Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 KETULUSAN HATI
★★★
Cintia duduk di balkon kamarnya, angin malam menyentuh wajahnya yang masih dipenuhi kegelisahan. Keputusannya mematikan laptop tadi bukan akhir dari segalanya. Jika ia jujur pada dirinya sendiri, ini bahkan bukan kemenangan. Ini hanya penundaan.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Araf.
Araf: "Aku masih di taman. Kalau mau ngobrol, aku tunggu."
Cintia menatap pesan itu lama sebelum akhirnya mengambil jaket dan keluar.
---
Taman itu sepi, hanya ada Araf yang duduk di bangku yang sama seperti tadi. Ketika ia melihat Cintia datang, senyum kecil terbit di wajahnya—tidak sepenuhnya bahagia, tapi cukup untuk memberinya ketenangan.
"Kamu masih di sini," kata Cintia, duduk di sampingnya.
"Kukira kamu butuh tempat untuk berpikir."
Cintia menghela napas. "Aku masih nggak tahu apakah aku bisa berhenti, Raf."
Araf menatapnya. "Tapi kamu nggak melanjutkannya tadi, kan?"
Cintia menggeleng.
"Itu udah langkah besar," kata Araf pelan.
Hening. Cintia menggenggam jari-jarinya sendiri, seakan mencari pegangan. "Aku nggak tahu bagaimana caranya lepas dari ini semua. Dendam ini udah jadi bagian dari aku terlalu lama."
Araf menatap lurus ke depan, seperti sedang memilih kata-kata dengan hati-hati. "Mungkin kamu nggak perlu langsung lepas. Mungkin yang perlu kamu lakukan sekarang cuma... berhenti berlari."
Cintia mengerutkan kening. "Maksud kamu?"
Araf menoleh padanya. "Kamu sibuk memburu masa lalu, sibuk memastikan mereka merasakan apa yang kamu rasakan. Tapi kamu pernah mikir nggak, kalau selama ini kamu nggak pernah ngasih diri kamu sendiri kesempatan buat merasa sesuatu yang lain?"
Cintia terdiam.
"Kamu punya aku, Cin," lanjut Araf. "Kamu bisa berhenti melihat ke belakang dan mulai melihat ke arah lain."
Cintia tertawa kecil, getir. "Dan ke arah mana aku harus melihat, Raf?"
Araf tersenyum samar, matanya hangat. "Ke arahku."
Jantung Cintia mencelos.
Hening kembali menyelimuti mereka. Kali ini, bukan hening yang penuh ketegangan. Tapi hening yang lembut, yang memberikan ruang bagi perasaan yang selama ini ia abaikan.
Cintia menatap Araf. Lelaki itu tidak meminta jawaban, tidak memaksa, tidak menuntut apa pun darinya. Ia hanya ada di sana. Menawarkan sesuatu yang berbeda dari apa yang selama ini Cintia kejar.
Dan untuk pertama kalinya, Cintia merasa ia mungkin... mungkin saja bisa mencoba.
Setidaknya untuk malam ini.
★★★
Cintia menghela napas, menatap tangan Araf yang tergeletak di bangku, begitu dekat dengan miliknya. Ia bisa saja menggenggamnya. Ia bisa saja mengambil langkah itu. Tapi ia tidak tahu apakah ia siap.
"Kenapa kamu masih di sini, Raf?" tanyanya akhirnya.
Araf mengangkat bahu. "Karena aku peduli."
Cintia tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. "Kamu peduli pada seseorang yang bahkan nggak tahu mau jadi apa."
"Aku peduli sama kamu, Cintia. Bukan sama apa yang kamu lakukan, bukan sama balas dendammu, bukan sama pilihan buruk yang mungkin kamu buat. Aku peduli sama kamu sebagai orang yang aku kenal. Dan aku tahu, kamu lebih dari ini semua."
Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada yang seharusnya.
Cintia menggeleng. "Kamu nggak ngerti, Raf. Aku udah terlalu jauh. Kalau aku berhenti sekarang, aku nggak tahu apa yang tersisa dari diriku."
Araf menatapnya lama, lalu berkata, "Kalau gitu, biarkan aku menemanimu mencari tahu."
Cintia menelan ludah. Ia ingin percaya. Ia ingin mengizinkan dirinya percaya. Tapi bagaimana jika ini semua hanya ilusi? Bagaimana jika, pada akhirnya, ia tetap sendirian?
"Aku takut," bisiknya, nyaris tidak terdengar.
Araf tersenyum kecil. "Bagus. Berarti kamu masih manusia."
Cintia menutup mata, mencoba meredam gejolak di dadanya. Lalu, perlahan, ia meraih tangan Araf. Bukan genggaman penuh, hanya sentuhan kecil. Tapi Araf tidak menarik diri. Ia membiarkan Cintia mengambil langkahnya sendiri.
Untuk pertama kalinya, Cintia merasa ia punya pilihan lain.
Bukan hanya balas dendam.
Bukan hanya kehancuran.
Tapi sesuatu yang lebih sulit—mencoba kembali menjadi dirinya sendiri.
Dan untuk malam ini, itu cukup.
kebanyakan dari lingkungan gw, ya emang gitu. baik support kita nyatanya orang yg seperti itu yg berbahaya. Keren Thor.
aku mampir kak, kalau ada waktu boleh lah support balik ke karya baru aku ok👌🤭