Akademi Valdris. Medan perang bagi calon jenderal, penasihat, dan penguasa.
Selene d’Aragon melangkah santai ke gerbang, hingga sekelompok murid menghadangnya.
"Kau pikir tempat ini untuk orang sepertimu?"
Selene tersenyum. Manis. Lalu tinjunya melayang. Satu tumbang, dua jatuh, jeritan kesakitan menggema.
Ia menepis debu, menatap gerbang Valdris dengan mata berkilat.
"Sudah lama... tempat ini belum berubah."
Lalu ia melangkah masuk. Jika Valdris masih sama, maka sekali lagi, ia akan menaklukkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#30 : Pecahnya Ilusi
Di ruangan yang penuh cahaya, suara langkah-langkah mendekat menggema di atas marmer. Tapi tak seorang pun memperhatikan. Mata semua orang terpaku pada dua sosok di tengah ruangan—dua gadis yang selama ini dikenal sebagai perwujudan keanggunan aristokrat, kini terjerat dalam amarah yang mendidih.
"Dasar ular berbisa!" Emilia mendesis, suaranya tajam bagaikan bilah pisau. "Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan, Vivianne? Kau ingin menghancurkanku, bukan?"
Vivianne mendongak, bibirnya melengkung ke dalam seringai yang tidak berusaha ia sembunyikan. "Aku?" katanya dengan nada terkejut yang dibuat-buat. "Kenapa aku harus bersusah payah menjatuhkan seseorang yang sudah jatuh sendiri? Kau yang merusak dirimu, Emilia. Aku hanya menikmati pertunjukannya."
Emilia, yang selama ini menjaga citra sempurnanya dengan telaten, kini merasakan kendali itu runtuh. Tangan putihnya terangkat, dan—plak! Tamparan itu menggema di aula.
Keheningan sejenak.
Vivianne perlahan menoleh kembali ke Emilia, ekspresi kagetnya lenyap, digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Ia mengangkat tangannya sendiri, siap membalas, tapi—
"Cukup."
Suara berat itu membelah udara. Para siswa yang berkerumun tersentak dan mundur saat seorang pria dalam jubah hitam bersulam emas melangkah masuk. Tanda kekaisaran di dadanya berkilat di bawah cahaya lilin. "Vivianne Lancaster," katanya, matanya dingin seperti es. "Kaisar memanggilmu ke istana. Segera."
Rasa dingin menjalari tulang punggung Vivianne.
Kaisar?
Ia melirik Emilia dengan jijik, berpikir bahwa gadis itu pasti telah mengadu. Tapi ini bukan saatnya membantah. Tanpa sepatah kata pun, ia merapikan gaunnya dan mengikuti pria itu keluar.
***
Di Istana Kekaisaran
Ruangan itu luas dan megah, dengan pilar-pilar tinggi yang menjulang seperti raksasa bisu. Di ujungnya, duduklah Kaisar—sosok yang tidak perlu meninggikan suara untuk membuat seluruh ruangan merunduk dalam ketakutan.
Vivianne berlutut, menjaga ekspresi tenangnya. "Yang Mulia."
Kaisar menatapnya lama sebelum akhirnya berbicara. "Kenapa kau memotong pasokan ke Ravenhollow?"
Vivianne menahan diri untuk tidak menunjukkan keterkejutan. Ia melirik ke samping, ke arah Emilia yang berdiri dengan angkuh. Jadi ini ulahmu? pikirnya, jijik. Bahkan dalam permainan antar murid, kau harus menyeret Kaisar?
Namun, ia tidak bodoh. Jika Kaisar sendiri menanyainya, ini bukan sekadar permainan.
"Saya tidak menyangkal bahwa saya mengambil bagian, Yang Mulia," katanya akhirnya, suaranya tetap tenang. "Namun, saya hanya mengikuti arus. Para pejabat di Eriston telah melakukannya lebih dulu. Saya melihat kesempatan."
