Hati siapa yang tak bahagia bila bisa menikah dengan laki-laki yang ia cintai? Begitulah yang Tatiana rasakan. Namun sayang, berbeda dengan Samudera. Dia menikahi Tatiana hanya karena perempuan itu begitu dekat dengan putri semata wayangnya. Ibarat kata, Tatiana adalah sosok ibu pengganti bagi sang putri yang memang telah ditinggal ibunya sejak lahir.
Awalnya Tatiana tetap bersabar. Ia pikir, cinta akan tumbuh seiring bergantinya waktu dan banyaknya kebersamaan. Namun, setelah pernikahannya menginjak tahun kedua, Tatiana mulai kehilangan kesabaran. Apalagi setiap menyentuhnya, Samudera selalu saja menyebutkan nama mendiang istrinya.
Hingga suatu hari, saudari kembar mendiang istri Samudera hadir di antara carut-marut hubungan mereka. Obsesi Samudera pada mendiang istrinya membuatnya mereka menjalin hubungan di belakang Tatiana.
"Aku bisa sabar bersaing dengan orang yang telah tiada, tapi tidak dengan perempuan yang jelas ada di hadapanku. Maaf, aku memilih menyerah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Takkan pernah menceraikan
Masuk ke dalam ruangan Ariana, Samudera mendapati Ariana yang masih menangis tersedu-sedu. Samudera kesal bukan main. Padahal Ariana masih sakit, tapi Triani justru mencekoki Ariana dengan kata-katanya yang penuh dengan kebohongan.
Samudera lantas memeluk erat tubuh Ariana. Ia berusaha menenangkan Ariana dengan mengatakan kalau sampai kapanpun Tatiana akan tetap menyayanginya.
Seminggu kemudian, Ariana akhirnya sudah pulih dan diizinkan pulang. Tapi karena Tatiana yang tak ada di rumah, Samudera memilih kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tak tega bila harus meninggalkan Ariana hanya berdua dengan Bik Una. Apalagi semenjak kepergian Tatiana, Ariana menjadi gadis yang pemurung. Tak ada lagi keceriaan dan canda tawa. Kesehariannya hanya memeluk pigura sang bunda yang memang diletakkan Tatiana di atas nakas Ariana. Foto itu diambil saat Tatiana dan Ariana sedang makan es krim di kedai yang ada di sebuah mall. Mereka tampak tersenyum lebar dengan mulut Ariana yang belepotan es krim.
"Ma, Pa," sapa Samudera saat melihat kedua orang tuanya sedang duduk di ruang tamu. Ia pun segera menghampiri kedua orang tuanya dan mencium punggung tangan mereka seperti biasa.
Mama Sakinah menatap iba pada sang putra satu-satunya itu. Wajahnya tampak kuyu, dengan lingkaran hitam di area mata. Tubuhnya pun tampak lebih kurus. Hampir setiap hari sepulang kerja, Samudera melajukan mobilnya mengelilingi kota Jakarta berharap bisa menemukan keberadaan Tatiana. Namun bahkan setelah hampir satu bulan berlalu, Samudera belum juga menemukan keberadaannya sama sekali.
Samudera duduk di samping sang ibu, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan. Mama Sakinah lantas mengusap puncak kepala Samudera dengan lembut dan penuh kasih.
"Kau belum mendapatkan kabar Tiana juga, Sam?" tanya Ayah Samudera.
Samudera menggeleng pelan, "belum, Pa. Tadi Sam juga tanpa sengaja bertemu teman Tiana, sama seperti yang mama tanyakan waktu itu, dia benar-benar tidak tahu. Bahkan sudah satu bulan ini mereka benar-benar lost kontak."
Saat mencari keberadaan Tatiana tadi, mampir ke sebuah cafe untuk membeli kopi agar dapat meredam rasa kantuk dan lelahnya. Saat sedang memesan, Samudera tanpa sengaja melihat Raya dan ia pun segera menghampiri Raya.
"Hei, tunggu!" Samudera menepuk pundak Raya membuat gadis itu menoleh terkejut. Kemudian tatapan sinis Raya berikan pada Samudera membuat Samudera bingung mengapa ia tampak sekali membenci dirinya. Apa karena ia tak ada saat ibu Ariana meninggal tempo hari.
"Mau apa kau?" ketus Raya.
"Bisa kita bicara sebentar?"
Raya mendengkus, kemudian menggestur ke salah satu meja. Mereka pun segera duduk di sana setelah terlebih dahulu meminta pelayan mengantar pesanannya tadi ke meja itu.
"Apa yang mau kau bicarakan?" tembak Raya to the point.
"Apa kau tahu dimana Tiana?" tanya Samudera langsung saat Raya bertanya.
