Adisti sudah mengabdikan hidupnya pada sang suami. Namun, ternyata semua sia-sia. Kesetiaan yang selalu dia pegang teguh akhirnya dikhianati. Janji yang terucap begitu manis dari bibir Bryan—suaminya, ternyata hanya kepalsuan.
Yang lebih membuatnya terluka, orang-orang yang selama ini dia sayangi justru ikut dalam kebohongan sang suami.
Mampukah Adisti menjalani kehidupan rumah tangganya yang sudah tidak sehat dan penuh kepalsuan?
Ataukah memilih berpisah dan memulai hidupnya yang baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Kedatangan Adisti
Dua hari telah berlalu, hari ini acara tujuh bulanan istri Bryan akan dilangsungkan di rumah orang tua pria itu. Semuanya sudah diatur oleh Mama Lusi. Semua orang terkagum dengan begitu megahnya acara ini. Padahal ini hanyalah acara syukuran yang seharusnya lebih khusyuk untuk mendoakan ibu dan calon bayinya, tetapi ini terlihat seperti sebuah pesta.
Ada beberapa orang yang menyukainya, tetapi ada juga yang mencibir karena memang tidak seharusnya mereka melakukan acara seperti ini untuk syukuran. Namun, para tetangga juga tidak bisa terlalu ikut campur urusan mereka. Sahna begitu bahagia melihat acara yang dibuat oleh mertuanya karena memang inilah yang dia inginkan selama ini.
Seluruh tamu sedang menikmati acara yang berlangsung. Hingga tiba-tiba suasana terasa hening karena kedatangan seorang wanita diikuti asistennya dan juga salah satu pegawainya, membuat semua orang yang ada di sana terdiam. Siapa lagi kalau bukan Adisti. Dia memang sengaja datang bersama dengan Nadia dan juga Reno salah satu pegawainya di butik, yang bekerja sebagai pengirim barang.
Seluruh keluarga tidak kalah terkejutnya, terutama Bryan sendiri. Mereka tidak menyangka jika wanita itu akan datang di acara seperti ini. Padahal sebelumnya tidak ada yang memberitahu sama sekali. Apa mungkin ada seseorang yang sengaja memberitahu wanita itu diam-diam.
"Sa–sayang, kamu ada di sini? Kapan kamu sampai? Ada apa kamu ke sini?" tanya Bryan beruntun dengan gugup.
"Tentu dong, Bang. Bukankah ini acara untuk syukuran kehamilan istrimu, kenapa aku tidak boleh datang? Aku juga ingin mengucapkan selamat untuk istri keduamu sekaligus aku juga memberi hadiah," jawab Adisti dengan santai, tidak lupa juga seulas senyum menghiasi wajahnya.
"Ka—kamu sudah ...."
Brian tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Semuanya tercekat dalam tenggorokannya, dia benar-benar takut dengan apa yang akan dilakukan oleh istrinya. Pria itu sangat mengenal Adisti, justru keadaan wanita itu yang tenang seperti ini membuatnya sangat takut. Lebih baik istrinya marah-marah padanya atau memukulnya, bukan malah dia yang seperti ini.
"Ada apa, Bang? Kenapa nggak dilanjutin bicaranya? Aku sengaja datang jauh-jauh ke sini buat hadir di acara ini, loh! Oh iya, aku lupa mau memberikan hadiah. Ini hadiah untuk kamu, Bang."
Adisti mengambil sebuah map dari tasnya dan menyerahkannya pada sang suami. Laki-laki itu pun menerima dengan tangan gemetar. Belum melihat isinya saja sudah membuat pria itu was-was, takut apa yang ada di pikirannya benar-benar terjadi. Begitu amplop terbuka, dia pun mengambil berkas yang ada di dalamnya.
Ternyata memang itu adalah surat dari pengadilan agama untuk sidang cerai minggu depan. Cepat sekali, kapan istrinya mengurus semua ini? Pantas saja sikap Adisti akhir-akhir ini sangat aneh, pasti wanita itu sudah mengetahui dari kemarin dan sengaja menunggu hari ini.
"Sayang, kamu pasti bercanda, kan? Kamu tidak mungkin menggugat cerai aku seperti ini," ucap Bryan dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan.
"Apa aku sedang terlihat bercanda, Bang? Aku sama sekali tidak bercanda. Apa yang aku lakukan saat ini memang benar, sama seperti kamu saat menghianati pernikahan kita. Kamu juga tidak sedang bercanda dengan pernikahan sirimu, kan? Apalagi sudah ada anak diantara kalian, sungguh permainan yang luar biasa."
"Adisti, kenapa bilang seperti itu? Mama tahu kalau kamu mencintai anak Mama jadi, tidak mungkin kamu menggugat cerai Bryan," sela Mama Lusi yang sedari tadi hanya diam mendengarkan. Para tetangga juga sudah mulai saling berbisik, membicarakan keluarga mereka yang ternyata tidak seperti yang mereka pikirkan.
