Rumah?
Ayra tidak memiliki rumah untuk benar-benar pulang. Rumah yang seharusnya menjadi pelukan hangat justru terasa seperti dinding-dinding dingin yang membelenggunya. Tempat yang semestinya menjadi surga perlindungan malah berubah menjadi neraka sunyi yang mengikis jiwanya.
Siapa sangka, rumah yang katanya tempat terbaik untuk pulang, justru menjadi penjara tanpa jeruji, tempat di mana harapan perlahan sekarat.
Nyatanya, rumah tidak selalu menjadi tempat ternyaman. Kadang, ia lebih mirip badai yang mencabik-cabik hati tanpa belas kasihan.
Ayra harus menanggung luka batin yang menganga, mentalnya hancur seperti kaca yang dihempas ke lantai, dan fisiknya terkikis habis, seakan angin menggempurnya tanpa ampun. Baginya, rumah bukan lagi tempat berteduh, melainkan medan perang di mana keadilan tak pernah berpihak, dan rumah adalah tangan tak terlihat yang paling kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TONGKAT GOLF MILIK SYAN
HAPPY READING
Ayra menunduk dalam saat Maverick tiba-tiba saja masuk kedalam kamarnya dengan wajah dingin dan tatapan tajamnya yang siap memangsanya kapan pun.
“K-kak.”
Maverick masih mengenakan celana sekolahnya dan baju kaos tipis berwarna hitam. “Lo apain adik gue? Hum?”
Ayra menggeleng pelan. “Aku tidak melakukan apapun kak, t-tadi kak Kaliyah yan...,”
Plak
“Ngomong apa lo barusan?”
Ayra sedikit terhuyung karena tamparan tiba-tiba itu, pipi kanannya meninggalkan bekas telapak tangan Maverick.
Maverick mencengkram wajah Ayra hingga sepenuhnya menatap ke arahnya dan Maverick mengikis jarak mereka.
“Lo mau ngomong kalau adik gue sengaja? Benar begitu?”
Ayra menggeleng bruntal. “T-t-i-dak k-kak.”
Maverick mengangkat sudut bibirnya, semakin mengikis jaraknya dengan Ayra. “Lo harus tahu batasan Ayra, lo anak beasiswa dan bokap gue bisa dengan mudah buat cabut beasiswa lo itu.”
“Sekali lagi gue lihat lo buat ulah ke adik gue, di rumah ataupun di sekolah hidup lo gue ngak buat tenang.”
Ayra menutup matanya, lalu mengangguk sebagai jawaban karena cengkraman kuat pada wajahnya begitu menyakitkan dan Maverick juga belum melepaskan cengkraman tersebut.
“Ckkk, dasar anak pembawa sial!”
Maverick berdecih lalu melepaskan tangannya dari wajah Ayra, segera berlalu dari sana karena kamar sang adik begitu pengap dan panas. Bahkan untuk sekedar mengambil nafas saja terasa sulit, bagaimana mungkin Ayra bisa bertahan selama itu di kamar ini?
xxx
Ayra menatap setumpuk buku di depannya, lalu kembali menatap dua orang yang juga menatap tajam ke padanya.
Ayra yang hendak menyiapkan makan malam untuk keluarga pun terhenti dengan kehadiran kedua kakaknya, bahkan Ayra tidak bergerak sama sekali di tempatnya.
“Heh! Lo kenapa malah diam aja si?” Kaliyah terlihat jengah dengan Ayra. “Owh, atau lo udah ngak mau ngerjain tugas kita berdua ha?”
“B-bukan begitu kak, t-api aku juga punya tugas sekolah yang harus di kumpulkan besok.”
“Terus lo ngak mau ngerjain tugas kita karena itu? Gue ngak mau tahu ya, lo kerjain malam ini juga atau lo gue laporin ke ayah,” ancam Kaliyah.
“Ngak ada penolakan, kerjain malam ini juga!” Tambah Maverick meninggalkan meja makan itu dengan raut wajah seperti biasa.
Kaliyah tersenyum puas. “Lo dengar tadi? Ngak ada penolakan anak sialan.”
“Kak, tapi aku...,”
“Udah deh, mending lo lanjut lagi dan ingat malam ini tugas gue dan bang Verick selesai.”
