Kenzo awalnya adalah siswa SMA biasa, namun karena pacarnya dibunuh, ia bangkit melakukan perlawanan, menggunakan belati tajam dan menjadi pembunuh berantai.
‘Srett…srett… srett… srett’
Remaja itu memenggal kepala setiap orang, dan Kepala-kepala itu disusun di ruang pribadi hingga membentuk kata mengerikan "balas dendam".
BALAS!
DENDAM!
Ruangan itu seolah seperti neraka yang mengerikan!
Kenzo dijebloskan ke penjara sejak saat itu! Di penjara, Kenzo, yang telah berlatih seni bela diri sejak kecil, bertarung melawan para pengganggu penjara dengan seluruh kekuatannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pria Bernada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Kesempatan Untuk Daren
Tepat saat Harimau Gila terengah-engah menatap tubuh Axel dengan seringai dingin di wajahnya, pertarungan yang lebih mengguncang jiwa meletus di Gedung Naga Lagit.
Kenzo menempelkan kedua telapak tangannya untuk menangkis pukulan kanan Daren yang menghantam seperti palu besar. Tanpa memberi ruang jeda sedikit pun, dia langsung menggesekkan kedua telapak tangannya dengan kekuatan penuh—
Srek! Srek!
Dua potongan daging besar langsung terkikis dari lengan Daren.
“Aaaaaaargh!”
Teriakan melengking memecah udara. Dengan mata merah membara dan darah menetes deras dari lengan yang tercabik, Daren mencengkeram dada Kenzo dengan tangan kirinya—menargetkan jantungnya. Serangan yang dipenuhi rasa sakit itu memaksa Kenzo untuk mundur, sekaligus menyelamatkan lengan kanannya dari patah total.
Tatapan Kenzo berubah tajam. “Refleksmu makin cepat. Kalau begini terus... tak butuh sepuluh ronde.”
Daren sudah jauh dari citra prajurit elegan yang dulu disegani. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat dan darah, luka-luka terbuka menganga, napasnya berat, namun matanya masih menyala. Barusan, ketika tangannya tergesek oleh kekuatan mengerikan milik Kenzo, nyaris tak ada lagi daging yang tersisa. Sensasi "daging yang terlepas dari tulang" itu... hampir membuatnya kehilangan kesadaran.
Dengan tubuh yang gemetar dan penuh darah, Daren berdesis: “Kenzo, aku ulangi lagi. Kamu mungkin kuat. Kamu pintar. Permainanmu pagi ini licin sekali, nyaris menipu semuanya. Tapi semua itu... belum cukup! Belum cukup untuk membuatku tunduk! Aku—Daren—tidak akan menyerah... bahkan jika aku harus mati!”
Kenzo menyipitkan mata, nada suaranya makin dingin. “Jadi kau lebih memilih dikubur hidup-hidup?”
“Hmph. Lebih baik mati dalam pertempuran... daripada hidup sebagai pecundang!”
Baru saja kata-kata itu keluar dari mulutnya, dunia Daren tiba-tiba berguncang.
Duggghh—!
Sebuah pukulan keras menghantam perut bawahnya. Tubuhnya langsung membungkuk seperti udang rebus, napasnya tertahan, wajahnya memerah seperti darah segar yang mendidih.
Tanpa memberi kesempatan untuk menghirup udara, Kenzo menyapu siku kanannya dan menghantam punggung Daren sekuat tenaga.
BRAK!
Tubuh mantan pemimpin nomor satu di gedung Timur itu terlempar ke lantai—tidak bergerak, hanya sedikit kejang karena rasa sakit yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Kenzo, yang dikenal sebagai bayangan kelam dari dunia bawah, bukan hanya petarung. Ia adalah algojo yang paham betul anatomi manusia—dan menggunakan ilmu itu bukan untuk menyelamatkan, melainkan menghancurkan. Setiap pukulan, setiap tendangan, mengenai titik vital yang menyebabkan organ dalam bergetar. Dan akibatnya? Rasa sakit yang tidak bisa ditahan oleh manusia biasa.
