Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengetuk Pintu
“Na! Mas-mas yang sering kesini itu mana?” tanya Amelia.
“Kenapa?” tanya Inaya.
“Rasa ada yang kurang. Biasanya dia akan kesini, tapi sudah beberapa minggu tidak ada yang mencari kamu.”
“Banyak, tuh!” Inaya memberikan isyarat mana.
“Itu nasabah, Na! Aku sampai sudah eneg!”
“Kenapa tidak pacar kamu saja yang kesini?”
“Pacarku kerja di seberang pulau, Na.”
“Tambang?”
“Iya. Dia juga lulusan sekolah kamu, Na.”
“Benarkah? Tahun berapa, jurusan apa?”
“Tahun 20xx, jurusan otomotif, namanya Syafaq.”
“Syafaq? Orang daerah penghasil legen*?” tanya Inaya.
“Iya! Kamu kenal?”
“Kenal, dulu pernah pacaran dengan anak TKJ yang kebetulan temanku.”
“Jangan bahas yang itu, Na.”
“Maaf.” Inaya sadar dirinya telah membuka aib Syafaq.
“Bukan karena apa, temanmu itu selingkuh.”
“Benarkah?” Inaya tidak percaya dengan pendengarannya.
Amelia menceritakan kisah cinta pacarnya kepada Inaya. Inaya yang mendengarnya merasa tidak percaya karena Rita yang ia kenal adalah Perempuan yang lugu dan pemalu. Ia tidak menyangka Rita lebih kejam dengan merebut pacar orang, sedangkan dirinya masih berstatus pacaran dengan Syafaq.
Memang kita tidak boleh hanya menilai orang hanya dengan penampilannya saja.
“Dek!” panggil Weko saat Inaya baru saja keluar dari koperasi.
“Mas sudah pulang?” tanya Inaya mendekat.
“Iya. Daripada tidak banyak tangkapan, kapten mengajak kembali lebih cepat daripada lama-lama menghabiskan bahan bakar.” Inaya mengangguk.
“Aku antar sampai tempat biasa, ya?”
“Aku mau mampir makan dulu, Mas. Aku tadi tidak sempat makan siang.”
“Kamu mau makan apa?”
“Mie ayam bakso saja, Mas.”
“Ayo!” Weko dengan semangat menyerahkan helm untuk Inaya.
Sesampainya di warung bakso, Weko memesan 2 mangkuk mie ayam bakso dan 2 gelas minuman. Lalu mengajak Inaya duduk di paling pojok menghindari keramaian.
Weko menatap Inaya yang sedang berbalas pesan dengan temannya yang mengajak bertemu saat libur nanti. Inaya yang merasa diperhatikan mendongakkan wajahnya dan tatapan keduanya bertemu. Ia buru-buru mengalihkan pandangannya, beruntung pesanan mereka datang dan keduanya makan dalam diam. Setelah selesai makan, Weko buka suara.
“Bagaimana jawabannya, Dek?”
“Kamu yakin, Mas?” Weko mengangguk.
“Sebaiknya cari tempat lain saja, Mas.” Kata Inaya yang tidak nyaman berbicara di tempat ramai.
Weko menganggukkan kepalanya dan membawa Inaya ke Pantai. Di sana keduanya duduk berhadapan di sebuah saung.
Merasa sepi, Inaya mulai menceritakan keluarganya secara umum dengan leluasa. Weko mendengarnya tanpa menyela, seolah apa yang Inaya alami, ia juga merasakannya.
Selesai Inaya menceritakannya, ia menunggu reaksi Weko. Tetapi reaksi Weko di luar dugaannya. Ia mengira Weko akan mengurungkan niatnya setelah mendengar keluarganya yang rumit.
