Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selamat Tinggal Pagi
...Zielle...
...────୨ৎ────જ⁀➴...
Gue masih ingat waktu gue bangun dan nyariin dia, gue sempat mikir kalau dia lagi keluar buat beli sarapan. Gue sudah siap mau turun, terus gue dengar dia bicara sama Bibi rambut kucing.
"Bilang aja Anan ada urusan dan enggak balik sampai malam," kata dia dengan nada kesal. "Suruh aja dia balik ke rumahnya."
Sakit banget rasanya…
Gue meringis, merasakan panasnya aspal di telapak kaki gue yang telanjang, tapi rasa sakit itu enggak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang gue rasakan di dalam hati.
Gue memang sebodoh itu.
Gue enggak bisa hentikan air mata yang terus mengalir, dan itu bikin gue semakin merasa lemah. Gue benar-benar percaya begitu saja kalau kali ini bakal beda, gue benaran yakin.
Bagaimana gue bisa setolol itu?
Dia bakal ngomong apa saja biar bisa dapetin gue, itu doang yang dia mau, pakai gue terus buang gue keesokan harinya.
Bagaimana bisa gue biarkan dia melakukan ini ke gue lagi?
Senyumnya yang tulus itu masih terbayang di kepala, bagaimana cara kita mengobrol dan ketawa-ketawa kemarin di tempat tidurnya sambil memainkan game bodoh, dan apa yang terjadi setelahnya.
Gue percaya sama dia. Dan dia ambil kepercayaan itu dan menghancurkannya di depan mata gue, bersama hati gue.
Dia memang jago bikin gue sakit hati. Dia bahkan enggak punya nyali buat hadapi gue secara langsung dan mengatakannya.
Iya, gue memang enggak berarti buat dia. Dia cuma berani suruh pembantunya buat usir cewek yang dia pakai semalam. Anan memang pintar bikin gue merasa spesial, menjadi cewek paling beruntung di dunia, tapi dia juga hancurin harga diri gue dan menginjak martabat gue semudah itu.
Dia bisa sakiti gue kayak enggak ada cewek yang lain, tapi ini salah gue karena sudah kasih dia kekuatan buat melakukan itu.
Anan tahu gue tergila-gila sama dia, dan dia pakai alasan itu buat manfaatin gue menjadi cewek murahan. Tapi cukup, selama ini gue memang enggak serius buat usir dia dari hidup gue, gue kasih dia kesempatan terus-terusan karena gue percaya sama matanya dan berharap ada sesuatu yang baik di balik topengnya.
Sekarang sudah cukup.
Waktu sampai di depan pintu rumah gue, gue kaget melihat Niria berdiri di depan, lagi pencet bel. Dia pakai daster yang longgar, rambut panjangnya dikepang, dan pakai kacamata hitam.
Dia kelihatan enggak sabar, gue tahu banget dia benci panas. Gue coba buat panggil dia, tapi enggak bisa, tenggorokan gue serasa dicekik dan air mata malah makin mau jatuh. Bibir gue gemetaran pas dia balik badan dan lihat gue.
Dia lepas kacamatanya, ekspresinya langsung berubah jadi khawatir. Dia buru-buru datangi gue, pegang pundak gue. “Ada apa? Lo oke?”
Gue cuma bisa mengangguk.
“Ya, Tuhan, yuk masuk.”
Di kamar, gue sudah enggak tahan buat bendung air mata lagi, cukup sudah. Gue jatuh ke lantai dan duduk bersandar ke dinding, terus gue menangis. Niria duduk di sebelah gue, enggak ngomong apa-apa, cuma duduk di situ dan itu sudah cukup buat gue.
Gue enggak butuh kata-kata, gue cuma butuh dia ada di sana, di samping gue.
Gue butuh tempat keluarkan semuanya, gue harus cabut rasa sakit ini dari dada dan gue merasa kalau dengan menangis bakal membantu.
Ada sesuatu yang menyembuhkan ketika lo menangis sepuas-puasnya, ada damai yang datang setelah lo teriak keras-keras.
Niria melingkarkan tangannya di belakang gue, terus tarik gue supaya gue bisa sandarkan kepala ke bahunya. “Lepasin aja, ya, gue di sini.”
