NovelToon NovelToon
Memiliki Bayi Bersama Pria Yang Kubenci

Memiliki Bayi Bersama Pria Yang Kubenci

Status: tamat
Genre:Tamat / Nikahmuda / Single Mom / Nikah Kontrak / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Jenar dan Gena bertemu di Pantai Pangandaran. Mereka sedang terluka hatinya dan saling menyembuhkan satu sama lain. Namun di hari terakhir Gena mendengar pembicaraan Jenar dan sahabatnya di telepon. Jenar mengatakan bahwa Ia hany mengisi hatinya dan tidak menganggap serius. Gena sakit hati karena Ia menyukai Jenar. Pergi tanpa mengatakan apapun. Jenar merasa juga dibodohi Gena. Lalu memang takdir tak bisa ditolak, Kakak mereka jodoh satu sama lain dan akan menikah mereka diperkenalkan sebulan sebelum pernikahan sebagai calon ipar. Walaupun saling membenci, mereka tahu bahwa ini demi kebahagian Kakak yang mereka sayangi. Berpura-pura tidak saling mengenal. Tanpa berkata apapun. Sembilan bulan kemudian saat musibah terjadi, saat Kakak mereka kecelakaan dan meninggalkan seorang bayi. Mereka mau tidak mau harus bersama, mengurus keponakan mereka. Dan saat itulah cinta mereka bersemi kembali. Apakah ini sebuah takdir dengan akhir bahagia atau hanya luka lama yang terbuka lagi? -You Never Know What Happen Next-

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 - Bayi Kita

Jenar dan Gena pulang ke rumah setelah kondisi Jenar sedikit baikan. Meski tadinya Gena sempat melarang karena ingin Jenar mendapat perawatan intensif di rumah sakit.

Jenar jadi lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Gena memaklumi perubahan mood gadis itu. Jenar baru saja kehilangan kakaknya. Pasti ia masih terpukul mengenai hal ini.

Kini mereka sudah sampai di rumah. Rumah tersebut masih dipenuhi oleh para pelayat yang terus berdatangan. Hana langsung menyambut keduanya. Tentunya bersama Fadlan yang ternyata belum pulang sejak tadi malam.

“Beb,” panggil Hana, kemudian memeluk erat tubuh sahabatnya itu. Hana tidak tahu sama sekali sahabatnya itu sempat drop dan dirawat di rumah sakit. Namun Hana berpikir, Jenar pasti belum kembali karena sibuk menjaga keponakannya yang baru lahir. Dan Hana memaklumi hal itu.

Usai berpelukan, Hana membawa Jenar masuk. Untuk saat ini kondisi mental Jenar sangat terganggu. Sulit rasanya ia membaur dengan para pelayat itu. Maka Jenar memutuskan untuk istirahat di kamar saja. Lebih tepatnya kamar lama miliknya sebelum memutuskan pindah ke apartemen.

Gena mengikuti mereka sampai pintu. Ia tidak ikut masuk ke kamar Jenar karena ingin memberikan ruang privasi untuk gadis itu. Diajak Fadlan, akhirnya Gena memutuskan untuk duduk di ruang tamu bersama para pelayat.

Sementara itu, Jenar langsung merebahkan badannya ke ranjang empuk yang telah lama ia tinggalkan. Mata Jenar terasa kian perih mengingat semua kenangannya di rumah ini.

Andai waktu bisa diulang, tidak akan pernah ia pindah dari rumah ini.

Andai waktu bisa diulang, akan ia isi hari-hari Leknor dan Astri dengan tetap berada di dekat kakaknya itu.

Dan andai waktu bisa diulang, mungkin akan ia ucapkan seribu kali kata sayang dalam sehari agar saat kakaknya itu pergi tidak ada rasa sesal yang tertinggal di hati Jenar.

Namun nasi sudah menjadi bubur. Yang tersisa hanyalah penyesalan atas egonya selama ini. Ego yang ternyata menciptakan trauma mendalam bagi Jenar.

“Makan sedikit, yuk? Gue suapin,” tawar Hana seraya mengusap air mata Jenar yang terus berjatuhan ke pelipisnya.

Jenar menggeleng. Tatapannya benar-benar kosong seperti tidak memiliki semangat hidup. “Gimana bisa gue makan di saat kayak gini, Han? Gue nggak sanggup,” bisiknya parau.

Hana menghela napas pasrah. Dadanya terasa engap membayangkan berada di posisi Jenar. Pasti sangat berat dan sakit ....