Meskipun Daren sempat mendaratkan beberapa pukulan balasan, namun rasa sakit luar biasa yang dirasakannya justru memperlambat refleks dan kekuatannya sendiri. Perlahan, ia pun jatuh dalam jurang kekalahan yang makin dalam.
Kenzo berdiri di atas tubuhnya yang tergeletak. Nada suaranya mengejek, dingin, menusuk:
“Jadi ini kekuatanmu? Hah. Aku kira kau cukup tangguh, sampai-sampai aku datang sendiri untuk menghadapimu. Kalau saja aku tahu sejak awal kau hanya seperti satu butir beras, seharusnya aku biarkan Max mencincang Axel dulu... lalu aku sendiri yang mengurusmu belakangan.”
Tubuh Daren bergetar. Ia perlahan mendongak, menatap Kenzo dengan mata berdarah, suara seraknya pecah bersama luka di tubuhnya:
“Kenzo... apakah kau sudah lupa pada sumpahmu sendiri?”
“Kau dulu berkata hanya ingin hidup tenang, tak ingin ada yang mengganggu kedamaianmu. Kau tidak akan memprovokasi siapa pun. Tapi lihat dirimu sekarang…”
“Dalam satu pagi—kau membunuh Damian dan Zevam dengan tanganmu sendiri. Kau biarkan Pangeran Kael dan Lucas mati sebagai tumbal permainanmu. Dan sekarang... kau ingin menghapus Axel dan aku juga. Kenzo... inikah kedamaian yang kau maksud?”
Kenzo menatap tubuh Daren yang tergeletak di kakinya. Sorot matanya tenang, namun di balik ketenangan itu tersembunyi bara yang tak padam. “Kau ingin tahu alasannya?” Ia menyeringai pelan, sinis, dan penuh luka. “Baiklah, aku akan memberitahumu.”
Suaranya datar namun menggigit.
“Karena aku ingin keluar. Aku ingin hidup dengan benar. Aku muak menjadi boneka. Aku ingin mengendalikan hidupku sendiri. Aku tak akan jadi seperti kau... dan aku tak akan jadi diriku yang dulu—menonton segalanya hancur, tanpa bisa berbuat apa-apa. Bahkan kekuatan pun tak ada artinya kalau kita tak bisa melindungi apa yang penting.”
Ia menunduk, menatap darah yang membasahi lantai. “Sedangkan Axel... aku memang bisa membujuknya menyerah. Tapi Max yang menawarkan diri. Kau tahu wataknya. Sekali bergerak, tak ada yang ia sisakan hidup. Dan sekarang, tinggal kau. Pilih: menyerah… atau mati.”
Daren tertawa kecil, pelan, seperti hembusan napas terakhir dari bara yang hampir padam. Ia menundukkan kepalanya, dan suaranya terdengar seperti gumaman dari dunia lain:
“Hatiku sudah lama hancur, Kenzo. Sudah lama aku mati, hanya tubuhku saja yang tersisa. Aku... sama sepertimu. Tidak. Sama seperti dirimu yang dulu—lelah, kecewa, terluka terlalu dalam. Maka lakukanlah.”
Ia memejamkan mata, menerima nasib dengan tenang, seperti prajurit yang telah menyelesaikan perang terakhirnya.
Kenzo memandangi sosok yang sudah tak lagi melawan itu. Ia terdiam cukup lama, seolah sedang memikirkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar menang atau kalah. Lalu perlahan, ia mengangkat tangan kanannya, membentuk posisi awal teknik “Cakar Elang” yang pernah dikuasai Harimau Gila—gerakan mematikan yang jarang sekali ia pakai.
“Seorang pengecut... tidak berguna bagiku,” ucapnya dingin, penuh penghinaan.
Pengecut?
Tubuh Daren sedikit bergetar. Rasa sakit yang baru—lebih dalam dari luka mana pun—muncul di matanya. Luka batin yang tak berdarah, namun mengiris seperti ribuan belati. Tapi ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengatupkan mulutnya rapat-rapat... dan menutup matanya untuk terakhir kalinya.