Raya terkekeh, "aku yakin ibumu sudah memberi tahu kalau aku tidak tahu dimana Tiana. Kalaupun aku tahu, aku takkan pernah memberitahukannya pada suami dzalim sepertimu," sinis Raya membuat dahi Samudera berkerut.
"Mengapa begitu?" tanya Samudera bingung.
"Hei, bangun! Sadarlah. Apa kamu sadar apa yang sudah kau lakukan pada Tiana selama ini? Apa kau pernah perhatian padanya? Mempedulikannya? Menyayanginya? Selama dua tahun, kau tak lebih dari menganggapnya sebagai ibu pengganti untuk anakmu, apa kau pernah tanya bagaimana perasaannya saat tak pernah kau pedulikan? Jangankan ingin membalas cintanya, membalas perhatian dan kepeduliannya saja kau tak mau. Kau pikir Tiana itu robot yang tak punya hati? Dia sakit. Dia terluka. Dia kecewa. Dia sudah berusaha bertahan dengan sikapmu yang tak kunjung bisa move on dari mendiang istrimu dan menganggapnya seakan tak ada, tapi kau justru makin menghancurkan hatinya dengan menghadirkan perempuan lain, what the fuck?"
Bila sebelumnya ia hanya mendengar penuturan sang ibu mengenai kemungkinan Tatiana terluka karena sikapnya, tapi kali ini ia mendengar makian dari sahabat Tatiana sendiri. Dapat ia terka, Raya mencacinya seperti ini karena tahu dengan luka hati yang Tatiana alami selama ini. Darimana lagi ia mengetahui masalahnya dengan Tatiana selain karena Tatiana yang bercerita. Mungkin Tatiana mencurahkan segala isi hatinya selama ini yang benar-benar terluka karena sifat abainya.
Samudera tertunduk dalam. Melihat bagaimana Raya mencacinya dengan berapi-api, makin menyadarkannya kalau Tatiana pergi bukan hanya karena menduga ia memiliki hubungan dengan Triani, tapi juga karena sikapnya yang sungguh sangat keterlaluan.
"Selama dua tahun, Tiana mencoba bersabar. Ia harap seiring bergantinya waktu, kau bisa membalas cintanya, tapi apa yang dia dapat? Hanya kepedihan, kesakitan, dan kekecewaan. Kalau bukan karena anakmu, mungkin Tatiana sudah lama menyerah. Hingga akhirnya kehadiran kembaran istrimu itu meyakinkan Tiana kalau perjuangannya sungguh sia-sia. Usahanya untuk meluluhkan hatimu itu percuma. Kesabarannya telah sampai pada batasnya dan kini ia sudah benar-benar menyerah. Ia menyerah akan cintamu yang mustahil baginya untuk digapai. Selamat dokter Samudera, kau sukses menghancurkan hati wanita yang tulus mencintaimu hingga membuatnya menyerah."
Air mata Samudera mengalir meski tanpa suara. Kata-kata Raya tadi terus terngiang dalam benak dan pikirannya. Bagaimana ia telah menyia-nyiakan seorang perempuan yang tulus mencintainya. Betapa bodohnya ia selama ini yang tak bisa melihat betapa besar cinta Tatiana untuknya.
"Lalu bagaimana dengan proses perceraian mu?" tanya papa Samudera lagi.
"Sampai kapanpun, Sam takkan pernah menceraikan Tiana. Sampai selamanya, Tatiana akan selalu menjadi istriku," tegas Samudera yang memang sudah meminta bantuan pengacara untuk membatalkan gugatan perceraiannya dengan Tatiana.
...***...
"Sus Tiana, ada kiriman bunga untuk Suster," ujar seorang resepsionis melalui sambungan telepon. Saat ini Tatiana sedang berada di ruangannya.
"Lagi?" beo Tatiana yang dalam seminggu ini sudah menerima bunga untuk ketiga kalinya.
"Iya, Sus. Dari inisial A. Ckckck, sepertinya dia penggemar berat Suster. Suster hebat deh, padahal baru sebulan bekerja di sini, tapi sudah memiliki penggemar," goda resepsionis bernama Mala tersebut.
"Ah, mbak Mala bisa aja. Palingan juga orang iseng," kilah Tatiana yang merasa sangsi kalau bunga itu kiriman dari penggemarnya. Memangnya dia siapa sih? Hanya seorang perawat.
"Iseng, nggak mungkinlah, Sus. Mawar merah yang super cantik kayak gini harganya pasti mahal. Mana ada orang yang mau buang-buang duit untuk sekedar iseng. Mala jadi penasaran, inisial A ini siapa ya?"
"Kalau Mbak Mala mau, ambil saja."
"Beneran nih?"