“Kenapa, ya, orang-orang yang gue sayang ninggalin gue? Apa gue ditakdirkan sendiri sampai kapan pun? Gue capek, Han. Capeeeek banget. Mentang-mentang gue udah pernah kehilangan beberapa kali, terus sekarang Tuhan ngasih kehilangan kesekian kalinya buat gue. Gue nggak setegar itu!”

“Gue belum bisa nerima kepergian Mas Leknor. Ini masih kayak mimpi buat gue!”

“Gue nggak sanggup, Hana. Nggak sanggup ....”

Hana membiarkan Jenar mengoceh mengungkapkan isi hatinya. Tak sedikit pun ia sela, malah ia dengarkan baik-baik keluh kesah gadis itu. Mungkin dengan mengeluarkan uneg-uneg kesedihan Jenar bisa berkurang. Itu harapan Hana.

“Sekarang Mas Leknor ninggalin gue bayi. Gue bingung harus gimana. Lo tau kapasitas gue. Rasanya berat buat gue ngerawat bayi itu. Tiap ngelihat dia gue akan terus keingat sama kakak gue yang udah nggak ada,” ungkap Jenar tanpa memikirkan kata-katanya barusan.

Bukannya bermaksud tidak menerima anak itu. Hanya saja butuh waktu bagi Jenar menerima kenyataan. Perihal kehilangan, perihal ia yang biasanya sendiri dan kini harus menjadi ibu sambung otomatis bagi bayi itu. Tentu ini tidak mudah bagi Jenar ....

“Gue benci diri gue sendiri! Argh!” jerit Jenar.

Maka Hana coba memeluk tubuh sahabatnya itu untuk memberikan ketenangan. Kesedihan Jenar menular pada Hana. Dua sahabat itu akhirnya menangis bersama ....

Di luar ruangan, Gena diajak Fadlan untuk pindah duduk ke teras depan. Berbeda dengan Jenar yang menangis tersedu, Gena justru tampak murung dan tidak memiliki gairah sama sekali. Sebagai sahabat, Fadlan tentu mengerti hal ini. Maka ia usap bahu sahabatnya itu untuk memberikan rasa tenang.

“Yang tabah, ya? Gue tau ini berat buat lo. Apalagi selama ini lo sayang banget sama Kak Astri.”

Gena menghela napas panjang. “Gue masih syok sampai sekarang. Dan gue nggak bisa maafin diri gue sendiri karena nggak ada di saat-saat terakhir kakak gue. Gue ini adik yang gagal, Fad. Kak Astri pasti kecewa sama gue.”

“Nggak,” geleng Fadlan. “Kak Astri bangga banget sama lo. Setidaknya di sini lo udah berjuang. Gue sendiri yang jadi saksi gimana lo perjuangin kakak lo selama ini. Jadi, jangan pernah ngerasa bersalah lagi.”

Gena hanya diam. Tatapannya lurus ke depan.

“Terus baby keadaannya gimana? Lo habis lihat keponakan lo kan?” lanjut Fadlan.

“Dia baik-baik aja. Cuma emang belum kami jemput,” jelas Gena. “Tadi malam gue nggak pulang karena jagain Jenar. Dia drop dan diinfus di rumah sakit.”

“Lo akrab banget, ya, sama Jenar?”

Gena tersenyum miris. “Dia cewek yang dulu pernah gue ceritain ke lo. Cewek yang gue temui di pantai Pangandaran dan ternyata cuma jadiin gue pelarian.”

“Oh gitu—hah?!” Fadlan terkejut bukan main. Bola matanya nyaris keluar mendengar berita itu.

“Jadi adik dari ipar lo ... cewek itu? Wah, kebetulan macam apa nih?!”

Gena mengangkat bahunya. “Gue juga nggak tau. Dan sekarang, mulai ke depannya kami akan mengurus anaknya kak Astri bareng-bareng. Apa nggak gila gue mikirinnya?”

Fadlan mendecak-decakkan lidah. Karena dulu yang ia tahu Jenar hanya menjadikan Gena mainan, tentu lelaki itu tidak sepenuhnya mendukung kedekatan Gena dan Jenar saat ini. Takut Gena kembali jatuh untuk kedua kalinya, dan berujung ia dimanfaatkan oleh gadis itu. Apalagi sekarang mereka akan mengasuh bayi bersama.

“Lo harus ingat satu hal, Gen,” kata Fadlan menegur.

“Apa?”

“Dia cewek jahat yang udah mainin hati lo. Jadi ... gue harap ke depannya lo nggak gampang baper terhadap momen yang kalian dapatin selama bersama. Ingat, lo dan dia sekarang hanyalah dua ipar yang bertanggung jawab mengurus bayi. So, jangan pakai perasaan!”

