Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hidup Semakin Sulit
Tahun pertama di mana Allah menahan sepertiga air hujan terasa seperti ujian yang tiada henti bagi umat manusia. Di desa kecil itu, panas terik matahari membakar kulit, dan ladang-ladang yang biasanya subur kini mengering. Tak ada lagi suara gemericik air dari irigasi, hanya ada keluhan dan kerinduan akan hujan yang tak kunjung datang.
Di tengah kesulitan ini, Ustadz Abdullah tetap berusaha mengingatkan jamaahnya untuk bersabar dan saling mendukung. “Saudaraku, kita tidak boleh putus asa. Ini adalah ujian dari Allah untuk mengukur keimanan kita,” katanya dalam ceramah di masjid yang semakin sepi.
Namun, meski kata-katanya mengandung harapan, kenyataan tidak bisa dibohongi. Penduduk desa terlihat semakin kurus, wajah-wajah mereka memancarkan kelelahan dan kekhawatiran. Setiap kali Ustadz Abdullah berkeliling desa untuk memberi semangat, ia menemukan banyak rumah yang sudah tidak ada lagi persediaan makanan.
“Ustadz,” panggil Fatimah, seorang ibu rumah tangga yang selalu ceria. “Anak-anak saya tidak bisa tidur nyenyak karena perut mereka keroncongan. Apakah kita tidak bisa melakukan sesuatu yang lebih?”
“Apa yang bisa kita lakukan, Fatimah?” tanya Ustadz Abdullah. “Kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Mari kita berdoa agar Allah mengirimkan hujan dan memberikan kita rezeki yang lebih.”
Fatimah menundukkan kepala, tetapi matanya berkaca-kaca. “Doa saja tidak cukup, Ustadz. Kita perlu berbuat sesuatu. Mungkin kita bisa membuat kolam penampungan air untuk saat hujan nanti.”
Ide itu cukup menggugah semangat para jamaah. Mereka mulai berdiskusi tentang kemungkinan untuk membangun kolam, meskipun harus mengerahkan semua tenaga yang ada. Mereka merencanakan pertemuan di malam hari untuk menyusun rencana dan mencari bahan-bahan yang bisa digunakan.
Malam itu, masjid dipenuhi oleh suara-suara semangat. “Kita bisa menggunakan bambu untuk membuat kerangka kolam,” saran Ali. “Dan kita bisa menggali tanah di dekat sungai untuk memudahkan penampungan air saat hujan tiba.”
Ustadz Abdullah menyetujui gagasan tersebut. “Mari kita bekerja sama. Kita harus saling mendukung agar semua bisa terbantu. Ingat, ini adalah tanggung jawab kita bersama.”
Keesokan harinya, semua orang berkumpul di lokasi yang telah disepakati. Dengan semangat yang tinggi, mereka mulai menggali dan merakit bambu. Namun, di tengah kegiatan tersebut, rasa lelah mulai tampak.
“Ustadz, saya merasa lelah,” keluh Rahman, yang sejak pagi bekerja tanpa henti. “Tapi saya tidak bisa berhenti, anak-anak di rumah sangat mengharapkan saya.”
“Rahman, ambil waktu sejenak untuk beristirahat,” kata Ustadz Abdullah. “Kita semua sedang dalam kondisi sulit. Kesehatan kita juga penting agar bisa membantu satu sama lain.”
Beberapa orang lainnya pun mulai mengeluh. “Bagaimana kalau kita tidak bisa menyelesaikannya hari ini? Apakah semua usaha kita sia-sia?” tanya Siti dengan nada khawatir.
“Jangan berpikir seperti itu,” jawab Ustadz Abdullah. “Kita harus percaya bahwa setiap usaha yang kita lakukan akan mendapatkan hasil, insya Allah. Dan ingat, kita tidak sendiri. Allah selalu bersama kita.”
Semangat kembali pulih ketika mereka melanjutkan pekerjaan. Selama beberapa hari ke depan, mereka bekerja keras, menggali tanah dan merakit bambu. Kolam penampungan air itu mulai terlihat.
Setelah beberapa hari penuh keringat dan perjuangan, kolam pun selesai. Mereka semua berkumpul di sekeliling kolam yang masih kosong itu. “Kita telah bekerja keras untuk menciptakan tempat yang akan menyelamatkan kita di masa mendatang,” kata Ustadz Abdullah sambil tersenyum bangga.
Namun, senyuman itu cepat memudar saat mereka menyadari keringnya ladang-ladang di sekitar mereka. Meski kolam sudah siap, harapan akan hujan seolah semakin jauh.
“Ustadz,” kembali Fatimah berbicara, “bagaimana jika kita berdoa bersama di sekitar kolam ini? Semoga Allah mendengar jeritan hati kita dan mengirimkan hujan.”