Ayra hanya menatap punggung Kaliyah dengan helaan napas panjangnya, seperti biasa dirinya akan kembali begadang hingga pagi karena mengerjakan tugas dari kedua kakaknya. Walau beda tingkatan dengan keduanya, otak Ayra tidak boleh diragukan.
Si anak beasiswa dengan penyumbang prestasi gemilang terbanyak di sekolah, serta murid kebanggaan dan kesayangan semua guru.
“Heh, kok malah bengong si kamu ini!”
Ayra kaget, sangat kaget dengan suara yang tiba-tiba muncul itu.
“E-eh,” lirih Ayra.
Vynessa menatap heran Ayra, menggeleng pelan lalu kembali bersuara. “Buatkan suami saya kopi dan segera antarkan ke ruang kerjanya.”
Ayra mengangguk cepat. “Baik nyonya.”
“Yaudah, tunggu apa lagi kamu? Sana!”
Ayra segera berlalu dari sana, membuatkan kopi pahit untuk ayahnya yang tidak pernah berhenti bekerja bahkan saat di rumah sekali pun.
Setelah beberapa menit membuatkan kopi, gadis berambut panjang itu segera menuju ruang kerja Sya yang berada di lantai satu tak jauh dari ruang keluarga. Langkah kecil itu dengan hati-hati membawa nampan berisi segelas kopi pahit hangat untuk Syan.
Tok, tok, tok
Setelah mengetuk pintu tersebut, langkah kecil perlahan masuk ke dalam ruangan yang bercet hitam dan putih itu. Ruangan kerja sang ayah begitu bersih dan rapih, nyaman dan banyak juga buku-buku yang Ayra tidak tahu buku setebal apa yang sering di baca ayahnya.
Untuk yang kesekian kalinya, dirinya kembali masuk dalam ruangan ini dengan wajah yang terus saja menatap kagum setiap sudutnya. Hingga, langkahnya terhenti saat tubuh kecilnya itu menabrak benda keras dan nampan yang berisi segelas kopi itu terjatuh.
Ayra membulatkan matanya sempurna, dengar gerakan cepat Ayra mengambil gelas yang telah kosong itu dan melihat kertas putih dan beberapa dokumen milik Syan telah berubah warna hitam akibat kopi yang tumpah tersebut.
“H-abis kamu Ayra,” lirihnya pelang. “Bagaimana ini?” Bisiknya.
Ayra mencoba membersihkan tumpahan kopi tersebut pada kertas dengan tisu, tetapi bukannya bersih malah kertas-kertas itu semakin basah dan tintanya pun ikut menyebar dan tidak terbentuk lagi.
“Sedang apa kamu?”
Syan tiba-tiba saja muncul dengan wajah yang sedikit basah, sepertinya pria tua itu baru saja kembali membasuh wajahnya dan Syan tentu saja kaget dengan kemunculan Ayra serta apa yang tengah Ayra lakukan di dekat meja kerjanya.
“A-yah.” Ayra menatap Syan takut. Jarinya-jari kecilnya saling meremas karena khawatir dan takut.
Syan merasa tak beres dengan gerak gerik Ayra, dengan langkah cepat pria itu mendekat dan...,
“APA YANG KAMU LAKUKAN HA?”
Ayra mundur, rasanya pasokan oksigen dalam ruangan ini seketika berkurang dan almosfer semakin mencekam.
“Siapa yang menyuruhmu masuk ke dalam ruangan saya ha?” Tekan Syan. Kilatan amarah terlihat jelas di wajahnya.
“SIAPA ANAK SIALAN?” Bentaknya. Syan jelas murka saat mendapati seluruh dokumen dan berkas pentingnya tidak terbentuk lagi.
“B-bunda t-a-tidk menyuruh aku untuk mengantarkan kopi ke ruangan ayah,” jawabnya dengan sedikit gemetar.
Syan mengusap wajahnya dengan kasar, sejak kapan dirinya menyuruh Vynessa untuk mengantarkannya kopi? Rasanya dia tidak pernah.
“Bohong, siapa yang mengajari mu berbohong ha?” Tanya Syan penuh penekanan.
