Jessy, 30th seorang wanita jenius ber-IQ tinggi, hidup dalam kemewahan meski jarang keluar rumah. Lima tahun lalu, ia menikah dengan Bram, pria sederhana yang awalnya terlihat baik, namun selalu membenarkan keluarganya. Selama lima tahun, Jessy mengabdi tanpa dihargai, terutama karena belum dikaruniai anak.
Hingga suatu hari, Bram membawa pulang seorang wanita, mengaku sebagai sepupu jauh. Namun, kenyataannya, wanita itu adalah gundiknya, dan keluarganya mengetahui semuanya. Pengkhianatan itu berujung tragis—Jessy kecelakaan hingga tewas.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Ia terbangun beberapa bulan sebelum kematiannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertengkaran Jessy dan Bram
Malam harinya, suara mesin mobil terdengar dari halaman. Jessy yang sejak tadi menunggu di kamar segera bangkit, berjalan keluar menuju ruang tamu. Bram akhirnya pulang.
"Mas, kenapa kamu nggak datang menjenguk aku di rumah sakit?" tanya Jessy begitu Bram masuk ke kamar.
Bram yang baru saja melepas jas kerjanya menghela napas panjang seolah ia sangat lelah hari ini bekerja, "Aku mau, Sayang. Tapi Mama, Fina, dan Molly selalu ada hal mendadak. Fina masih sering sakit-sakitan, Mama juga butuh aku di rumah, dan Molly ada banyak urusan, dan aku juga sibuk kerja Jes."
Jessy menatap suaminya dengan perasaan tak percaya. “Jadi semua alasan itu lebih penting daripada aku?”
Bram menghela napas, wajahnya berubah Kesal.
“Aku kan sudah bilang, aku sibuk. Kenapa kamu nggak bisa ngerti. Lagipula kamu kan sudah dirawat sama Chika, ada dokter dan perawat juga, aku pikir kamu nggak sendiri di sana."
Jessy menatapnya dengan mata berkilat, hatinya mulai penuh luka. "Mas sadar nggak sih? Aku ini istrimu. Aku yang sakit, tapi kamu malah lebih peduli ke mereka!"
"Tapi mereka, juga keluarga ku, Jessy. Kenapa kamu nggak bisa ngerti?" ucap Bram kesal.
Jessy tertawa kecil, getir. “Aku yang harus ngerti kamu? Bukan kah selama ini aku selalu mengerti kamu dan keluargamu? Sementara kamu bahkan nggak pernah peduli sama aku?”
Bram menatapnya tajam. “Kamu ini kenapa sih? Baru sakit sebentar aja udah banyak nuntut.”
Jessy mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosi. “Aku nggak nuntut. Aku cuma ingin suamiku ada di sampingku, bukan sibuk ngurus orang lain.”
Bram mendengus, “Maksudmu Fina? Dia itu tamu, sepupu ku, Jess! Mama yang suruh aku bantu dia.”
Jessy menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. “Aku istrimu, Bram.”
“Dan aku sudah menjalankan tugasku sebagai suami. Aku pulang kerja, aku kasih nafkah, aku ada di rumah. Jadi tolong berhenti bersikap seperti aku suami yang jahat.”
Kata-kata Bram seperti tamparan bagi Jessy. Ia mengangguk pelan, lalu berkata lirih, “Iya, kamu benar. Kamu memang suami yang baik.”
Tanpa berkata lagi, Jessy berbalik. Air matanya jatuh sebelum ia sempat menahannya.
Bram hanya menghela napas kasar, seolah tak mau memperpanjang pertengkaran ini. Tanpa menghiraukan Jessy yang sudah membelakanginya, ia berjalan santai menuju kamar mandi, membuka pintu, lalu masuk tanpa berkata apa pun.
Jessy berdiri di dekat ranjang, menatap kosong ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Hatinya terasa sesak. Ia berharap setidaknya Bram menunjukkan sedikit kepedulian, menenangkannya, atau mungkin meminta maaf. Tapi tidak.
Dari dalam kamar mandi, terdengar suara air mengalir. Bram benar-benar tidak peduli.
Jessy menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Apa aku benar-benar nggak berarti buat dia?” pikirnya.
Tangannya tanpa sadar mengelus perutnya.
Bram yang baru saja keluar dari kamar mandi, mengenakan piyama tidurnya dengan santai. Ia mengusap rambutnya yang masih basah, lalu berjalan menuju tempat tidur. Namun, sebelum ia sempat duduk, suara Jessy yang dingin menghentikan langkahnya.
"Aku mau cerai."
Langkah Bram terhenti. Ia menoleh, menatap Jessy dengan ekspresi syok. "Apa?"
Jessy menegakkan punggungnya, mencoba menahan getaran di suaranya. "Aku mau cerai, Bram."
