Setelah mengetahui sebuah rahasia kecil, Karina merasa bahwa ia akan mendapatkan banyak keuntungan dan tidak akan rugi saat dirinya mendekati Steve, pewaris dari perusahaan saingan keluarganya, dengan menawarkan sebuah kesepakatan yang sangat mungkin tidak akan ditolak oleh Steve. Sebuah pernikahan yang mendatangkan keuntungan bersama, baik bagi perusahaan maupun secara pribadi untuk Karina dan Steve. Keduanya adalah seseorang yang sangat serius dan profesional tentang pekerjaan dan kesepakatan, ditambah keduanya tidak memiliki perasaan apa pun satu sama lain yang dapat mempengaruhi urusan percintaan masing-masing. Jadi, semuanya pasti akan berjalan dengan lancar, kan? * * Cerita ini hanyalah karangan fiksi. Baik karakter, alur, dan nama-nama di dalam tidak ada sangkut paut dengan dunia nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theodora A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
•
Deman Karina benar-benar mereda saat jam makan malam tiba.
Karina keluar dari kamar untuk bergabung dengan keluarganya yang lain untuk makan malam. Kedua ibunya menyambutnya dengan gembira dan memberikannya pelukan hangat. Mungkin setelah malam sebelumnya yang ia lalui dengan penuh kekalutan, satu hari istirahat adalah hal yang memang sangat Karina butuhkan.
Tapi meski sudah beristirahat seharian, pikiran Karina masih terasa gelisah, bahkan lebih gelisah dari sebelumnya.
Bahkan ketika dirinya dikelilingi dengan makanan yang lezat di atas meja, diterangi cahaya lilin serta tawa yang hangat, ada bayang-bayang yang berseliweran di benaknya. Bayangan dari seorang pria berambut pirang, bermata lebar, dengan senyum yang cerah.
Felix.
Aroma parfum yang biasanya selalu ia hirup saat memeluk pria tersebut juga entah bagaimana samar-samar tercium di hidungnya.
Kata-kata Steve tadi siang terus terngiang-ngiang di otaknya, seperti kaset yang diputar berulang-ulang kali tanpa henti.
Kapan terakhir kali kamu menghabiskan waktu yang berarti bersama Felix?
Seharusnya tidak sesulit itu bagi Karina untuk mengingat kapan terakhir kali mereka benar-benar menghabiskan waktu yang begitu berarti bersama.
Felix dan dirinya berbagi banyak kenangan indah.. seperti bolos kuliah untuk bermesraan di ruang peralatan kebersihan di belakang kampus secara diam-diam. Felix yang menyelinap ke asrama wanita untuk menemui dirinya. Mereka yang diam-diam berciuman mesra di balik tirai yang tertutup saat lampu meredup di panggung kelulusan. Panggilan telepon yang penuh tawa. Malam di mana Felix akan mengecupnya dengan mesra, dan jari Karina yang akan membelai pelan rambut Felix. Saat-saat dimana mereka merencanakan masa depan sambil menikmati wine. Dirinya dan Felix yang selalu menari perlahan ditemani alunan musik yang menenangkan. Atau dirinya yang tenggelam dalam tatapan Felix yang dalam dan menenangkan.
Ada banyak sekali momen berharga dan berarti yang mereka habiskan bersama. Namun kenapa rasanya Karina tidak bisa mengingat momen mana yang benar-benar terasa berarti semenjak dirinya menikah? Apa yang telah berubah?
Sepanjang sisa makan malam itu, Karina beroperasi dalam mode auto pilot. Ia tertawa setengah hati ketika mendengar orang lain tertawa, memberikan respon yang hambar setiap ada yang mencoba melibatkannya dalam percakapan, mengaduk-aduk makanannya dan sesekali ingat untuk memasukkannya ke dalam mulutnya agar ia tidak ditanyai dan menimbulkan kekhawatiran.
Sembari menghabiskan isi piringnya, obrolan ibu dan ibu mertuanya masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Jika dirinya ditanyai kembali apa isi obrolan mereka, Karina dengan pasti tidak akan bisa menjawabnya. Karina sibuk dengan pikirannya hingga tidak menyadari satu tatapan dari seberang meja makan.
Selain pertanyaan dari Steve, suara Felix juga terus berputar di dalam kepalanya bagaikan gema yang tidak ada habisnya. Suara yang biasanya memberikan ketenangan dan kenyamanan baginya sekarang terdengar menakutkan seperti mimpi buruk yang menghantui.