"Kenapa tidak mungkin? Aku memang mencintai anak Anda, tapi cinta saya tidak buta. Sejak awal aku tidak menyukai poligami dan selamanya akan seperti itu. Aku pernah bilang pada anak Anda jika sekali dia menghianati pernikahan kami, maka saat itu juga cintaku akan aku kubur dalam-dalam. Aku juga akan mengambil apa yang harusnya menjadi milikku dan satu lagi, aku sudah mengemasi barang-barang kamu yang ada di rumah, Bang. Aku juga sudah mengirimnya ke sini, itu ada di luar berikut juga barang-barang istrimu yang ada di rumah yang ada di daerah kompleks. Aku baik, kan? Sudah membantu kalian membereskan barang kalian."
Sahna yang berada di belakang Bryan pun terkejut mendengar apa yang dikatakan Adisti. Rumah itu adalah miliknya, sang suami menghadiahkannya karena dia hamil, bagaimana mungkin sekarang diambil begitu saja. Mama Lusi pun tidak kalah terkejutnya. Dia memang tahu mengenai rumah itu dan tidak menyangka jika Adisti akan mengetahuinya.
"Maksud kamu apa? Itu rumahku, kenapa kamu malah membereskan barang-barangku dan membawanya ke sini?" seru Sahna.
"Apa kamu lupa, kalau kamu itu hanyalah istri siri dan tidak berhak atas apa pun milik suamiku? Apalagi rumah itu dibeli dengan menggunakan uangku, sudah pasti itu akan menjadi milikku. Aku juga sudah mendatangi agen properti dan melunasi cicilan rumah dan mengambil sertifikatnya atas namaku jadi, Abang tidak perlu susah-susah untuk melunasinya lagi."
"Mana bisa seperti itu, Sayang. Cicilan rumah itu hanya tinggal beberapa bulan saja, kenapa kamu malah mengambilnya," sahut Bryan dengan frustasi.
"Kenapa memangnya, Bang? Kamu masih sah suamiku jadi, aku juga berhak atas hartamu. Jangan lupakan hal itu atau kamu ingin aku melaporkan hal ini kepada pihak wajib, mengenai perselingkuhan kalian dan pernikahan kalian yang tanpa persetujuanku? Pastinya akan sangat seru jika kita sedikit bermain-main, bagaimana?"
Wajah pria itu memucat, dia tidak menyangka jika istrinya akan berpikir ke arah sana. Padahal Bryan hanya ingin mengambil apa yang seharusnya menjadi milik Sahna. Bagaimanapun juga wanita itu sudah memberinya seorang anak.
"Bukan begitu maksudku, Sayang. Kalau kamu ingin rumah, kamu bisa membelinya sendiri. Rumah itu sudah aku siapkan untuk calon anakku."
"Membeli sendiri? Lalu apa gunanya aku punya suami? Lebih baik aku sendiri saja sekalian, kan? Punya suami juga tidak berguna, bisanya hanya memanfaatkan keadaan dan harta yang aku miliki."
Bryan mengepalkan tangannya, dia benar-benar tersinggung dengan perkataan Adisti, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Jika dirinya marah, pasti akan menambah masalah baru, lebih baik diam dan mengalah.
"Baiklah, aku akan membelikan untukmu, tapi nanti. Sekarang kembalikan dulu sertifikatnya, kasihan Sahna mau tinggal di mana."
"Itu bukanlah urusanku. Aku hanya ingin mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milikku. Bukankah sudah pernah aku bilang di awal pernikahan kita jadi, jangan pernah bermain-main denganku atau kamu yang akan menanggung semua akibatnya. Baiklah, seperti tidak ada yang perlu aku lakukan lagi. Aku harus pergi karena tujuanku ke sini hanya ingin mengantarkan surat itu dan tujuanku sudah selesai."
Adisti akan berbalik dan pergi. Namun, tiba-tiba ada seseorang yang datang dengan membawa sebuah amplop. Sudut bibirnya terangkat kala tahu siapa yang datang. Tentu saja ini bagian dari rencananya dan sengaja didatangkan hari ini.
"Maaf, apa benar ini rumah Pak Bryan?" tanya pria tersebut yang diangguki oleh semua orang yang ada di sana.
"Saya Bryan, Pak. Ada apa, ya?" sahut Bryan dengan mendekati orang tersebut.
"Saya hanya ingin mengantarkan surat ini untuk Anda. Kemarin saya sudah mengantar ke rumah Anda, tapi istri Anda bilang kalau Anda sudah tidak tinggal di sana lagi dan memberikan alamat yang ada di sini."
Bryan menatap Adisti dengan tajam, pasti yang dimaksud orang itu adalah sang istri, tetapi sepertinya wanita itu seperti enggan ikut campur dan berpura-pura tidak tahu. Apakah mungkin Adisti tahu isi amplop itu, sikap sang istri memang tidak bisa ditebak, sungguh menakutkan.