Ustadz Abdullah mengangguk. “Itu ide yang baik. Mari kita semua berkumpul dan berdoa bersama.”
Malam itu, jamaah berkumpul di sekitar kolam penampungan air, membentuk lingkaran. Dalam hening malam yang sepi, suara Ustadz Abdullah menggema, memohon kepada Allah agar mengirimkan hujan dan memberikan rezeki kepada mereka.
“Ya Allah, Engkau yang Maha Pengasih dan Penyayang. Kami di sini hanya bisa berserah. Kami mohon, turunkanlah hujan-Mu, berikanlah kami kehidupan dan harapan yang baru. Kami tidak akan menyerah. Bantulah kami untuk terus bertahan,” doanya dengan penuh harapan.
Setelah doa, semua merasa lebih ringan, tetapi kesulitan di hadapan mereka belum berakhir. Hidup semakin sulit, tetapi semangat dan kebersamaan adalah satu-satunya yang dapat mereka pegang untuk terus bertahan.
Harapan di Tengah Keringnya Tanah
Hari-hari berlalu, dan mEskipun kolam penampungan air telah selesai, harapan akan hujan seolah menjauh. Masyarakat desa semakin resah. Setiap hari, mereka mengadakan doa bersama di sekitar kolam, berharap Allah akan mengabulkan permohonan mereka. Namun, tak ada tanda-tanda hujan yang datang.
Suatu pagi, ketika Ustadz Abdullah berjalan-jalan di sekitar desa, ia melihat wajah-wajah letih dan cemas. Beberapa ibu terlihat duduk di depan rumah mereka, mengawasi anak-anak mereka yang bermain dengan lesu. “Ustadz, bagaimana kami bisa bertahan jika tidak ada lagi makanan?” tanya salah satu ibu, sambil menyeka air mata dari pipinya.
Ustadz Abdullah merasa hatinya tersentuh. Ia tahu, dalam hati masyarakatnya, ada rasa takut yang mendalam. “Saudaraku, kita harus tetap sabar. Allah sedang menguji kita. Mari kita terus berdoa dan berusaha,” jawabnya, berusaha menguatkan mereka.
Namun, di dalam hati Ustadz, ia merasa khawatir. Ia ingat pesan yang pernah disampaikan oleh ayahnya: “Saat manusia berputus asa, Allah selalu punya rencana yang lebih baik.” Mungkin, saat ini adalah waktu yang tepat untuk memanggil semua orang dan mengajak mereka berdiskusi tentang langkah-langkah yang bisa diambil untuk bertahan hidup.
“Saudaraku,” Ustadz Abdullah mulai mengumpulkan jamaah di masjid, “kita perlu membahas langkah selanjutnya. Mari kita saling berbagi informasi tentang sumber makanan yang masih bisa kita peroleh. Mungkin ada beberapa yang bisa kita bantu dengan cara berkebun di pekarangan rumah.”
Beberapa orang mengangkat tangan, memberi saran. “Kita bisa menanam sayuran yang tahan kering,” saran Rahman. “Seperti terong atau cabai. Setidaknya, kita bisa mendapatkan sedikit bahan makanan.”
“Benar! Kita juga bisa berbagi bibit,” sambung Fatimah. “Kalau ada yang punya tanah kosong, mari kita gunakan untuk berkebun bersama.”
Semangat itu perlahan tumbuh di antara mereka. “Saya punya beberapa bibit sayuran,” kata Siti, “dan saya bersedia untuk memimpin kelompok berkebun ini.”
“Baiklah, kita mulai besok,” Ustadz Abdullah menegaskan. “Kita akan berkumpul di masjid dan membagi tugas untuk merawat kebun kita. Kita perlu saling membantu.”
Keesokan harinya, jamaah berkumpul di masjid dengan semangat baru. Mereka membagi bibit, alat berkebun, dan merencanakan cara merawat tanaman. Masing-masing keluarga mendapatkan bagian untuk ditanam, dan hari-hari berikutnya dihabiskan untuk menggarap tanah dan menanam bibit yang telah dibagikan.
Mereka bekerja dengan penuh harapan. Namun, ketika sore menjelang dan matahari mulai terbenam, rasa lapar kembali menghantui mereka.
“Ustadz,” tanya seorang pemuda, “berapa lama kita bisa bertahan jika tidak ada makanan?”
Ustadz Abdullah menghela napas. “Kita harus percaya bahwa Allah tidak akan meninggalkan kita. Mari kita terus berdoa, dan sambil menunggu tanaman tumbuh, kita bisa mencari sumber makanan lain.”
