikut ayah.... Aaaaa...." histersi Dinda, dia gelap mata, ingin ikut dengan ayahnya, bayangin hanya ayahnya satu satunya, yang dia punya, tiba tiba pergi tanpa pamit untuk selamanya, hati anak mana yang tidak hancur.
"Ya Allah nak, sabar nak, sabar, Dinda istiqfar sayang, jangan beratin ayah dengan keadaan Dinda kaya gini, ikhlasin ayah sayang, bapak tau ini sangat berat untuk Dinda, tapi sudah takdir Tuhan yang menentukan, jadi Dinda tidak boleh seperti ini ya sayang." ucap Pak Kepala sekolah memeluk tubuh Adinda dengan erat, dia tidak mau Adinda kembali nekat masuk ke dalam liang lahat itu.
"Tapi Dinda sendiri pak, bagaimana Dinda hidup pak, Dinda ngak punya tempat pulang lagi, Dinda ngak punya sandaran lagi pak, siapa yang nemanin Dinda pak hiks... hiks..." isak pilu Dinda di dalam pelukan kepala sekolah tersebut.
"Kak Dinda boleh kok, nganggap papa sebagai pengganti Ayah kak Dinda, bukan kah kita saudara?, karena darah ayah kak Dinda ada di tubuh aku, jadi kita saudarakan, aku bisa jadi adik kak Dinda, mama juga jadi ibu kak Dinda, jadi kak Dinda ngak sendirian kok, ada teman teman kak Dinda yang sayang sama kak Dinda, jadi kak Dinda ngak boleh sedih sedih lagi ya." peluk gadis manis, adik kelas Adinda, anak kepala sekolah membujuk Adinda.
Dinda hanya diam, tatapannya kosong, wajahnya pucat, tidak ada lagi gairah hidup di mata itu, dia hanya menatap makam sang ayah yang mulai terlihat gundukan tanah, dan di taburi dengan bunga oleh para pelayat, dan banyak juga teman teman sekolah Dinda yang datang, karyawan dari kantor tempat ayahnya mencari nafkah pun ada di sana.
Setalah pak ustadz membaca do'a dan memberi wejangan pendek, para pelayat satu per satu mulai meninggalkan makam tersebut.
"Ayo nak, kita pulang, ajak bu Maya, Dinda hanya diam dan duduk di samping pusara sang ayah, merebahkan kepalanya di sana, air mata terus mengalir dari matanya.
Teman teman Adinda pun sama, sama merasa kehilangan sosok ayah, karena hubungan mereka memang dekat dengan ayah sahabat mereka itu.
"Din, sudah sore nak." bujuk Bu Rt, yang juga masih setia menemani Adinda dan kawan kawannya.
"Dinda mau di sini aja bu, ibu klau mau pulang, pulang aja, Dinda mau sama ayah dan bunda." ucap Adinda, dia tidak lagi meraung, cuma air matanya saja yang tidak bisa berhenti mengalir.
"Bunda, Bunda sudah rindu sama ayah ya, makanya bunda jemput ayah sekarang, apa sudah cukup ya waktu Dinda sampai umur tujuh belas tahun, bersama ayah, apa bunda sudah janji jemput ayah saat umur Dinda tujuh belas tahun, makanya ayah pergi menemui bunda hiks."
"Makasih ya bun, sudah izinin ayah menemani Dinda selama ini, Dinda ikhlasin ayah bersama bunda sekarang, Dinda ngak boleh egois ya bun, bunda juga butuh ayah di sana, Dinda janji bun, Dinda akan hidup lebih baik lagi di sini, kalian boleh bahagia bersama sekarang, Adinda akan mencari bagian Dinda sendiri di sini, walau itu sulit tanpa kalian berdua, tapi Dinda akan berusaha bangkit lagi, tolong jaga Dinda dari sana ya Bunda Ayah, sesekali datang lah ke mimpi Dinda, obati rasa rindu Dinda ya, hiks."
"Dinda pulang dulu, ayah bunda, besok Dinda datang lagi ke sini." ucap Adinda, dia berusaha bangkit sekuat tenaga, rasanya tubuhnya itu sudah tidak bertulang lagi, tatapannya kosong.
"Biar saya gendong bu." ujar Om Andi lansung membong Adinda yang tiada daya itu.
"Kasihan sekali kamu cantik." gumam seseorang di balik pohon sana, dia melihat Adinda dari tadi di sana.
Bersambung....