Arunika Nrityabhumi adalah gadis cantik berusia dua puluh tujuh tahun. Ia berprofesi sebagai dokter di salah satu rumah sakit besar yang ada di kotanya.
Gadis cantik itu sedang di paksa menikah oleh papanya melalu perjodohan yang di buat oleh sang papa. Akhirnya, ia pun memilih untuk melakukan tugas pengabdian di sebuah desa terpencil untuk menghindari perjodohan itu.
Abimanyu Rakasiwi adalah seorang pria tampan berusia dua puluh delapan tahun yang digadang - gadang menjadi penerus kepala desa yang masih menganut sistem trah atau keturunan. Ia sendiri adalah pria yang cerdas, santun dan ramah. Abi, sempat bekerja di kota sebelum diminta pulang oleh keluarganya guna meneruskan jabatan bapaknya sebagai Kepala Desa.
Bagaimana interaksi antara Abi dan Runi?
Akankah keduanya menjalin hubungan spesial?
Bisakah Runi menghindari perjodohan dan mampukah Abi mengemban tugas turun temurun yang di wariskan padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fernanda Syafira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Rumah Pak Kades
"Ca, ini masih jauh?" tanya Runi.
"Enggak kok, dok. Tuh gapura desa sudah kelihatan." Ica menunjuk gapura yang ia maksud.
Arunika bernafas lega kala melihat gapura yang di maksud Ica sudah terlihat. Perjalanan masuk ke desa yang tanpa penerangan, di tambah hujan juga medan ekstrem membuat Runi benar cukup ketar - ketir.
"Kita ke rumah pak Kades." ujar Abi yang memang sedari tadi tak banyak bicara.
"Maaf, apa masih jauh?" tanya Runi lagi.
"Enggak, dok. Kenapa? Dokter mual banget?" tanya Ica khawatir dan Runi pun mengangguk karena ia merasa ingin mengeluarkan isi perut yang sedari tadi teraduk - aduk.
"Mas Abi, cepat sedikit!" Ica menepuk - nepuk bahu Abi.
"Sendiko dawuh, kanjeng. (Siap laksanakan, tuan.)" jawab Abi yang kini melajukan mobilnya lebih cepat karena jalanan yang sudah halus dan hujan yang mulai reda.
Tak sampai lima menit, ketiganya memasuki sebuah halaman besar tanpa tembok pagar. Tradisi di desa itu memang tak di perbolehkan membuat pagar dari bata, bambu atau batang pohon. Pagar yang di perbolehkan hanyalah pagar tanaman hidup.
Arunika di buat takjub dengan keasrian rumah Kepala Desa. Terdapat dua rumah besar khas jawa kuno (joglo) yang berjejer dan sebuah rumah kecil yang berada di sebelah kanan.
Rumah besar itu di pagari dengan tumbuhan teh - tehan yang terpangkas rapi. Di sekeliling teras tampak tersusun bunga - bunga dengan pot tanah liat yang nampak aestetik.
"Ayo masuk, dok. Gerimis nih." Ica mengagetkan Runi yang masih terpaku.
Gadis manis itu menarik lengan Runi agar segera mengikutinya menuju ke dalam rumah. Sementara itu, Abi sudah lebih dulu berjalan masuk dengan menarik koper milik Runi.
"ini rumah pak Kades?" tanya Runi yang berjalan bersama Ica.
"iya, dok. Ini rumah paling mewah yang ada di desa." jawab Ica.
"Gayanya klasik sekali, ya? Berasa lagi di keraton." Puji Runi yang masih terkagum - kagum dengan rumah milik Kepala Desa itu.
Ukiran - ukiran di pintu, jendela dan juga di beberapa tiang, membuat kesan klasik khas jawa kian kental di rumah itu.
"Disini memang tidak ada rumah yang modern seperti di kota, dok." jawab Ica.
"Ayo masuk, dok. Itu pakde dan bude, eh Pak Kades dan Bu Kades maksudnya." imbuh Ica yang di jawab anggukan oleh Runi.
"Assalamualaikum...." Ucap Runi dan Ica hampir berbarengan.
"Waalaikumsalam." Jawab Pak Kades dan bu Kades.
"Sugeng rawuh, nduk ayu. (Selamat datang, anak cantik.)" Sambut Pak kades Ramah.
"Selamat datang di kediaman kami. Bagaimana perjalanannya?" imbuh Pak Kades kemudian.
"Terima kasih, Pak, Bu. Alhamdulillah perjalanan lancar." jawab Runi.
"Mari sini, duduk." ajak Bu Kades yang nampak masih segar walaupun guratan usia tak bisa di tutupi dari wajah ayunya.
"Baik bu." jawab Runi yang kemudian duduk di kursi.
"Pasti lelah sekali. Mereka berdua sempat panik karena mencari genduk di depan ndak ketemu, taunya lewat belakang." ujar Bu Kades.
"Iya, bu, pak, maaf merepotkan. Saya juga tidak tau kalau ada dua jalur masuk menuju desa ini." jawab Runi sungkan.
"Ndak apa, yang penting genduknya selamat sampai di sini." ujar Pak Kades.
"Pak, bu, maaf, boleh saya permisi ke kamar mandi sekalian menumpang sholat." tanya Runi.
"Oh! Njih, nduk. Biar di antarkan Ica, njih." ujar bu Kades.
