Naya, hidup dalam bayang-bayang luka. Pernikahan pertamanya kandas, meninggalkannya dengan seorang anak di usia muda dan segudang cibiran. Ketika berusaha bangkit, nasib mempermainkannya lagi. Malam kelam bersama Brian, dokter militer bedah trauma, memaksanya menikah demi menjaga kehormatan keluarga pria itu.
Pernikahan mereka dingin. Brian memandang Naya rendah, menganggapya tak pantas. Di atas kertas, hidup Naya tampak sempurna, mahasiswi berprestasi, supervisor muda, istri pria mapan. Namun di baliknya, ia mati-matian membuktikan diri kepada Brian, keluarganya, dan dunia yang meremehkannya.
Tak ada yang tahu badai dalam dirinya. Mereka anggap keluh dan lemah tidak cocok menjadi identitasnya. Sampai Naya lelah memenuhi ekspektasi semua.
Brian perlahan melihat Naya berbeda, seorang pejuang tangguh yang meski terluka. Kini pertanyaannya, apakah Naya akan melanjutkan perannya sebagai wanita sempurna di atas kertas, atau merobek naskah itu dan mencari kehidupan dan jati diri baru ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Naya Sadar
Suara monitor jantung terus berdetak pelan, memecah kesunyian yang menggantung di udara. Naya masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat, dengan lebam di pipi dan luka di sudut bibir yang tampak mulai mengering. Infus terpasang di lengan kirinya, sementara alat bantu pernapasan membantu dadanya naik turun dengan ritme lambat.
Brian berdiri di luar ruangan, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Matanya merah, bukan hanya karena kelelahan, tapi karena kepanikan yang sejak tadi tak kunjung reda.
Lisa memeluk dirinya sendiri di sudut koridor, sesekali melirik sahabatnya dari balik kaca ruangan. Wajahnya masih menyisakan jejak air mata, dan meski sudah berusaha menahan diri, sorot kemarahan pada kakaknya tak bisa disembunyikan.
Langkah berat menggema di koridor.
Sang Jenderal datang, langkahnya tegas, wajahnya mengeras. Di sampingnya, Ny. Ratna, sang ibu, menyusul, meski ekspresinya sedikit lebih terkendali. Tapi jelas—mereka berdua marah.
“Brian.”
Suara Ayahnya memecah keheningan.
Brian mendongak, rahangnya menegang, namun ia tetap berdiri tegak.
" Ada apa ini Bi ? " Tanya Ratna dengan nama panggilan kesayangannya pada Brian.
" Mam .. Sungguh Brian pun belum tau apa yang sebenarnya terjadi. " Ucap Brian.
" Kalau kamu tidak tau, bagaimana Naya bisa ada disini bersama mu Brian ? " Tanya Wisnu, Ayah Brian.
" Naya nganterin Kakak semalem karena mabuk dan gak bisa nyetir. Lisa juga salah Pah, Lisa gak bisa pake mobil Kakak akhirnya Naya yang nganterin Kakak sendirian ke apartemen. Lisa gak sangka kejadiannya bakal kaya gini. " Jelas Lisa pada awal mula kejadiannya.
" Kamu mabuk Brian ? "
Plakk tamparan keras mendarat di pipinya.
" Sejak kapan kamu jadi sekacau ini ? "
" Brian salah mah pah, Brian minta maaf. Gak pernah terjadi sebelumnya sampai kaya gini. Brian bener bener gak sadar makannya Brian gak tau apa yang udah Brian perbuat. Nayaa .. Hmm .. Dia masih belum sadar. "
" Astaga Brian. " Ratna menutup mulutnya tak percaya, membayangkan separah apa hingga teman putrinya itu masuk ICU dan belum sadarkan diri.
" Dimana Naya ? Papah dan Mamah ingin melihatnya. "
" Ada di dalam Pah .. " Jawab Brian.
Pasien yang berada di dalam ICU tidak bisa di besuk oleh lebih dari satu orang hingga akhirnya mereka bergantian menemui Naya dan didampingi oleh Brian.
" Ya Tuhan ku Brian .. " Ratna terasa sesak.
" Naya " Ratna menggenggam hangat tangan Naya, Naya seusia dengan Lisa. Hati Ratna terluka mengingat bagaimana kalau ini terjadi pada putrinya.
" Brian, Lisa saudari mu seusia dengannya. Namun diusianya yang semuda ini harus menanggung banyak hal. Kesalahan mu ini tak termaafkan Bi. Posisikan bagaimana kalau ini adikmu Bi. "
" Maahh .. " Brian menutup mata dan menghela nafas dalam.
" Kamu harus mempertanggung jawabkan kesalahan mu Bi, sekalipun karir mu taruhannya. " Ultimatum Ratna lalu bangkit dan meninggalkan ruang ICU.
Ratna keluar sambil terisak, melihat istrinya cukup shock, Wisnu pun menghampiri lalu memeluk dan menenangkannya.
