Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 16 Bayangan yang Mengintai
Semenjak malam itu, Galuh tak bisa tidur dengan tenang. Mimpi buruk kembali menghantuinya, lebih intens dari sebelumnya. Sosok pria asing yang ia lihat di parkiran kampus muncul dalam tidurnya, mengancam, menatap penuh dendam, seolah ingin menghancurkan semua yang sudah mulai ia bangun bersama Saras.
Pagi itu, ia duduk di ruang tamu dengan wajah lesu. Di depannya, secangkir kopi yang sudah dingin.
Saras keluar dari kamar, membawa tas kuliahnya. Begitu melihat wajah Galuh, langkahnya terhenti.
"Lo mimpi buruk lagi?" tanyanya sambil duduk di sebelah Galuh.
Galuh mengangguk pelan. "Dia datang lagi."
Saras terdiam. Ia tahu yang dimaksud Galuh adalah bayangan dari masa lalu entah seseorang yang memang nyata atau hanya hasil dari rasa bersalah yang belum selesai.
"Galuh," Saras menggenggam tangan cowok itu, "kalau lo terus nyimpen ini sendiri, lo gak akan pernah benar-benar bebas."
"Apa gue harus lapor polisi?" tanya Galuh, setengah ragu. "Tapi kalau ternyata ini cuma paranoia gue?"
"Enggak salah waspada. Tapi sebelum ambil langkah besar, kita cari tahu dulu siapa orang itu."
---
Di kampus, mereka lebih berhati-hati. Saras sering memerhatikan sekeliling saat berjalan, dan Galuh memastikan setiap kali Saras pulang, dia menjemputnya lebih awal. Namun mereka tak bisa menghindari kenyataan bahwa situasi mulai terasa terancam.
Suatu sore, ketika Saras hendak pulang lebih dulu karena ada kelas dibatalkan, ia berjalan sendirian ke parkiran motor. Di sana, seseorang menyapanya.
"Permisi, kamu Saras, kan?"
Saras menoleh, menemukan seorang pria berjaket hitam berdiri tak jauh darinya. Wajahnya keras, tatapannya tajam.
"Iya, ada apa ya?" Saras menjaga jarak, jari-jarinya sudah memegang ponsel di saku.
"Aku cuma mau tanya soal Galuh. Kamu deket sama dia, kan?"
Saras mengerutkan alis. "Maaf, saya nggak kenal kamu."
Pria itu tersenyum tipis. "Namaku Arman. Dan aku sedang cari seseorang yang harus bertanggung jawab atas masa lalu."
Saras langsung melangkah mundur. "Kalau kamu punya urusan sama Galuh, hadapin dia. Jangan lewat gue."
Arman tidak menjawab. Ia hanya menatap Saras lama sebelum berbalik dan berjalan menjauh. Saras berdiri kaku selama beberapa detik, lalu cepat-cepat menelepon Galuh.
---
Begitu sampai di kos, Galuh langsung mencari Saras. Wajah Saras pucat, tangannya masih gemetar meski mencoba menenangkan diri.
“Dia ngomong apa aja?” tanya Galuh serius.
“Dia tahu nama gue. Dia tahu lo. Dia nyebut soal tanggung jawab.”
Galuh menarik napas panjang. “Berarti dia emang Arman.”
“Lo kenal dia?”
Galuh menunduk. “Dia kakak dari anak SMA yang pernah gue hajar dulu. Korban itu koma beberapa bulan. Gue pikir gue udah selesai bayar semua kesalahan gue... Tapi ternyata belum.”
Saras terdiam. Ia tahu inilah saatnya kebenaran benar-benar datang menghantui.
“Gue gak nyangka... dia bakal nyari lo lewat gue,” katanya pelan.
“Gue harus ngomong langsung sama dia,” kata Galuh tegas. “Gue gak mau lo yang jadi sasaran.”
---
Dua hari kemudian, Galuh akhirnya menemui Arman. Pertemuan itu berlangsung di sebuah tempat umum sebuah taman kecil di dekat kampus, agar aman.
Arman sudah menunggu di bangku beton, menatap ke arah danau buatan dengan tatapan dingin.
“Lo udah gede sekarang, Galuh,” katanya tanpa menoleh.
“Gue tahu lo marah. Gue juga belum bisa maafin diri gue sendiri atas kejadian itu,” jawab Galuh.
Arman menoleh perlahan. “Lo pikir permintaan maaf cukup buat nyembuhin adik gue yang udah gak bisa sekolah karena trauma?”
Galuh menggeleng. “Enggak. Tapi gue di sini bukan buat bela diri. Gue cuma mau lo tahu bahwa gue bener-bener nyesel. Gue gak lari.”
“Lo lari. Lo ganti nama, pindah kota, pura-pura gak pernah ada masalah.”
Galuh menghela napas. “Waktu itu... gue takut. Tapi sekarang, gue gak akan lari lagi.”
Arman menatap Galuh lama. Lalu berdiri.
“Lo tahu, gue bisa aja laporin lo lagi. Cari jalan biar kasus lo dibuka ulang. Tapi gue gak akan ngelakuin itu.”
Galuh mengerutkan dahi. “Kenapa?”
“Karena adik gue... akhirnya bilang satu hal penting. Dia gak mau hidup terus dalam kebencian. Dia udah mulai kuliah. Dia belajar nerima. Tapi itu bukan buat lo tenang. Itu karena dia lebih kuat dari lo.”
Galuh terdiam. Kata-kata itu menusuk dalam, tapi justru membuat dadanya terasa ringan.
“Gue gak butuh lo maafin gue. Tapi terima kasih karena udah ngasih tahu itu.”
Arman menatap Galuh satu kali lagi. “Jaga Saras. Jangan sampai cewek itu jadi korban luka lo yang belum sembuh.”
---
Sore itu, Galuh kembali ke kos dengan langkah pelan. Di depan pintu, Saras menunggunya.
“Gimana?”
“Dia gak bakal ganggu kita lagi,” jawab Galuh. “Tapi dia juga ngingetin gue... buat gak lupa siapa gue.”
Saras memeluk Galuh erat. “Gue nggak peduli siapa lo di masa lalu. Yang gue lihat sekarang, lo adalah cowok yang berani tanggung jawab. Itu udah cukup buat gue.”
Galuh menarik napas dalam. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa lega.
Namun jauh di luar sana, bayangan masa lalu mungkin saja sudah reda... tapi masa depan belum tentu tenang.