Mengapa aku merasa harus bersaing dengannya untuk mendapatkan cintamu, disaat ini semua seharusnya bukan sebuah persaingan? Siapa sebenarnya pasanganmu, Karina?
...----------------...
Setelah makan malam selesai, mereka kembali ke kamar masing-masing, dengan ibunya yang mencium kening Karina sambil mengucapkan selamat malam seperti saat dirinya masih kecil dulu. Hal ini biasanya membuat Karina merasa sangat bahagia, tapi sekarang ia hampir tidak merasakan bibir ibunya menempel di dahinya.
Karina memilih untuk tidak langsung masuk ke dalam kamar. Ia memilih untuk duduk di sebuah bangku di mini-bar dekat dapur. Ia telah menghabiskan cukup banyak waktu di sana, mencoba menikmati keheningan dan kesendiriannya ini. Mungkin jika cukup lama duduk di sini, dirinya akan merasa sedikit membaik.
Dan mungkin ini juga adalah saat yang tepat untuk memberikan Steve sedikit privasi. Tidak seperti dirinya, Steve mungkin perlu privasi untuk menelepon pacarnya. Karina terkekeh hambar saat membayangkan dirinya yang harusnya juga sedang menikmati waktu menelepon pacarnya sendiri.
Karina duduk sendirian di konter yang terbuat dari batu obsidian, berputar-putar pelan di bangku yang didudukinya. Satu gelas wine yang cukup besar ada di genggamannya. Di sebelahnya ada botol wine yang sudah diminum setengah, dengan stiker tulisan tangan sebagai label dan coretan samar sebagai logo. Jika pikirannya yang berkecamuk ini tidak melambat juga, Karina pikir ia mungkin bisa memanfaatkan wine ini untuk memperlambatnya.
Karina akan menggunakan sampel yang sedang ia cicipi ini sebagai bahan untuk menghilangkan kesedihannya.
Keadaan mansion sudah sepi. Semua pelayan sudah kembali ke kamar masing-masing. Karina menatap ke luar jendela besar di hadapannya dan melihat beberapa penjaga keamanan yang sedang berpatroli di halaman. Langit malam ini benar-benar sangat bersih, tidak ada kerlap-kerlip bintang seperti yang ia lihat di pantai kemarin malam. Tapi setidaknya ada bulan purnama yang menemaninya malam ini.
"Kamu akan menghabiskan satu botol itu sendirian?"
Sebuah suara membelah keheningan yang tenang. Karina tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa orang itu, dari sudut matanya ia melihat Steve yang menggeser bangku dan duduk di sana. "Kamu terlihat menyedihkan."
Karina mendengus pelan, kembali menyesap wine sebelum menoleh ke arah Steve yang menatapnya dengan kening yang sedikit berkerut. Karina sedang tidak mood untuk menjawabnya. "Aku memang merasa begitu."
Steve mengalihkan wajahnya, memilih mengambil gelas untuk dirinya sendiri dan mengisinya dengan wine dari botol sama. "Ini adalah sampel kedua. Baru saja dikirim ke sini tadi pagi setelah mereka menyesuaikannya dengan masukan dari kita." Sesuai dengan sifat khasnya, Steve tidak membuang waktu untuk langsung membahas soal pekerjaan.
Setelah menyesap wine nya, Steve bertanya. "Apakah ada yang terasa berbeda dari sampel ini?"
Karina berpikir, meletakkan gelasnya dan menaruh tangan di bawah dagunya. Satu hal yang hampir selalu menjadi bahan percakapan di antara mereka adalah tentang pekerjaan, jadi mungkin ini adalah pengalihan yang ia butuhkan. Karina merasa dirinya berhutang budi pada Steve kali ini. "Apakah mereka menambahkan anggurnya? Rasanya lebih kuat. Aromanya juga lebih kuat, tapi alkoholnya agak terlalu menyengat untukku pada awalnya."
"Hmm. Ada sensasi membakar di tenggorokan selama beberapa saat setelah menelannya," Steve menambahkan, sambil memutar-mutar cairan merah wine di dalam gelasnya. Melihat cairan wine yang berputar sempurna di dalam gelas yang Steve pegang membuat Karina tersenyum tipis. Itu adalah cara mengetahui bahwa seseorang adalah seorang penikmat wine sejati.