Gena menjawab penuh percaya diri, “sebelum lo ingatin, gue udah ingat duluan. Jangan khawatir. Gue udah nggak ada rasa apa-apa sama dia.”

Memasuki hari ketiga meninggalnya Leknor dan Astri, rumah duka mulai tenang tanpa adanya para pelayat. Pagi sekali Jenar sudah bangun. Tidurnya tidak begitu nyenyak semalaman karena menderita insomnia akut. Tiap Jenar memicingkan mata, terbayang olehnya wajah Leknor dan Astri. Hal itulah yang membuat Jenar pagi-pagi sudah bersiap-siap hendak pergi ke rumah sakit untuk menjemput anak dari kakaknya itu.

Keluar dari kamar, Jenar kembali disuguhkan dengan pigura berukuran besar yang berisi foto pernikahan Leknor dan Astri. Foto tersebut menggantung di ruang tamu. Napas Jenar terasa berat. Dadanya kembali sakit melihat wajah kakaknya yang terpatri dalam kenangan itu.

Seluruh sudut di rumah ini adalah Leknor dan Astri. Aura mereka sangat kuat dan kehadiran mereka begitu terasa di sini. Sulit bagi Jenar menahan air matanya. Padahal sejak semalam ia sudah berusaha menguatkan diri.

Perlahan gambar itu memburam karena terhalang cairan bening yang siap terjun membasahi pipi. Jenar menggigit bibirnya kuat-kuat agar isakannya tidak lolos mengudara.

“Kenapa rasanya sakit banget, Tuhan ...,” lirih Jenar bergetar. Saking sakitnya, ia sampai harus berjongkok di lantai karena kakinya tidak sanggup berdiri.

Beruntung Gena keluar dari kamar tamu yang kebetulan letaknya di lantai satu. Lelaki itu semalam menginap di sini. Dan tadinya ia berencana pergi ke rumah sakit untuk menemui keponakannya. Akan tetapi ia malah disuguhkan pemandangan Jenar yang sedang menangis.

Gena akhirnya memutuskan menghampiri Jenar dengan hati-hati.

“Je?” sapa Gena. Ia tepuk bahu gadis itu, hingga membuat Jenar mendongakkan wajah basahnya.

Jenar tidak banyak bicara. Gadis itu berdiri dari dudukannya dan membuang wajah ke arah lain. Melihat hal itu membuat Gena menghela napas.

Canggung menguasai suasana. Keduanya tidak mau memulai pembicaraan. Jenar sibuk menghapus air matanya, sementara Gena memikirkan bahan obrolan apa yang akan ia bahas dengan Jenar.

Gena bukanlah orang yang pandai merangkai kata-kata puitis. Lagi pula, belum tentu Jenar mendengarkan kata-kata penenang yang ia ucapkan mengingat hubungan mereka yang kurang baik selama ini. Yang ada Jenar malah mengira ia aneh.

“Ekhm,” Gena berdeham. “Kamu mau ke mana pagi-pagi udah rapi?”

Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Gena.

“Aku mau ke rumah sakit. Lihat baby.”

“Sama. Aku juga mau ke rumah sakit.”

Jenar ber’oh’ ria. Benar-benar situasi yang sangat kaku dan tegang.

“Mau barengan aja?” tawar Gena.

Satu anggukan terayun dari kepala Jenar. “Boleh.”

Lantas mereka pun berjalan bersama ke pintu utama. Jenar yang masih pusing itu sempat sempoyongan. Melihat hal itu membuat Gena refleks memegangi lengan Jenar agar gadis itu tidak jatuh.

Jenar melirik segan pada Gena. Ia merasa dejavu dengan kebersamaan mereka dulu. Pertama kali mereka bertemu Gena lah yang menolong Jenar waktu Jenar terkilir di pantai. Kenangan itu kembali muncul di benak Jenar seiring dengan kebersamaan mereka saat ini.

“Naik mobil aku aja. Aku khawatir ngelihat kamu nyetir dalam keadaan seperti ini,” usul Gena.

Maka Jenar pun mengangguk pasrah. Ia pun naik ke mobil Gena setelah dipersilakan.

Suasana kembali hening setelah mobil yang disetir Gena melesat menembus jalan raya. Meski mereka berusaha menutupi sekali pun, tetap saja debar jantung mereka tidak bisa bohong.

Ingat! Dia udah buang lo kayak sampah yang gak ada artinya waktu itu. Jangan terbawa perasaan lagi! Sekarang urusan lo dan dia cuma sebatas urusan bayinya Mas Leknor! Jenar berseteru dengan pikirannya.