Mereka mulai mencari sumber makanan alternatif. Beberapa mencari daun-daunan yang bisa dimakan, sementara yang lainnya mencoba mencari ikan di sungai yang mulai surut. Namun, hasilnya sangat minim.
Ketika pulang dari mencari makanan, Ustadz Abdullah bertemu dengan seorang pria tua. “Ustadz, bagaimana keadaan desa kita?” tanya pria itu, terlihat sangat lemah.
“Kita sedang berusaha, Pak. Semoga Allah segera mengirimkan hujan,” jawab Ustadz Abdullah.
“Ya, Ustadz. Saya sering mendengar berita dari desa lain. Beberapa sudah mulai berbagi makanan. Mari kita adakan pertemuan dan saling berbagi agar semua bisa bertahan,” saran pria tua itu.
Setelah berdiskusi dengan jamaah, mereka sepakat untuk mengumpulkan semua makanan yang ada dan membagikannya. Dengan cara ini, mereka bisa saling membantu dan memastikan tidak ada yang kelaparan.
“Saudara-saudara,” Ustadz Abdullah berdiri di depan jamaah, “Kita akan mengadakan acara berbagi makanan di masjid. Mari kita kumpulkan semua yang kita miliki, sekecil apapun itu. Kita adalah satu keluarga, dan saatnya kita saling membantu.”
Beberapa hari kemudian, acara berbagi makanan berlangsung. Banyak orang datang membawa beras, sayuran, atau apa pun yang masih bisa dimakan. Suasana di masjid terasa hangat. Ustadz Abdullah memimpin doa untuk bersyukur atas setiap rezeki yang diberikan, walau sedikit.
“Allah tahu betapa beratnya ujian ini,” katanya. “Mari kita bersyukur atas setiap rezeki, meski hanya sedikit. Kita harus terus bersatu, dan insya Allah, dengan usaha dan doa, kita akan keluar dari ujian ini.”
Masyarakat mulai merasakan kembali semangat mereka. Meskipun tantangan masih ada, mereka tahu bahwa bersama-sama, mereka bisa bertahan.
Hari demi hari, mereka terus merawat tanaman di kebun yang telah mereka tanam. Meskipun hasilnya masih jauh dari harapan, tetapi keyakinan mereka semakin kuat. Dalam hati mereka, ada harapan bahwa Allah akan segera mendengar doa-doa mereka dan mengirimkan hujan yang sangat mereka nantikan.
Titik Balik Harapan
Hari-hari kering semakin terasa membOsankan, dan meskipun mereka telah berusaha keras menanam sayuran, hasilnya masih sangat minim. Setiap orang di desa tampak semakin kurus, dan wajah-wajah letih menghiasi suasana. Meskipun begitu, di antara kekhawatiran dan keputusasaan, ada cahaya harapan yang mulai menyala.
Pada suatu pagi, Ustadz Abdullah menerima kabar dari seorang pemuda yang kembali dari perjalanan ke desa tetangga. “Ustadz, saya mendengar kabar baik! Di desa sebelah, mereka menemukan mata air yang keluar dari tanah!” serunya penuh semangat.
Ustadz Abdullah terkejut. “Mata air? Bagaimana bisa? Apa benar?”
“Iya, mereka bilang setelah berdoa, tiba-tiba tanah itu mengeluarkan air. Masyarakat di sana sangat bersyukur dan sekarang bisa bertani kembali,” jawab pemuda itu.
Kabar itu menyebar cepat, dan harapan kembali tumbuh di hati warga desa. Ustadz Abdullah segera mengumpulkan jamaah di masjid untuk membahas kemungkinan mencari mata air tersebut. “Saudaraku,” katanya, “jika desa sebelah bisa menemukan mata air, mengapa kita tidak mencarinya? Mungkin Allah akan mengizinkan kita juga untuk mendapatkannya.”
Masyarakat desa sangat bersemangat. Mereka sepakat untuk berangkat bersama-sama ke desa sebelah untuk mencari informasi lebih lanjut tentang mata air itu. “Kita harus pergi sekarang!” teriak Rahman, yang juga ikut bersemangat.
Setelah berdoa dan mempersiapkan bekal seadanya, mereka berangkat dengan langkah penuh harapan. Selama perjalanan, mereka berbincang-bincang tentang harapan mereka untuk menemukan mata air. “Bayangkan, Ustadz! Jika kita bisa menemukan mata air, kita bisa bercocok tanam lagi dan mendapatkan makanan yang cukup!” kata Fatimah.
Sesampainya di desa sebelah, mereka disambut oleh warga yang tampak lebih ceria. “Selamat datang! Apa kabar, saudara-saudara?” sapa seorang pria tua dengan wajah berseri.
“Kami datang mendengar tentang mata air. Apakah benar ada mata air di sini?” tanya Ustadz Abdullah penuh harap.