Gue menangis sampai akhirnya ketenangan itu datang, sampai air mata gue habis dan hidung gue mampet sampai buat bernapas pun susah.
Niria cium kepala gue. "Mau cerita enggak?"
Gue agak menjauh, duduk lebih tegak, sandarkan punggung ke dinding. Gue usap air mata dan tiup hidung. Dengan suara serak, gue ceritakan semuanya ke dia.
Wajah Niria langsung memerah saking marahnya. “An*ing, bangs*t, bajing*n br*ngsek! Arggh!”
Gue cuma diam.
Dia mendengus, meniup rambut yang jatuh di wajahnya. “Gue pengen injak mukanya yang tolol itu. Boleh enggak? Sekali tendang terus gue kabur, dia enggak bakal sadar.”
“Niria…”
“Gue belajar teknik keren di kelas Taekwondo gue, gue tahu itu bakal bikin dia kapok, kalau enggak ya gue pakai jurus jinjutkang: pukul di selangkangan. Oh, ya, kayaknya gue lebih milih itu.”
Kegilaannya bikin gue senyum. “Gue hargain niat lo, tapi…”
“Atau gue bisa bilang ke Natius, mereka kan sama-sama di tim sepak bola. Gue bilangin biar dia kasih ‘sentilan’ yang kesannya enggak sengaja.”
“Niria, lo enggak bisa suruh abang lo buat mukulin dia. Natius, kan anaknya cinta damai banget.”
“Tapi dia juga overprotektif, loh, parah, gue tinggal bilang lo disakitin dan bam!!! Anan bakal dapat ganjarannya.”
Natius itu kakaknya Niria, dia satu sekolahan sama Anan gara-gara sepak bola.
“Gue enggak suka kekerasan, lo tahu itu.”
“Ya udah!” Dia mendengus sambil berdiri. “Gue ambil es krim, lo cari film paling romantis yang ada di Netflix.”
“Kayaknya gue enggak bisa…”
“Diam! Kita bakal ngadepin patah hati ini dengan benar, lo bakal nangis, maki-maki laptop lo, dan ngomel soal betapa enggak adilnya hidup ini karena hal-hal kayak gitu enggak pernah kejadian di kita.” Dia berdiri dengan tangan di pinggang. “Kita bakal tidur bareng, dan besok pagi lo bangun jadi orang baru, dan enggak ingat sama semua kejadian sebelumnya.”
Gue mencoba senyum. “Kayaknya gue enggak bisa langsung move on dalam semalam.”
“Coba aja dulu, habis itu kita bakal party bareng cowok-cowok. Lo bakal sibuk sama hal lain dan sadar kalau bajing*n itu bukan satu-satunya cowok di planet ini. Jelas, kan?”
“Ya, bos.”
“Gue enggak dengar!!!”
“YA, BOS!!!”
“Good, sekarang cari filmnya, gue balik sebentar.”
Melihat dia keluar dan gue senyum-senyum kayak orang bego, bersyukur banget punya dia di samping gue.
Tanpa adanya Niria, mungkin gue sudah hancur berantakan. Yang paling bikin gue sakit hati adalah meskipun gue tahu bagaimana nyokap gue dulu disakiti sama bokap, gue tetap saja kena perangkap si tolol itu, sama seperti cewek-cewek bodoh lainnya, yang dibutakan karena cinta.
Gue kecewa sama diri gue sendiri sebagai perempuan, itu yang paling menyesak.
Gue nyalakan laptop dan buka Netflix buat cari film. Instagram langsung terbuka secara otomatis pas gue lagi browsing di Google. Tiba-tiba ada bunyi notifikasi, dan jantung gue berasa diremas pas melihat namanya.
Anan Batari.
...📩...
...Maaf....
Senyum pahit muncul di bibir gue, gue baca DM-nya tapi enggak gue balas, lanjut saja mencari film.
Notifikasi berbunyi lagi dan gue buka DM-nya.
...Gue benaran minta maaf....
Gue seret mouse ke opsi, terus gue blokir dia biar enggak bisa kirim pesan lagi.
Selamat tinggal, Pangeran.
Salah...
Psikopat.