Kaisar tidak bereaksi. Ia hanya melirik pria di sampingnya—menteri kepercayaannya—yang segera bergegas keluar ruangan.
Ketegangan menyelimuti aula. Waktu terasa melambat. Vivianne bisa mendengar detak jantungnya sendiri saat ia menunggu.
Kemudian, dalam hitungan jam, menteri itu kembali. Dan hasilnya mengejutkan.
"Yang Mulia," katanya dengan suara berat, "Pasokan ke Ravenhollow telah dipotong selama bertahun-tahun. Mereka nyaris tidak menerima apa pun."
Beberapa pejabat yang hadir tampak gelisah.
"Bantuan dari pemerintah pusat dipotong di Redmond," sang menteri melanjutkan. "Lalu dipotong lagi di Eriston. Pada akhirnya, Ravenhollow hanya menerima sisa-sisa."
Ruangan menjadi lebih dingin.
Kaisar menatap pejabat-pejabat di hadapannya, sorot matanya tak terbaca. Lalu, ia berbicara—lambat, setiap kata membawa ancaman yang tak tersurat.
"Siapa pun yang mengambil hak kota itu... akan mengembalikannya sepuluh kali lipat. Jika tidak—" ia berhenti sejenak, memberikan mereka waktu untuk memahami konsekuensinya, "hukuman mati."
Beberapa pejabat tampak pucat.
Kaisar menggeser pandangannya ke Vivianne. "Dan kau."
Vivianne menegakkan punggungnya, tapi ia tahu bahwa tak ada jalan keluar.
"Kau bukan hanya gagal dalam ujian ini, Vivianne Lancaster." Suara Kaisar menggema di ruangan. "Nilaimu dinyatakan tidak lulus. Dan kedudukan keluargamu... akan menanggung akibatnya."
Darah Vivianne terasa membeku.
Tidak.
Bukan hanya hukuman dari Kaisar—ia bisa membayangkan ekspresi ayahnya, kekecewaan yang akan terukir di wajah pria itu. Statusnya, reputasinya, semuanya hancur dalam sekejap.
Dan saat ia berbalik untuk pergi, ia melihat sekilas ekspresi Emilia.
Puas.
Darahnya mendidih. Jika ada orang yang ia benci sekarang, bukan hanya Kaisar atau pejabat-pejabat istana—tapi Emilia.
***
Sementara itu, di Ravenhollow...
Selene berdiri di atas tanah berbatu, mengawasi para penduduk yang bekerja dengan semangat baru. Mereka menandai bebatuan langka yang telah ditemukan, dan beberapa pria telah mulai menggali lebih dalam.
Selene tersenyum.
Bodohnya mereka yang menganggap Ravenhollow tidak berharga. Kota ini bukan hanya memiliki tambang batu langka, tapi permata.
Ia menyapu pandangannya ke sekeliling. Ada satu pertanyaan yang mengusik pikirannya—mengapa selama ini kota ini dibiarkan terabaikan?
"Jangan-jangan, seseorang memang sengaja membiarkan Ravenhollow hancur..." pikirnya.
Tawanya yang sebelumnya renyah kini terhenti. Ia harus menulis surat lain untuk Kaisar.
Yang pertama, soal tambang permata ini. Kaisar harus mengirim orang kepercayaannya agar penduduk sini tidak dibodohi lagi.
Yang kedua, penyelidikan lebih lanjut—siapa yang selama ini ingin menghancurkan kota ini?
Dan yang terakhir...
Ia menoleh ke arah mata air panas yang kini telah dibersihkan. Lilin-lilin yang tergantung di pohon-pohon menciptakan cahaya lembut, memberi tempat itu kesan mistis dan menenangkan.
Ia akan mengundang para prajurit Kekaisaran untuk mencoba sendiri air ini.
Dengan begitu, mereka akan menjadi iklan berjalan.
Selene tersenyum puas.
"Ravenhollow akan menjadi kota terkaya di Kekaisaran."