“Ya, betul! Setelah berdoa, kami menggali tanah di dekat bukit, dan tiba-tiba airnya memancar keluar. Kami bersyukur sekali!” jawab pria tua itu, matanya berkilau penuh kebahagiaan.
Mendengar itu, hati Ustadz Abdullah bergetar. “Bisa tolong tunjukkan lokasi mata airnya?” tanyanya.
Warga desa itu mengangguk dan memandu mereka menuju bukit kecil yang terletak tidak jauh dari pemukiman. Setibanya di sana, mereka melihat sekelompok orang sedang menggali dan memperbesar lubang tempat air memancar.
“Lihat! Ini dia!” seru pria tua itu sambil menunjuk ke arah aliran air yang mengalir deras dari tanah. “Kami semua sangat bersyukur, dan kami ingin berbagi dengan desa kalian. Silakan ambil air ini sebanyak yang kalian butuhkan.”
Ustadz Abdullah dan warga desa lainnya terharu. “Terima kasih, saudaraku! Ini adalah berkah dari Allah. Kami akan mengambil air ini dan membawanya pulang untuk menghidupkan tanaman kami.”
Mereka segera mengisi wadah-wadah yang dibawa dan mengangkut air sebanyak mungkin. Saat air mengalir deras ke dalam wadah, mereka merasakan kembali harapan hidup yang mungkin hilang. Ustadz Abdullah bersyukur dan berdoa agar Allah selalu melindungi mereka.
Perjalanan pulang terasa jauh lebih ringan. Setiap langkah dipenuhi dengan harapan baru. Ketika mereka kembali ke desa, wajah-wajah lelah mulai terlihat segar kembali. “Kita harus segera menyiram tanaman kita dengan air ini,” ujar Fatimah antusias.
Setibanya di desa, mereka langsung bergegas ke kebun. Dengan semangat baru, mereka menyiram tanaman mereka dengan air segar yang telah dibawa. Setiap tetes air seolah menghidupkan kembali semangat dan harapan mereka.
“Insya Allah, dalam beberapa hari ke depan, tanaman kita akan tumbuh subur!” seru Ustadz Abdullah, melihat wajah-wajah ceria di sekelilingnya.
Hari demi hari berlalu, dan dengan perawatan yang baik serta air yang cukup, tanaman mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Daun-daun hijau tumbuh lebat, dan beberapa tanaman bahkan mulai berbunga.
Kondisi desa perlahan membaik. Masyarakat mulai merasakan kembali semangat mereka untuk bertani dan berkumpul. “Kita harus bersyukur kepada Allah atas semua nikmat ini,” kata Ustadz Abdullah di tengah pertemuan di masjid.
“Ya, kita harus ingat untuk terus berdoa dan bersyukur,” sambung Siti, “karena tanpa pertolongan-Nya, kita mungkin tidak akan sampai di sini.”
Satu minggu setelah menemukan mata air, kebun-kebun di desa tampak lebih hijau. Beberapa tanaman sayur mulai bisa dipanen, dan setiap keluarga merasa sedikit lega karena bisa mengisi perut mereka dengan makanan.
“Ustadz, saya sudah bisa memetik sayuran dari kebun!” kata Rahman dengan bangga.
“Alhamdulillah! Ini adalah awal baru untuk kita semua,” jawab Ustadz Abdullah sambil tersenyum.
Hari itu, mereka merayakan hasil panen kecil-kecilan dengan mengadakan jamuan sederhana di masjid. Masyarakat berkumpul, bersyukur atas berkah yang diberikan dan berbagi makanan yang mereka miliki.
“Semoga Allah terus memberi kita rezeki dan menjaga kita dari kesulitan,” Ustadz Abdullah berdoa, dan semua yang hadir mengamininya.
Sejak saat itu, kebun mereka semakin berkembang. Setiap orang merasa lebih optimis dan bersemangat untuk bertahan hidup. Dengan air yang melimpah dari mata air, mereka bisa bertani dan menghasilkan makanan yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Di tengah semua perubahan itu, Ustadz Abdullah selalu mengingatkan masyarakat untuk tidak melupakan ikhtiar dan doa. “Kita harus tetap bersyukur, meskipun kondisi kita belum sepenuhnya pulih. Harapan harus selalu ada, dan kita harus terus berdoa agar Allah memberkati usaha kita.”
Dengan semangat yang baru, mereka melanjutkan kehidupan mereka, sambil terus menantikan hujan yang akan membawa berkah lebih besar dari Allah. Di tengah kesulitan, mereka belajar arti persatuan dan saling membantu satu sama lain, menjadikan desa mereka sebagai keluarga yang tidak terpisahkan.