Begitu juga dengan Gena. Perempuan ini udah bikin kamu sakit hati. Dia hanya menjadikan kamu pelampiasan. Jadi jangan gampang luluh lagi!

Keduanya sibuk menanam tekad di hati masing-masing. Tekad yang sebenarnya tidak cukup mempengaruhi perasaan mereka ....

“Bayinya sehat. Hari ini sudah bisa dibawa pulang.”

Di ruangan dokterlah saat ini Gena dan Jenar berada. Sang dokter melaporkan perkembangan bayi itu pada mereka. Dan hal itu membuat Jenar dan Gena menoleh bersamaan.

Pulang ...

Bayi itu harus mereka bawa pulang. Sementara keduanya sama-sama masih syok menerima kenyataan pahit ini.

“Mohon maaf sebelumnya, nama bayi ini siapa ya? Kami akan mencatatnya di surat keterangan lahir,” ujar sang dokter.

Jenar diam. Ia tidak tahu siapa nama bayi itu. Memikirkannya saja tidak pernah. Dan untungnya di situasi kali ini Gena yang menyahut—

“Jihan.”

Jenar menoleh bingung. Jihan? Sejak kapan dia memikirkan nama itu?

“Jadi namanya Jihan, ya, Mas? Nama yang cantik ...,” puji dokter itu.

Gena tersenyum tipis. Fyi, sebelum Astri meninggal, kakaknya itu pernah bercerita ingin memberi nama anak mereka dengan nama Jihan. Oleh karena itulah Gena melaksanakan amanat terakhir kakaknya itu.

“Kalau gitu saya siapkan dulu berkas kepulangannya ya? Sekalian surat keterangan lahir baby Jihan,” kata dokter itu.

Dan selanjutnya mereka keluar dari ruangan tersebut dan memilih menunggu di luar saja. Gena lantas mengajak Jenar ke inkubator untuk melihat keponakan mereka.

“Kamu dapat ide dari mana kasih nama dia Jihan?”

Setibanya di ruangan bayi, Jenar menuntaskan rasa penasarannya.

“Kakakku pengen kasih nama anaknya itu.”

“Tapi kependekan. Masa Jihan doang?”

Gena menggaruk lehernya yang tak gatal. “Ya mau gimana lagi? Aku gak tau apa nama panjangnya. Lagian biar aja nama dia itu. Bagus kok.”

Malas berdebat, akhirnya Jenar diam saja. Mereka sama-sama melihat ke arah bayi yang tidur dengan nyenyak di inkubator tersebut.

Dada Jenar menghangat. Wajah Jihan menurut Jenar sangat mirip dengan Leknor. Apalagi hidung mancungnya. Lepas sudah rindu Jenar pada kakaknya itu.

“Jihan mirip Mas Leknor banget.” Tanpa sadar Jenar menyeletuk. Hal itu membuat Gena menoleh protes.

“Nggak salah tuh? Dari kulitnya aja mirip sama Kak Astri. Apalagi bibirnya.”

“Ck. Apanya? Jelas Jihan mirip banget sama Masku!”

“Tapi lebih mirip muka mamanya. Aku punya foto Kak Astri waktu kecil. Dan muka dia mirip banget sama muka Jihan!”

Jenar menggeram. “Mas Leknor waktu kecil juga mirip Jihan. Aku lihatin nanti album fotonya ke kamu biar kamu enggak denial terus!”

Kedua orang itu terus berdebat perkara Jihan yang mirip siapa. Padahal wajar saja muka Jihan campuran dari Leknor dan Astri. Toh mereka orang tuanya ....

Sedang asyik mereka berdebat, Jihan yang berada di inkubator pun terbangun dan menangis dengan suara kencang. Detik itu juga dua orang itu menghentikan perdebatan konyol mereka. Dikarenakan masih dalam inkubator, tentu mereka tidak bisa sembarangan mengambil bayi itu.

“Duh, dia nangis kan. Gara-gara kamu tuh!” tuding Jenar.

“Kamu duluan yang ribut. Suaramu itu melengking. Wajar kuping Jihan jadi sakit!”

Malah mereka berdua semakin berdebat.

Tak lama suster pun datang dan mengeluarkan Jihan dari inkubator. Ah, ternyata Jihan terbangun karena habis mengompol. Setelah popoknya digantikan, barulah bayi kecil itu kembali anteng.

