Maksud hati merayakan bridal shower sebagai pelepasan masa lajang bersama teman-temannya menjelang hari pernikahan, Aruni justru terjebak dalam jurang petaka.
Cita-citanya untuk menjalani mahligai impian bersama pria mapan dan dewasa yang telah dipilihkan kedua orang tuanya musnah pasca melewati malam panjang bersama Rajendra, calon adik ipar sekaligus presiden mahasiswa yang tak lebih dari sampah di matanya.
.
.
"Kamu boleh meminta apapun, kecuali perceraian, Aruni." ~ Rajendra Baihaqi
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 - Dia Milikmu, Sepenuhnya.
“Apa kamu bilang?”
Mata Kadita membulat sempurna, menatap Rajendra dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Suara pria itu masih terngiang jelas di telinganya, bagai ledakan kecil yang mengguncang emosinya.
“Menikah?”
Kadita sampai mengulang pertanyaannya, seolah berharap bahwa telinganya salah dengar. Namun demi Tuhan, itulah yang dikatakan Rajendra barusan. Dan itu terdengar seperti lelucon paling kejam di dunia.
Rajendra tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan, gerakannya lambat, malas, seakan-akan tak ingin membuang napas untuk penjelasan yang menurutnya tak lagi berguna.
“Nggak mungkin! Kamu jangan ngaco, Rajendra!” bentak Kadita, suaranya sedikit bergetar karena rasa tidak percaya yang bercampur marah.
“Aku serius,” balas Rajendra datar. Tak ada emosi. Tak ada penyesalan.
Sontak Kadita tertawa hambar. Sakitnya menyesak, merayap dari dada sampai ke ubun-ubun. “Segitunya ya? Kamu nggak bisa kasih alasan lain yang lebih masuk akal buat mutusin aku, Rajendra?”
Tak segera menjawab, Rajendra menarik napas panjang, dalam, lalu menghembuskannya perlahan seperti menahan amarah. “Kadita, dengar baik-baik. Aku nggak punya waktu untuk berdebat. Sekarang, keluar dari sini.”
Nada suaranya tegas. Perintah itu menggantung di udara, mengiris ego dan harga diri Kadita tanpa ampun. Jelas sekali, dia muak. Bukan hanya karena percakapan ini, tapi karena seluruh situasi yang menyertainya.
Baru saja dia menyelesaikan urusan panas dengan Agnes yang mencaci-maki dirinya di parkiran kampus, sekarang dia harus berhadapan dengan Kadita, mantan lainnya yang nekat menerobos masuk ke ruangan BEM demi menggali kebenaran dari mulutnya sendiri.
Dan yang membuatnya semakin jengah: Kadita tidak percaya padanya. Padahal, pengakuannya barusan bukan sekadar alasan mengada-ada. Itu kenyataan. Itu keputusan yang ia ambil dengan sadar dan sepenuh hati.
Jika dibilang tidak mencintai lagi, jawabannya sederhana: sejak awal dia memang tidak mencintai. Tidak pernah ada perasaan. Tidak ada janji. Hubungan-hubungan itu hanya permainan. Hiburan sesaat.
Rajendra hanya menunjukkan kepada dunia betapa hebat pesonanya. Dia bisa memiliki siapa saja. Dan fakta bahwa ketiga mantan pacarnya adalah idola kampus, diidamkan banyak pria lain, justru menjadi senjata untuk mengalahkan mereka secara psikologis. Menginjak harga diri para pesaingnya tanpa harus berkata apa pun.
“Katakan padaku siapa orangnya!” suara Kadita pecah, gemetar dan sarat emosi. Tangannya mengepal kuat, kuku-kukunya hampir mencakar telapak sendiri. “Siapa perempuan itu, Rajendra?!”
“Tidak perlu tahu. Itu privasiku.”
“Privasi, hah?! Jangan-jangan kamu cuma ngarang!”
“Persetan!” Rajendra membentak, amarahnya akhirnya meledak. “Aku nggak peduli apa pikiranmu, Kadita. Aku sudah bicara sejujur-jujurnya. Mau percaya atau tidak, terserah—”
Plak!
Sebuah tamparan keras menghantam pipinya. Suara tamparan itu bergema di ruangan yang hening, meninggalkan bekas merah menyala di wajah tampannya. Jari-jari Kadita tercetak sempurna.
Rajendra tidak membalas. Hanya menatap Kadita tajam, penuh peringatan.
“Kamu jahat, Rajendra.”
Rajendra mendengus. “Hem. Sejak awal kamu tahu siapa aku. Dalam hubungan ini, aku nggak pernah janji apa pun. Kamu yang datang, kamu yang minta aku jadi pacarmu. Jangan lupa itu.”
Kadita terdiam. Lidahnya kelu. Tidak ada kata yang cukup untuk membantah kebenaran itu. Dia ingat jelas, dirinyalah yang datang duluan. Bahkan rela jadi yang ketiga, asal bisa bersama Rajendra.
Tapi ketika pria itu memutuskan hubungan, kenapa dia tak bisa menerima?