Kenzo mendekatkan cakarnya ke dada Daren. Ujung jari-jarinya mulai menembus seragam penjara yang compang-camping...
“Elang... Saudara Elang! A-ada yang mencarimu!”
Suara gemetar itu datang dari arah pintu. Seorang sipir penjara berdiri di sana, tubuhnya menggigil seperti daun diterpa badai.
Kenzo menoleh dengan lambat. Tatapannya membuat udara mendadak mencekam. Si penjaga mundur setengah langkah, wajahnya pucat pasi. Ia menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap langsung. Bahkan napasnya pun tertahan.
Sipir penjara yang biasanya pongah, sekarang mengecil seperti tikus di hadapan binatang buas. Tubuhnya gemetar, suaranya tercekat, dan keringat dingin menetes dari pelipisnya. Ia nyaris tersungkur hanya karena ditatap.
Tapi bagaimana tidak?
Orang yang kini bersimbah darah di lantai itu—Daren—dulunya adalah penguasa tertinggi di gedung Timur. Sosok yang bahkan membuat kepala distrik hukuman mati menyeringai sungkan saat berpapasan.
Namun sekarang?
Di hadapan Darah Elang, bahkan seekor harimau pun tak lebih dari anjing jalanan yang ditendang ke selokan. Dunia sudah jungkir balik. Neraka naik ke permukaan. Dan di pusat semuanya berdiri seorang pria dengan tangan berlumur darah... dan mata yang tak lagi menyimpan belas kasihan.
"Y-ya... ya, itu... dibawa oleh Wakil Sipir sendiri. Sepertinya dia pejabat... tinggi."
Wakil Sipir? Pejabat tinggi?
Jantung Kenzo berdegup sedikit lebih cepat. Firasatnya langsung menyala.
Mereka datang secepat ini?
Ia baru saja membantai sang pangeran Kael dan semua orang kepercayaannya tak sampai satu jam yang lalu. Tapi kini... mereka benar-benar telah tiba.
Itu berarti satu hal: mereka sudah berada di sini sejak awal.
Mengawasi. Mengintai. Menunggu.
Daren, yang sedari tadi menanti kematiannya dengan mata tertutup, masih terdiam di tanah. Cakar kanan Kenzo sudah nyaris menembus jantungnya… namun, tangan itu kini ragu.
Ia menatap wajah Daren yang tampak damai, seperti seseorang yang telah merelakan segalanya. Namun justru di situlah masalahnya.
"Hatimu sudah mati karena kau kehilangan harapan untuk hidup, Daren. Tapi justru karena hatimu mati, itu berarti kau masih punya sesuatu yang tak bisa kau lepaskan. Dan itulah yang menyiksa jiwamu siang dan malam."
Kenzo menarik napas dalam, menenangkan gejolak di dadanya.
"Aku tidak akan memujimu karena kekuatanmu. Tapi aku juga tidak akan membunuhmu karena kelemahanmu. Hari ini, aku akan memberimu sebuah kesempatan—kesempatan untuk keluar dari kandang neraka ini... bukan dengan sembunyi, tapi dengan kepala tegak. Kau masih bisa melihat dunia luar. Masih bisa menyelesaikan semua yang belum kau tuntaskan. Tapi syaratnya satu: menyerah padaku. Ikuti aku... sepenuhnya. Mulai hari ini, hidupmu adalah milikku. Ambil waktu satu hari untuk berpikir, dan saat aku kembali… berikan jawabannya."
Mata Daren perlahan terbuka—sepasang mata yang tadinya kelabu, kini bersinar redup namun menakutkan. Di dalamnya berkobar nyala api kecil... api kehidupan.
Api dari orang yang telah kehilangan segalanya… namun tiba-tiba disodori secercah cahaya.
Kenzo tersenyum samar. Pandangannya menusuk lurus ke mata mantan rivalnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik.
Melangkah keluar dari sel dengan langkah tenang, ia berkata singkat kepada sipir penjara yang berdiri kaku di dekat pintu:
"Pimpin jalan."