Mata cemerlang Jihan mengerjap-ngerjap memerhatikan wajah om dan tantenya bergantian. Gena dan Jenar spontan mendekatkan muka mereka pada Jihan. Hal itu membuat Jihan tersenyum kecil. Mulutnya megap-megap, liurnya menetes-netes seolah menambah kesan imut bayi itu.

“Lucu banget, ya, dia,” kata Jenar terkekeh.

“Wajahnya benar-benar enggak ada dosa,” balas Gena.

Mereka akur sesaat kala melihat senyum Jihan. Senyum yang mampu meredam duka yang mereka alami saat ini ....

“Permisi, Mbak Jenar, Mas Gena, dokumennya sudah siap. Jihan bisa dibawa pulang.”

Sang dokter menghampiri mereka seraya menyerahkan surat keterangan lahir dan beberapa dokumen lainnya yang harus mereka tanda tangani. Setelahnya, barulah sang suster menyerahkan Jihan pada mereka.

Jenar dengan kaku menerima bayi itu. Ia sedikit gugup karena ingin pengalaman pertamanya menggendong bayi.

“Gena, nanti dia jatuh,” kata Jenar panik.

Maka Gena dengan sigap mengambil alih Jihan dari gendongan Jenar. Mereka terlihat persis seperti orang tua yang mengasuh anak pertama mereka.

“Sssttt ... kita pulang ya, Sayang?” bisik Gena. Ia kecup kening Jihan pelan, dan Jenar mengamati pemandangan itu.

“Aku juga mau sun,” gumam Jenar pantang kalah. Ia cium pipi Jihan yang berada dalam gendongan Gena itu.

Sehabis tawa, terbitlah panik.

Kini mereka sampai di rumah. Dan baru terasa sekarang kepanikan memikirkan situasi ke depannya harus bagaimana. Jenar dan Gena sama-sama bekerja saat ini. Mengingat mereka memiliki seorang bayi, tentu tidak mungkin keduanya tetap bekerja sementara sekarang ada Jihan di antara mereka.

“Jihan gimana ya? Aku jelas nggak bisa urus dia,” tolak Jenar sembari menatap Jihan yang telah mereka tidurkan di ranjang kamar bayi.

“Terus maksud kamu, kamu mau serahin ke aku? Aku juga punya bisnis kedai kopi. Nggak mungkin ditinggal gitu aja,” elak Gena.

“Ya tapi—“

“Ya udah, mau kamu apa? Kamu mau titip di panti asuhan? Mau kamu kasih ke orang?!” sembur Gena galak.

Hal itu membuat Jenar menabok lengan lelaki itu keras-keras. “Heh, mulut kamu! Siapa juga yang mau titipin dia di panti asuhan? Aku nggak sejahat itu! Ini peninggalan satu-satunya Mas Leknor. Harus aku jaga dengan baik!”

“Nah, itu kamu tau jawabannya. Terus kenapa masih bingung?”

Jenar menggeram. “Kamu benar-benar nggak ngerti sama sekali!”

Mereka sama-sama membuang napas jengah. Dari tadi tidak ada yang mau mengalah untuk merawat Jihan. Dan mereka sama-sama tidak mau menyerahkan anak ini ke tangan orang lain.

Hanya saja, di sini Jenar yang memiliki insting keibuan. Ia sangat menyayangi almarhum kakaknya. Dan ia ingin menebus waktu mereka yang terbuang selama ini dengan membesarkan Jihan. Maka Jenar pun memutuskan—

“Oke. Aku akan ambil cuti tiga bulan untuk mengasuh Jihan ....”

1
Wirda Wati
😇😇😇😇😇😇
Wirda Wati
😭😭😭😭😭😭
Wirda Wati
semoga mereka bersatu
Nur Adam
lnjur
Wirda Wati
😂😂😂😂
Wirda Wati
nikah aja Jenar sama gena kan aman
Wirda Wati
cari baby siter aja....dan pembantu
Wirda Wati
🥰🥰🥰🥰
Wirda Wati
😂😂😂😂😂😂
Wirda Wati
senang dg ceritamu thort
Wirda Wati
semoga baik baik saja
Wirda Wati
😂😂😂😂
Wirda Wati
ya kamu juga sih ngomongnya sembarangan.
hanya mengisi kekosongan dan move on.
siapun pasti kesal dengarnya.
Wirda Wati
sebenarnya mereka serasiii...
Wirda Wati
cepat kali....
cinta atau obsesi
😇😇😇
Wirda Wati
cinta kilat namanya😂
Wirda Wati
semoga hubungan mereka berkelanjutan..
Wirda Wati
kereeen thort
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!