“Hem, kamu belum pergi juga?” Rajendra mEngangkat alis, suaranya tenang tapi dingin. Sebuah kalimat pengusiran terselubung.
Karena tidak juga mendapat reaksi, Rajendra yang akhirnya melangkah pergi. Ia berjalan melewati Kadita tanpa menoleh sedikit pun.
Dia datang ke ruangan BEM untuk menenangkan diri. Tempat itu seperti rumah baginya. Dulu, sebelum keputusan besar itu diambil, ruangan ini adalah zona aman—tempatnya menyingkir dari keramaian.
Dan sekarang, setelah segalanya berubah, dia masih ingin menemukan ketenangan yang sama. Tapi kehadiran dua mantan pacarnya menghancurkan harapan itu.
“Benar-benar menyebalkan...” gerutunya di lorong, mengacak rambut dengan frustasi. “Dan Enrico juga ke mana? Katanya mau mulai pendekatan ke Kadi—eh?”
Langkah Rajendra terhenti. Matanya menangkap sosok yang familiar di taman belakang, tepat di balik jendela besar ruangan BEM.
“Aruni?” gumamnya pelan, alisnya berkerut. “Sedang apa dia di sana?”
.
.
"Ck, sudah kubilang rahasiain ... dia ngapain ngaku segala sih sama mantannya?"
Tanpa tahu bahwa Rajendra mengintai dari belakang, Aruni sibuk sendiri dan berperang dengan apa yang dia pikirkan.
Begitu jelas dia mendengar, bahwa Rajendra mengakui alasan sebenarnya dibalik keputusan yang dia ambil.
Meski memang dia tidak mengatakan siapa, tapi tetap saja Aruni ketar-ketir dan rasa takut bahwa nanti ketakutan kian besar.
Bahkan, ketakutan tentang itu sudah lebih besar dibanding takut akan anjloknya nilai mata kuliah yang dibimbing Pak Anas.
"Aduh, aku harus gimana ya? Kalau sampai ketahuan gimana? Nggak lucu kalau sampai ada tragedi di labrak mantan-mantannya yang brutal itu."
Ketakutan Aruni masih stuck di masalah itu saja. Dia mengusap kasar wajahnya, dan segera merogoh ponsel dengan maksud menghubungi Daddy-nya.
Sudah tentu dia mulai menata rencana dan berusaha mengantisipasi agar tidak terjadi masalah yang lebih besar nantinya.
Beberapa saat menunggu, panggilan itu terhubung seketika. "Dad ...."
"Yes, princess? Ada apa?"
"Ehm, aku ... aku mau pindah kuliah boleh tidak?" tanya Aruni hati-hati, khawatir sekali akan memancing amarah Daddy-nya karena sudah terlalu banyak permintaan sejauh ini.
"Kenapa lagi? Ada masalah? Hem?"
Aruni menunduk, dia ingin mengatakan yang sejujurnya, tapi bisa dipastikan Daddy-nya tidak akan menanggapi dan justru beralih mendukung Rajendra lagi.
"Saat ini belum, tapi ... aku khawatir ke depannya, Dad."
"Khawatir apa? Apa yang kamu khawatirkan, Aruni?"
"Khawatir saja, aku tidak mau dianggap perebut, Dad."
"Aduh, memangnya siapa yang kamu rebut?"
"Tentu saja Rajendra, siapa lagi kalau bukan?" Dia bertanya dengan nada begitu pelan, nyaris seperti bisikan lantaran khawatir sampai terdengar seseorang.
"Ada-ada saja, merebut Rajendra dari siapa memangnya?"
"Mantan-mantannya, Daddy!! Mereka banyak, serem semua."
"Mantan pacar maksudnya?"
"He'em, mantan pacar."
Renaga tergelak, bisa dipastikan merasa terhibur dengan keluh kesah Aruni saat ini. "Daddy kenapa ketawa sih? Di mana letak lucunya coba?"
"Ya kamu lucu, Rajendra itu suamimu ... secara Agama dan Negara, dia milikmu, sepenuhnya. Jadi tidak ada ceritanya kamu merebutnya dari siapapun, tahu?"
Ucapan Daddy-nya tak terbantahkan dan hal itu membuat Aruni muak seketika.
Tanpa pikir panjang, dia mengakhiri panggilan tersebut dan beranjak berdiri. Dan, ketika berbalik dia mendapati Rajendra tengah tengah berdiri tak jauh darinya dengan tangan yang masuk di saku celananya.
"Kamu ngapain di sini?" Aruni melirik kanan kiri, beruntung saja tempat itu sedang sepi.
"Aku yang seharusnya bertanya, istriku sedang apa di sini? Hem?"
.
.
- To Be Continued -
...Hai, last eps hari ini ... besok adalah jadwal eps 20, 21 dan 22, mohon jangan ditumpuk babnya ya cinta 🫶 Bye-bye ...
KK Desi thanks ya punya semoga KK sehat selalu🤲 di tunggu punya