Bram mengerutkan kening, matanya menajam. "Kenapa tiba-tiba ngomong kayak gitu?"
Jessy tertawa sinis. "Tiba-tiba? Kamu serius nanya itu, Bram? Aku udah cukup sabar, cukup bodoh bertahan di sini. Kamu bahkan nggak peduli aku sakit, kamu lebih memilih 'sepupu jauh' mamamu daripada istrimu sendiri."
Bram mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Jessy, kamu lagi capek. Jangan ngomong yang nggak-nggak."
"Aku nggak capek, aku sadar. Aku muak!" suara Jessy meninggi, matanya mulai berkaca-kaca. "Selama ini aku selalu ada buat kamu, selalu berusaha jadi istri yang baik. Tapi kamu? Kamu bahkan nggak datang ke rumah sakit buat menjengukku! Kamu bahkan nggak tahu aku hampir mati!"
Bram mendengus, berusaha menahan emosinya. "Jessy, kita bisa bicarain ini baik-baik. Jangan langsung ngomong cerai."
"Kenapa? Karena aku akhirnya punya keberanian buat ninggalin kamu?" Jessy mendekat, menatap suaminya dengan mata penuh luka.
"Aku capek jadi orang yang selalu mengerti, selalu menunggu, selalu berharap. Aku bukan orang bodoh, Bram. Aku bisa lihat siapa yang sebenarnya lebih penting buat kamu."
Bram menatap Jessy dalam diam, rahangnya mengeras.
Bram menatap Jessy dengan ekspresi panik, seolah baru menyadari sesuatu yang seharusnya sudah ia sadari sejak lama.
"Enggak, aku nggak mau cerai." Suaranya bergetar, tapi penuh ketegasan.
Jessy tertawa sinis. "Lucu ya, kamu nggak mau cerai tapi juga nggak pernah bersikap seperti suami yang peduli sama istrinya."
Bram mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ia melangkah mendekati Jessy, berusaha menggenggam tangannya, tapi Jessy menghindar.
"Aku memang salah, aku sadar. Aku terlalu banyak menuruti mama dan yang lainnya. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu, Jess. Aku masih sayang sama kamu."
Jessy menatapnya tajam. "Sayang? Itu yang kamu sebut sayang? Saat aku terbaring di rumah sakit, kamu bahkan nggak datang. Kamu lebih peduli sama Fina dan keluargamu. Dan aku? Sepertinya sudah jauh darimu."
"Aku bisa jelasin, Jess."
"Nggak perlu. Aku udah dengar cukup banyak alasanmu." Jessy berbalik, berjalan menuju lemari, mulai mengeluarkan beberapa pakaiannya.
Bram panik, ia langsung menarik lengan Jessy, menahannya. "Tolong, jangan gini, Jess. Aku janji, aku akan berubah."
Jessy menatap tangannya yang digenggam oleh Bram, lalu mengangkat wajahnya. "Kenapa baru sekarang? Kenapa harus menunggu sampai aku ingin pergi?"
"Karena aku takut kehilangan kamu." suara Bram melemah. "Aku terlalu bodoh buat sadar lebih cepat, tapi tolong kasih aku kesempatan."
Jessy menelan ludah, hatinya sedikit goyah.
"Aku nggak tahu, Bram. Aku butuh waktu."
Bram mengangguk, matanya penuh harapan. "Aku akan membuktikan kalau aku masih pantas jadi suamimu. Aku nggak akan nyerah, Jess."
Jessy menatap Bram dengan ekspresi datar. Ia sudah terlalu lelah untuk berdebat lebih jauh.
"Aku nggak butuh kata-kata manis lagi, Bram."
Bram mendekat, duduk di tepi ranjang, berusaha menggapai tangan Jessy, tapi ia menepisnya.
"Aku serius, Jess. Kamu pasti masih lelah, istirahatlah dulu." Suaranya terdengar lembut, seakan ingin menenangkannya.
Jessy tertawa kecil, tapi tanpa kebahagiaan. "Aku telah beristirahat rumah sakit selama dua hari, sekarang kamu bilang aku harus istirahat?"
Bram menundukkan kepala. "Aku salah, aku tahu itu. Tapi, tolong, jangan buat keputusan saat kamu masih marah."
Jessy menarik napas panjang. "Aku sudah lelah, Bram."
Bram menatapnya penuh harap. "Aku janji, aku akan berubah. Aku akan memperbaiki semuanya. Jangan pergi, Jess."
Jessy mengalihkan pandangannya, menatap ke luar jendela. Hatinya masih penuh luka, tapi juga ada kebimbangan. Apakah Bram benar-benar akan berubah? Ataukah ini hanya janji kosong lainnya?
.mengecewakan
.maaf yah, bkin mles baca klau pov mc mah