Ayra menggeleng kuat, dia mengatakan dengan benar. “T-tidak ayah, bunda yang menyuruh aku... Aaakkhhh!”
Syan melempar asbak kaca tepat di depan Ayra hingga membuat gadis tersebut kaget, bahkan Ayra belum sempat bernapas dengan lega kini Syan tepat ada di depannya dengan sebuah tongkat golf.
“Ulurkan kedua tangan mu,” titah Syan pelan. Napasnya sedari tadi tidak beraturan karena berkas pentingnya telah lenyap begitu saja di tangan anak pembawa sial di depannya ini.
Ayra tanpa membantah mengulurkan kedua tangannya, lengannya akan kembali di penuhi oleh memar yang baru.
“Apa kamu sengaja menumpahkannya?” Tanya Syan kepada Ayra.
Ayra menggeleng pelan. “T-idak.”
TAK!
Ayra hendak mengeluarkan suaranya saat tongkat golf itu berhasil mendarat di lengannya dengan sempurna dan meninggalkan jejak di sana.
“Jangan meringis anak sialan!”
“Jawab dengan jujur, siapa yang menyuruh mu masuk ke dalam ruangan ini tanpa izin dari saya ha?”
“Tidak ada ayah,” lirihnya. “Bun-da yang bilang untuk mengantarkan ko-pi itu pada ayah,” lanjutnya.
TAK!
“Kamu kembali bohong anak sialan!”
Syan gelap mata hingga tidak peduli pada rintihan gadis di depannya ini, sisi iblisnya bangkit sebab Ayra selalu saja berhasil memancingnya menjadi sosok yang kejam dan tak kenal ampun.
TAK!
“Saya tidak pernah mengajari mu berbohong, lalu dari mana kamu mengarang jika istri saya yang menyuruh mu ha?”
“JANGAN TURUNKAN TANGAN MU SIALAN!”
Ayra kembali mengulurkan kedua tangannya ke depan, kedua lengannya memar dan sangat sakit tetapi Ayra tidak memiliki nyali untuk melawan Syan.
“Balikkan tubuh mu, cepat!” Syan menatap tajam Ayra.
Ayra tahu Syan akan kembali memukulnya dan sasarannya adalah tubuh bagian belakangnya yang jelas adalah samsak paling di sukai Syan. Seorang ayah yang katanya cinta pertama untuk anak perempuannya begitu tega memukuli tanpa ampun anaknya sendiri, apa Syan masih pantas menyandang gelar seorang ayah?
xxx
Ayra berusaha untuk tetap sadar setelah mendapat hukuman dari Syan, dia hanya ingin segera sampai ke kamarnya. Sekuat tenaga kakinya menopang tubuhnya yang mulai lemas itu, bahkan terlihat jelas tubuh bagian belakangnya mengeluarkan darah segar.
Karena tidak memperhatikan jalan di depannya, tubuh yang lemas itu kembali terjatuh akibat dorongan keras di depannya.
“Lo bisa jalan yang benar ngak si!” Bentak Maverick. Wajahnya menatap tajam Ayra yang pucat seperti mayat.
“M-aaf kak,” lirihnya. Bahkan seperti bisikan hingga Maverick mendengarnya begitu samar.
“Bangun lo! Jangan mengotori lantai dengan darah kotor lo itu.”
Ayra meringis pelan, dirinya berharap Maverick menolongnya. Tetapi, sekali lagi itu hanya mimpi yang buntu tak ada ujungnya dan tidak akan pernah terjadi.
“Sial, buruan!”
SELAMAT MALAM? APA KABAR NIH KALIAN?
AUTHOR BAKAL DOUBLE UP DI PART SELANJUTNYA, JADI KALIAN TETAP SETIA NUNGGU YA, JANGAN BOSAN, SOALNYA CERITANYA BAKAL DIJAMIN SERU DEE😉👍👍🤣🤣
NAH, SEPERTI BIASA TINGGALKAN JEJAK KALIAN DAN TERIMAKASIH BANYAK TELAH MAMPIR 🤗🙆♀️🥰
SEE YOU DI PART SELANJUTNYA👋👋👋
PAPPAYYYY👋👋🫂
thor . . bantu dukung karya chat story ku ya " PUTRI KESAYANGAN RAJA MAFIA "