Beberapa detik keheningan yang canggung menyelimuti area bar saat Karina tidak berbicara lagi. Matanya menatap ke kejauhan.
Steve harus kembali bersuara untuk memecah keheningan. "Ini sudah larut malam, apa kamu tidak mau tidur?"
"Aku sudah menghabiskan cukup banyak waktu untuk tidur hari ini," jawab Karina, mengetuk-ngetukkan jarinya ke sisi gelas. Dentingan lembut yang berirama adalah satu-satunya suara yang terdengar di antara mereka sampai Karina melanjutkan. "Dan aku rasa aku juga tidak akan bisa tidur."
"Jadi kamu memutuskan untuk berlarut dalam keputusasaan dan minum-minum semalaman seperti orang yang tak punya harapan?"
"Apakah kamu lebih suka kalau aku lari keluar rumah lagi seperti kemarin?" tidak ada nada bercanda dalam ucapan Karina saat ia menjawab. Ketika Steve tidak merespon, Karina melirik, mengintipnya dengan rasa ingin tahu.
Steve ternyata sedang menatapnya dengan sorot matanya yang terlihat penuh dengan kekhawatiran, dan itu membuat Karina mendengus pelan. Mengapa dikhawatirkan oleh seseorang membuat Karina merasa aneh? Terutama orang yang mengkhawatirkannya adalah Steve.
"Kamu punya waktu sampai sisa malam ini untuk bersedih. Besok, kamu sudah harus kembali bekerja."
Karina menarik kembali pikirannya yang menganggap bahwa Steve mungkin mengkhawatirkannya. Pria ini sepertinya memiliki lubang hitam dihatinya.
"Sungguh perhatian sekali," ujar Karina dengan nada bercanda, bibirnya menampilkan senyum tipis. "Apakah kamu mengharapkan aku menangis sepuas-puasnya?"
Tanggapan dari Steve terdengar sangat serius, "Apakah itu akan membantumu merasa lebih baik?"
Karina harus terdiam di bawah tatapan tajam Steve, merenung sejenak atas pemikiran itu. Ia mungkin bisa menghitung berapa kali dirinya menangis sepanjang hidupnya hanya dengan satu tangan. Dan Steve sudah melihat salah satunya.
Jika dirinya menangis lagi di hadapan Steve, pria ini akan menjadi orang yang paling banyak melihat air matanya. Karina mungkin harus membunuhnya demi menjaga martabatnya. Bahkan ibunya hanya pernah melihatnya menangis sekali, dan itu adalah saat pertama kali ia jatuh dari sepeda pada usia enam tahun.
Namun, Karina menimbang-nimbang ide tersebut, karena rasa sakit di dadanya ini benar-benar menyesakkan. "Jika kamu terus memendamnya, itu hanya akan membuatmu semakin menderita. Sebaiknya keluarkan saja dari semuanya selagi masih bisa."
Karina menelan ludah. Seketika ia merasa susah untuk menahan emosinya, padahal dirinya tidak seperti ini biasanya. Karina biasanya selalu mencoba mengukur setiap hal secara logika, memasukkan segala sesuatu ke dalam kategori-kategori yang rasional, hanya melakukan apa yang menurutnya masuk akal.
Karina benci karena apa yang baru saja dikatakan Steve masuk akal.
Karina tidak menyadari bahwa tangannya gemetar sampai Steve menggenggam tangannya dengan erat. "Kamu sudah membuatku bersumpah untuk tidak menertawaimu, kan? Jadi berhentilah bersikap keras kepala," suara Steve terdengar sangat serius. "Dan supaya aku tidak perlu terbangun karena tangisanmu lagi."
Tatapan Steve tajam, seperti mencoba meruntuhkan barikade yang telah Karina bangun selama bertahun-tahun. "Kamu sendiri yang mengatakannya," ada kilatan tersembunyi di balik manik Steve yang gelap, genggamannya pada tangan Karina menguat. "Kita berteman baik sekarang, kan?"
Teman, Karina terdiam, kata itu bergema di dalam pikirannya. Mungkin itulah yang ia butuhkan saat ini. Seorang teman.
Ada jeda satu menit saat Karina tidak merespons, dan tak satu pun dari mereka mengatakan apa pun. Steve terus menatapnya, seolah-olah menunggu pertahanannya untuk runtuh.
•
•