" Tolong Pah kasih Naya keadilan seadilnya, Mama tau karir Brian penting tapi kita juga punya anak perempuan seusianya. Mama gak bisa anak orang lain rusak karena anak kita. "
" Tentu Mam, sebesar apapun jabatan Papa, Papa tidak akan menggunakannya untuk membela yang salah. Kalau nanti Naya bangun dan mengajukan tuntutan pada Brian, Papa akan koperatif mengikuti prosedur seharusnya. " Jelas Wisnu.
Setelahnya orangtua Brian pun meninggalkan rumah sakit dan meminta Brian untuk terus mengabari perkembangan Naya. Berharap semua baik-baik saja.
Dua hari sudah Naya berada di ruang ICU, Di atas ranjang, Naya mulai bergerak sedikit. Jari-jarinya berkedut pelan, napasnya lebih teratur meski masih lemah. Kelopak matanya bergetar, berusaha melawan beratnya kesadaran yang selama ini tertahan.
Dan akhirnya, perlahan-lahan, matanya terbuka.
Pandangan Naya masih buram, atap putih di atasnya tampak berputar. Tenggorokannya kering, dadanya terasa berat, dan setiap inci tubuhnya terasa sakit.
Seorang perawat melihat pergerakan di ranjang Naya, lalu lekas menghampiri dan mendapati Naya yang sudah sepenuhnya sadar. Matanya menyelidik ke kiri dan ke kanan.
" Bu Naya .. Ibu sudah sadar ? "
Naya mengangguk pelan, ya yang Naya ketahui sekarang adalah dirinya ternyata berada di Rumah Sakit.
" Panggilkan dokter Brian. " Instruksi perawat tersebut pada rekannya.
Mendapati kabar Naya sudah sadar, Brian yang kebetulan di jam makan siang itu free, akhirnya berlari secepat kilat menuju ICU untuk memastikan keadaan Naya sekaligus melakukan pemeriksaan.
Sesampainya di ruang ICU, Brian langsung menghampiri bed Naya. Melihat Brian jantung Naya seakan hampir meledak, Brian menyadari nya karena kini monitor jantung menunjukkan angka hampir menyentuh 140 BPM.
" Kamu tenang dulu Nay, saya kesini sebagai dokter Kamu. Kalau kamu gak tenang, kemungkinan besarnya kamu harus di istirahatkan lagi. Kamu mau cepet pulang kan ? " Brian coba menenangkan Naya.
Ya pikiran Naya seketika terbang pada putranya Sean. Entah ini hari ke berapa dirinya di Ibukota yang pasti dia sudah terlambat dari janjinya pada Alvin. Naya yakin kini keluarganya pun khawatir.
Naya berusaha menarik alat bantu pernafasannya dengan sembarang karena ingin berbicara dan menanyakan ponselnya. Naya harus segera menghubungi Alvin
" Jangan Nay, biar saya yang lepas. " Brian memegang tangan Naya, segera Naya melepas nya.
Brian pun membantu melepaskan alat alat yang dirasa menghalangi mobilitas Naya. Setelah melalui beberapa pemeriksaan dan Naya terlihat tenang.
" Siapkan ruang perawatan ya sus. Kita pindahkan ke ruang perawatan. Keadaannya sudah cukup stabil. " Instruksi Brian pada perawat yang berjaga.
" Baik Dok. "
Brian duduk di kursi samping bed Naya.
" Hp .. " Ucap Naya dengan suara serak dan lemah nyaris tak terdengar.
" Ah iya, ini. Hp mu rusak jadi saya ganti ke ini dan datanya sempat saya pindahkan karena yang mati hanya layarnya. Semua data masih aman " Brian menyerahkan sebuah ponsel pengganti untuk Naya karena saat Brian pulang kemarin, Brian menemukan ponsel Naya dalam keadaan rusak. Ponsel itu merupaka ponsel dari brand ternama dan merupakan type tertinggi. Tak pernah ada dalam bayangan Naya bisa memiliki ponsel ini.
Naya enggan menerima.
" Siapa yang mau kamu hubungin ? Biar saya bantu. " Tawar Brian.
" A-Alvin .. " Ucap Naya dengan suara masih bergetar.
Brian mengerutkan keningnya, siapa Alvin itu.
Sesaat kemudian suara ponsel terhubung.
" Halo Nay ? Astaga kemana aja kamu Nay ? Aku hubungin kamu berkali kali tapi gak aktif. Aku khawatir, aku gak tau harus nyari kamu kemana. " Belum sempat Naya bicara, Alvin sudah lebih dulu melontarkan banyak pertanyaan.
" Gimana Sean ? " Tanya Naya lemah.
" Sean baik aja Nay, kenapa suara kamu gini ? "
" Aku sakit. Belum bisa pulang. " Jawab Naya singkat.
" Astaga, kamu dimana ? Aku susul kesana. "
" Gak usah, aku titip Sean aja tolong. "
" Tanpa kamu minta aku pasti jaga Sean. Kamu jangan khawatirin Sean. Yang penting diri kamu sendiri sekarang. "
Brian bertanya tanya dalam batinnya mengenai identitas Naya.