“Bukan hanya kamu yang memiliki keluarga rumit, Dek. Aku juga. Aku bahkan tidak percaya diri karena takut kamu tidak mau menerimaku karena aku adalah tulang punggung keluargaku.” Weko menarik nafas dalam sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Bapakku tidak bisa mencari nafkah karena cedera setelah kecelakaan dengan perahunya. Ibuku hanya bisa membuat terasi untuk dijual. Aku yang harus membiayai mereka dan ketiga adikku. Jika kamu jadi istriku, apa kamu bersedia berbagi dengan mereka?” tanya Weko.
“Aku tidak bisa berjanji, Mas. Aku akan mencobanya.”
“Jadi, kamu terima Dek?” Inaya menganggukkan kepalanya dengan tersipu.
“Alhamdulillah..” Weko sontak berdiri seperti pemain bola yang telah berhasil mencetak gol.
Inaya dibuat tersenyum melihat kelakuan Weko yang menurutnya tidak sesuai dengan umurnya. Inaya yang berumur 21 tahun, terpaut 8 tahun dengan Weko. Ia merasa sikap Weko saat ini sangat kekanakan, sampai beberapa orang memperhatikan mereka.
“Ayo, aku antar Dek! Apa langsung antar sampai rumah saja?” Inaya menggelengkan kepalanya.
“Di tempat biasa saja, Mas.”
“Baiklah, aku akan segera menemui ibumu!”
Beberapa hari kemudian saat Inaya libur, Weko datang sendiri menghadap Ranti. Sebelumnya ia sudah bertanya mengenai tata cara melamar, dan saat ini ia sedang “mengetuk pintu” untuk meminta izin kepada Ranti sebelum membawa kedua orang tuanya untuk melamar secara resmi.
Ranti yang sudah tahu niat Weko dari Inaya, menerimanya dengan sedikit enggan. Beliau masih tidak setuju dengan niat Inaya karena masih merasa Weko bukanlah laki-laki yang tepat untuk anaknya. Tetapi ia menghargai Weko yang mau menjalankan tradisi di desanya dengan meminta izin lebih dulu.
“Apa kamu yakin bisa membahagiakannya?” tanya Ranti setelah menimbang-nimbang.
Beliau sudah mendengarkan semua yang Weko sampaikan dan mengapa memilih Inaya sebagai istrinya, sehingga Ranti merasa sedikit mencair.
“Saya janji, Bu.” Jawab weko dengan mantap.
“Baiklah, datang bersama kedua orang tuamu nanti! Entah kalian berjodoh atau tidak, bisa dipastikan setelah kedua keluarga bertemu. Karena bagaimanapun, kalian masih harus melewati perhitungan sebagai bagian dari adat.”
“Terima kasih, Bu.” Kata Weko.
Setelah berbincang sebentar, Weko berpamitan. Inaya mengantarkannya sampai pelataran dan melihatnya menjauh.
Ia masih belum bisa menerima pernikahan seperti layaknya calon pengantin yang semangat dengan pernikahan mereka. Tetapi ia lebih bisa menerima pernikahannya. Ia meyakini nasibnya berbeda dengan ketiga kakaknya.
“Semoga Allah selalu melimpahkan keberkahan kepadaku.” Doa Inaya dalam hati.
Kabar Weko yang datang mengetuk pintu Inaya, segera tersebar luas di desa karena para tetua di keluarga dari Bapak Inaya sudah diberitahu oleh Ranti. Setelah tanggal pasti, mereka akan ikut menerima kedatangan keluarga Weko nantinya.
Sementara itu, Weko sedang mempersiapkan semua yang diperlukan untuk melamar Inaya sesuai dengan arahan sang Nenek yang juga masih kolot seperti orang-orang desa Inaya.
“Jadi, semuanya berapa orang, Dek?” tanya Sintya.
“Semuanya 15 orang, Mbak. Hanya orang dewasa daja, anak-anak ditinggal.”
“Maaf Mbak tidak bisa ikut.”
“Tidak apa, Mbak. Aku takut juga membawamu, bagaimana kalau kamu melahirkan di jalan?”
“Dasar! Sampaikan salamku untuk Inaya. Aku akan selalu mendukungnya.”
“Baik, Mbak.”