"Bener. Aku nggak tertarik sama bunga mawar, tapi kalau bunga bank, aku baru nggak nolak," ujar Tatiana sambil tertawa. "Dah dulu ya, Mbak. Aku mau temenin dokter Lena visit."
"Oke, Sus. Makasih bunganya ya."
Menjelang sore, seperti biasa Tatiana akan segera bersiap pulang dengan motor maticnya. Saat melewati penjual es kacang merah, tiba-tiba Tatiana menelan saliva-nya. Tatiana pun segera membelokkan sepeda motornya dan memarkirnya di tempat yang aman. Tatiana pun segera memesan satu cangkir untuk dirinya.
Sambil menikmati es kacang merah, Tatiana tiba-tiba mengingat kalau es kacang merah merupakan salah satu makanan kesukaan Samudera. Karena sering membuatkan laki-laki itu es kacang merah, Tatiana pun jadi ikut menyukainya.
Tatiana mengusap perutnya yang sudah sedikit menonjol, "sepertinya kamu juga menyukai es kacang merah ya, dek? Sama seperti ayahmu," lirihnya miris, membayangkan anaknya harus tumbuh tanpa kasih sayang sang ayah.
"Suster," tegur seseorang menyentak Tatiana dari lamunannya.
"Eh, Anda pak Aska."
"Pak? Ayolah, kita sepertinya hanya selisih berapa tahun saja, jangan panggil pak lah. Aku merasa seperti ayah kamu aja dipanggil pak."
Tatiana menggaruk pelipisnya. Sebenarnya ia merasa sedikit risih dengan keberadaan Aska yang menurutnya sok dekat. Padahal mereka saja baru beberapa kali bertemu, tapi ia sudah seperti begitu mengenalnya.
Aska terkekeh, "kamu kalau lagi bingung begitu malah kelihatan tambah cantik. Aneh ya?"
"Ya."
Lagi, Aska tertawa. Lalu Aska pun ikut memesan es kacang merah sambil duduk di seberang Tatiana.
"Sudah lama?"
"Sudah, emmm ... Mas Aska."
Mendengar Tatiana menyebutnya 'mas' membuat Aska merekahkan senyumannya.
"By the way, kamu tinggal dimana?"
"Di jakal, Mas."
"Oh, di Jakal. Tinggal dengan keluarga?"
"Nggak, Mas. Sendiri."
"Apa? Sendiri. Memang kamu bukan asli warga sini?"
Tatiana menggeleng, "bukan, Mas. Aku dari Jakarta."
"Wah, sama dong. Aku juga dari Jakarta. Tapi semenjak papa pindah tugas di sini, kamu juga ikut pindah ke sini. Aku pindah ke sini pas masih SMP. Udah cukup lama sih," ujar Aska. Tatiana tersenyum kecil. Ia tidak tahu harus menanggapi Aska bagaimana sebab ia memang memiliki keterbatasan interaksi dengan lawan jenis sejak dulu. Lebih tepatnya semenjak ayahnya pergi meninggalkan ia dan ibunya begitu saja.
Tatiana rasanya ingin segera beranjak dari sana, tapi ia merasa tidak enak meninggalkan Aska begitu saja. Beruntung tidak lama kemudian ponsel Saja berdering. Saat Aska ingin mengangkat panggilan, Tatiana dengan cepat berpamitan terlebih dahulu.
"Mas, aku pulang duluan ya! Sebentar lagi Maghrib," ujar Tatiana sebab jarum jam memang sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore.
"Ah, tapi ... "
"Kalau begitu, aku pamit dulu ya, Mas. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab Aska. Ia menghela nafas panjang saat melihat Tatiana yang sudah lebih dulu melajukan motornya.
...***...
"Dari mana sih, Mas? Beli obat kok lama sekali?"
"Ck, mama nggak sabaran banget sih. Nggak tahu apa anaknya mau pdkt dengan cewek cantik. Katanya disuruh cepat bawa calon istri, tapi baru aja mau pdkt, udah ditelepon melulu."
"Pdkt? Jadi Mas udah ada calon nih?"
"Iya, makanya stop jodoh-jodohin Aska mulai sekarang. Aska mau cari calon sendiri."
"Kamu nggak sedang bohongi mama kan?"
"Ya nggak lah, Ma. Ngapain juga bohong."
"Kan bisa saja kalau kamu cuma mau beralasan supaya nggak dijodoh-jodohkan lagi. Emangnya siapa sih perempuan itu? Apa mama kenal?"
"Kenal sih, nggak. Cuma mama pernah bertemu dengan orangnya kok."
"Benarkah? Memangnya siapa dia?"
"Suster Tatiana."
"Suster di klinik Anida?"
Aska pun mengangguk cepat.
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...