Ica yang sudah terbiasa berada di rumah kakak dari bapaknya itu, mengantarkan Runi menuju ke kamar mandi. Setelah Runi berwudhu, Ica mengantarkannya menuju ke mushola yang berada tak jauh dari ruang keluarga.
"Arep ngopo, Ca? (Mau ngapa, Ca?)." tanya seorang pria yang hendak keluar dari mushola.
"Hih! Mas Agil ki ngageti wae! arep ngeterke bu dokter iki sholat to. (Hih! Mas Agil ini mengagetkan saja! Mau mengantarkan bu dokter ini sholat to.)" jawab Ica yang tadi sempat terjingkat.
"Owalah, mbak dokter yang baru dateng to? Kenalin nama saya Agil, anak bungsu pakdenya Ica." goda Agil.
"Saya Arunika." jawab Runi singkat.
"Lah gimana sih, Mas! Tinggal bilang anak bungsu pak Kades gitu!" gerutu Ica.
"Ndremimil wae!. Ora sholat kowe? Tak andakne pakdemu mengko! (Mengomel saja!. Gak sholat kamu? Aku bilangin pakdemu nanti!." Ujar Agil.
"Bapakmu to, Mas!. Kalau aku sholat, Mas Agil mau nanggung dosanya?" Tanya Ica.
"Ora sudi! Dusoku wae sak mboh - mboh!. (Gak sudi! Dosaku saja banyak banget.)" Tolak Agil.
"Gek ngopo to, sakjane? Enek wong sholat kok do padu wae? Kene tak adu pisan ning latar! (Ada apa sih, sebenarnya? Ada orang sholat kok pada ribut saja? Sini, tak adu sekalian di halaman!)." Suara bariton seorang pria yang belum lama Runi kenal menegur dua orang yang sedang adu mulut di depan pintu mushola.
Sementara itu, Runi hanya tersenyum melihat Ica dan pria bernama Agil itu beradu mulut di depan pintu mushola, walaupun Sholatnya jadi tertunda lagi.
Ia sungkan jika harus menegur si anak pemilik rumah karena menghalangi jalan menuju ke dalam mushola. Untung saja ada Abi yang menegur mereka.
"Iya, iya, Mas! Silahkan masuk, Mbak dokter. hati - hati di dalam ada bujang lapuk jomblo." ujar Agil sembari keluar dari pintu.
"Giiilll!!!!...." kembali suara Abi menegurnya.
"Iyaa, ampun sayang! Bercanda." jawab Agil yang langsung ngibrit meninggalkan Mushola sambil tertawa. Sementara itu Runi dan Ica hanya bisa ikut tertawa di buatnya.
"Huu!! Takutnya cuma sama Mas Abi saja!" ledek Ica di sela tawanya.
Setelah menunaikan kewajibannya, pak Kades meminta mereka makan malam bersama sebelum kembali melanjutkan obrolan di ruang tamu.
"Jadi gini, nduk. Di sini masih sangat minim untuk fasilitas kesehatan. Tenaga medis pun baru ada bu bidan Ica ini. Nanti, njenengan dan Ica akan bekerja di balai kesehatan, letaknya di samping kantor desa. Puskesmas terdekat harus di tempuh dengan dua puluh menit perjalanan. Njenengan benar siap bertugas di desa ini?" Tanya pak Kades.
"In syaa Allah saya siap, pak." jawab Runi mantap.
"Di desa ini, masih kurang percaya dengan tenaga medis, nduk. Mereka selalu berobat alternatif ke seorang sesepuh di desa ini. Anggap saja beliau ini adalah tabib dan dukun beranak di sini. Sayangnya mbah Siti ini sudah renta. Maka dari itu, kami ingin mendatangkan tenaga kesehatan agar warga desa bisa mendapatkan pengobatan yang lebih baik lagi." terang pak Kades.
"Kira - kira, peralatan apa saja yang sudah ada di balai kesehatan, pak?" tanya Runi.
"Biar Ica yang menjelaskan, Ica lebih paham karena sudah beberapa bulan bekerja di sana." jawab pak Kades dengan senyuman khas nya.
"Hanya ada alat medis standar seperti stetoskop, sphygmomanometer, easy touch GCU meter, perlengkapan infus, perlengkapan bersalin, beberapa obat - obatan dan peralatan darurat." jelas Ica.
"Kami baru mendapat bantuan sarana kesehatan, kabarnya bisa di ambil lusa di kantor dinas kesehatan. Dokter bisa lihat dulu apa yang ada di balai kesehatan. Jika ada obat - obatan atau perlengkapan darurat medis yang di perlukan, kami bisa membelikan dengan dana desa." imbuh Abi yang juga berada di ruang tamu itu.
"Baiklah, besok saya akan melihat alat apa saja yang tersedia dan apakah saya perlu tambahan alat dan obat - obatan lain. Kebetulan saya juga membawa alat medis dan beberapa obat - obatan dari rumah sakit." jawab Runi.
"Selama di sini, genduk tinggal di rumah bapak dan ibu. Di sebelah sana ada rumah yang bisa genduk tempati, sudah di beresi mbok Nah." ujar bu Kades sembari menunjuk ke arah rumah kecil yang tadi sempat Runi lihat.
"Iya, terima kasih, pak, bu." ujar Runi.